Kasus Suap Pelabuhan Kemenhub, KPK Buka Penyelidikan Baru
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka penyelidikan baru terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) termasuk di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, hingga saat ini KPK baru menangani dua pelaku terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan proyek-proyek dan perizinan di lingkungan Kemenhub dan Ditjen Hubla. Pertama, terpidana pemberi suap Rp2,3 miliar, Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan alias Yongkie alias Yeyen (divonis 4 tahun penjara).
Kedua, terdakwa penerima suap Rp2,3 miliar dan penerima gratifikasi dengan nilai total lebih Rp21 miliar, mantan Dirjen Hubla sekaligus mantan staf ahli Menhub bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan Antonius Tonny Budiono (divonis 5 tahun penjara).
Febri memaparkan, dalam persidangan Yongkie maupun Tonny ada banyak fakta yang terungkap. Khususnya terkait modus baru pemberian uang dengan didahului pemberian kartu anjungan tunai (ATM) dan buku tabungan ke para pejabat Kemenhub dari sejumlah pengusaha selain dari Yongkie.
Kedua, nama-nama para pejabat Kemenhub termasuk yang berada di lingkungan Ditjen Hubla dan sejumlah Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) sebagai penerima dan pemberi suap dan/atau gratifikasi ke Tonny. Ketiga, para pejabat Kemenhub selain Tonny yang diduga sebagai penerima uang suap dan/atau gratifikasi dari para kontraktor/pengusaha.
Dari hasil persidangan dan fakta-fakta persidangan serta pertimbangan putusan tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuat analisis yang kemudian disampaikan dan dipaparkan ke pimpinan KPK. Dari hasil analisis tersebut, Febri menggariskan, kemudian diputuskan melakukan pengembangan lebih lanjut. Secara implisit pengembangan ini dengan dibukanya penyelidikan baru.
"Pengembangan atau pendalaman peran pihak-pihak lain. Saya belum bisa spesifik (penyelidikan terkait) apakah penerima atau pemberi atau ada hal lain yang dikembangkan. Tapi tentu saja fakta-fakta persidangan tersebut kita cermati lebih lanjut," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini membeberkan, sebelumnya Tonny memang beberapa sudah dimintai keterangan sebagai terperiksa dalam penyelidikan atau pengembangan perkara. Proses pengembangan ini untuk memastikan dugaan dan unsur tindak pidana.
Tapi Febri belum bisa menyimpulkan siapa pihak yang paling cepat masuk kategori pihak yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum atau tersangka. "Jadi apa kemungkinan pendalaman yang bisa itu dari JPU. Kami tidak melihat fakta-fakta hukum itu secara parsial, tapi harus secara keseluruhan. Karena ada rangkaian satu dengan yang lain," tegasnya.
Febri menambahkan, untuk putusan Tonny maka secara umum KPK memiliki waktu satu pekan untuk menentukan sikap apakah akan banding atau menerima, setelah putusan atas nama Tonny dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (17/5) lalu. Pasalnya kajian dan analisis masih terus dilakukan.
"Kami akan mutuskan apa upaya hukum (banding atau menerima) yang dilakukan," ucapnya.
Seorang sumber internal di Bidang Penindakan KPK memastikan, penyelidikan baru yang sedang dilakukan KPK menyasar pada sejumlah aktor pemberi dan penerima suap dan/atau gratifikasi. Para pihak itu baik dari unsur pejabat Kemenhub, di dalam atau di luar Ditjen Hubla, maupun dari unsur pengusaha/kontraktor. Penyelidikan dilakukan karena bukti-bukti awal sudah dimiliki KPK dengan juga didukung fakta-fakta persidangan.
"Masih ada pelaku lain, dari pejabat-pejabat Kemenhub dan kontraktor-kontraktor. Makanya sebelumnya kan kita pernah minta keterangan Pak ATB (Tonny) di penyelidikan. Sedang difinalkan siapa yang paling cepat dimintai pertanggungjawaban sebagai tersangka. Nanti akan dibahas dalam forum eksposes (gelar perkara)," tegas sumber tersebut kepada KORAN SINDO.
Sebelumnya, majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Antonius Tonny Budiono dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri atas Saifudin Zuhri dengan anggota Mahfudin, Duta Baskara, Ugo, dan Titi Sansiwi menilai Antonius Tonny Budiono selaku Dirjen Hubla dan staf ahli Menhub bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua delik.
