Pemerintah Diminta Bentuk Lembaga Pengawas Tindak Pidana Terorisme
A
A
A
JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Maneger Nasution mendorong pembentukan lembaga pengawas penanganan tindak pidana terorisme dalam revisi Undang Undang Antiterorisme.
Maneger mengatakan, berdasarkan catatan Komnas HAM sepanjang 2012 hingga 2017, ada sembilan indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan negara dalam menangani kasus pidana terorisme.
Indikasi pelanggaran itu, kata Maneger, mulai dari perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang, penghilangan nyawa, perampasan hak milik, pelarangan komunikasi narapidana terorisme dengan keluarga, hingga dugaan penganiayaan.
Manager pun menyebut kasus kematian Siyono, terduga teroris yang ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, Maret 2016 silam sebagai salah satu contoh.
"Dalam kasus Siyono misalnya, dia mati bukan karena berkelahi dengan petugas. Menurut hasil autopsi tim dokter, dia mati karena tulang rusuk patah dan mengenai jantung. Lantas dia mati kesaktian," kata Maneger dalam diskusi Quo Vadis Revisi UU Terorisme di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu 23 Mei 2018.
Agar kejadian ini tidak berulang, Maneger mendorong agar pembentukan lembaga atau badan pengawas penanganan tindak pidana terorisme diakomodasi dalam revisi UU Terorisme.
Berkaca pada kasus Siyono pula, Maneger juga mendorong agar penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia berlandaskan pada nilai-nilai HAM.
"Penanganan terorisme kita tak terawasi dengan benar. Perlu ada lembaga independen yang mengawasi ini. Dari hulu hingga hilir. Yang berwenang memeriksa proses penanganan terorisme dari hulu hingga hilir," kata Maneger.
Maneger mengatakan, berdasarkan catatan Komnas HAM sepanjang 2012 hingga 2017, ada sembilan indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan negara dalam menangani kasus pidana terorisme.
Indikasi pelanggaran itu, kata Maneger, mulai dari perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang, penghilangan nyawa, perampasan hak milik, pelarangan komunikasi narapidana terorisme dengan keluarga, hingga dugaan penganiayaan.
Manager pun menyebut kasus kematian Siyono, terduga teroris yang ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, Maret 2016 silam sebagai salah satu contoh.
"Dalam kasus Siyono misalnya, dia mati bukan karena berkelahi dengan petugas. Menurut hasil autopsi tim dokter, dia mati karena tulang rusuk patah dan mengenai jantung. Lantas dia mati kesaktian," kata Maneger dalam diskusi Quo Vadis Revisi UU Terorisme di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu 23 Mei 2018.
Agar kejadian ini tidak berulang, Maneger mendorong agar pembentukan lembaga atau badan pengawas penanganan tindak pidana terorisme diakomodasi dalam revisi UU Terorisme.
Berkaca pada kasus Siyono pula, Maneger juga mendorong agar penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia berlandaskan pada nilai-nilai HAM.
"Penanganan terorisme kita tak terawasi dengan benar. Perlu ada lembaga independen yang mengawasi ini. Dari hulu hingga hilir. Yang berwenang memeriksa proses penanganan terorisme dari hulu hingga hilir," kata Maneger.
(dam)