Pertama, Tonny selaku Dirjen Hubla terbukti menerima suap Rp2,3 miliar dari terpidana pemberi suap Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan alias Yong kie alias Yeyen (divonis 4 tahun penjara). Suap bersandi telor asin, kalender, hingga sarung ini diterima dengan modus baru dengan didahului penyerahan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan buku tabungan menggunakan nama Joko Prabowo dengan saldo awal Rp300 juta. Dari angka Rp2,3 miliar, uang yang tersisa dalam rekening dan ATM sebesar Rp1,15 miliar.
Suap ini terkait dengan proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah (2016) dan Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur (2016) serta persetujuan penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkit PLTU Banten, dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Tanjung Emas Semarang yang proyek pengerukannya dilaksanakan oleh PT Adhiguna Keruktama.
Kedua, Tonny selaku Staf Ahli Menhub 2015-2016 dan Dirjen Hubla menerima gratifikasi dengan nilai total lebih Rp21 miliar. Nilai gratifikasi ini hanya lebih sedikit dari yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK sebelumnya yakni sekitar Rp21,395 miliar. Pasalnya, majelis menilai, Tonny berhasil membuktikan dari uang-uang yang berada dalam 33 tas yang disita KPK sebelumnya, kemudian Tonny berhasil membuktikan uang yang bukan berasal dari hasil gratifikasi mencapai Rp370 juta.
Gratifikasi yang diterima Tonny baik berupa uang tunai, uang melalui transfer rekening/ATM, maupun barang-barang bernilai ekonomis. Majelis hakim sepakat dengan apa yang berhasil dibuktikan JPU sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan atas nama Tonny sebelumnya terkait para pemberi gratifikasi.
Para pemberi gratifikasi di antaranya mantan Menhub Ignasius Jonan (bolpoin merek Montblanc dan USD20.000) selepas Tonny berhasil menemukan black box pesawat Air Asia QZ8501 yang mengalami kecelakaan pada Desember 2014. Berikutnya dari pemilik PT Sena Sanjaya Makmur Sejahtera Sena Sanjaya Tanatakusma (USD2.000) dan CEO PT Mul ti integra Aloys Sutarto, Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) sekaligus President and Chief Executive Officer PT Andhika Lines dan Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kadin Indonesia Carmelita Hartoto (Rp30 juta dan USD3.000).
Kemudian dari Dewan Penasihat Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Putut Sutopo (USD2.000); Direktur PT Cahputra Shipyard Edwin Nugraha (USD3.000); Presiden Direktur PT Dumas Tanjung Perak Shipyard Yance Gunawan (USD10.000); pemilik PT Brahma International Billyani Tania (USD30.000); Bambang Bagus Trianggono dari PT Pundi Karya Sejahtera (Rp300 juta), dan beberapa anak buah Tonny di lingkungan Ditjen Hubla maupun dari berbagai KSOP.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, hingga saat ini KPK baru menangani dua pelaku terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan proyek-proyek dan perizinan di lingkungan Kemenhub dan Ditjen Hubla. Pertama, terpidana pemberi suap Rp2,3 miliar, Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan alias Yongkie alias Yeyen (divonis 4 tahun penjara).
Kedua, terdakwa penerima suap Rp2,3 miliar dan penerima gratifikasi dengan nilai total lebih Rp21 miliar, mantan Dirjen Hubla sekaligus mantan staf ahli Menhub bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan Antonius Tonny Budiono (divonis 5 tahun penjara).
Febri memaparkan, dalam persidangan Yongkie maupun Tonny ada banyak fakta yang terungkap. Khususnya terkait modus baru pemberian uang dengan didahului pemberian kartu anjungan tunai (ATM) dan buku tabungan ke para pejabat Kemenhub dari sejumlah pengusaha selain dari Yongkie.
Kedua, nama-nama para pejabat Kemenhub termasuk yang berada di lingkungan Ditjen Hubla dan sejumlah Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) sebagai penerima dan pemberi suap dan/atau gratifikasi ke Tonny. Ketiga, para pejabat Kemenhub selain Tonny yang diduga sebagai penerima uang suap dan/atau gratifikasi dari para kontraktor/pengusaha.
Dari hasil persidangan dan fakta-fakta persidangan serta pertimbangan putusan tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuat analisis yang kemudian disampaikan dan dipaparkan ke pimpinan KPK. Dari hasil analisis tersebut, Febri menggariskan, kemudian diputuskan melakukan pengembangan lebih lanjut. Secara implisit pengembangan ini dengan dibukanya penyelidikan baru.
"Pengembangan atau pendalaman peran pihak-pihak lain. Saya belum bisa spesifik (penyelidikan terkait) apakah penerima atau pemberi atau ada hal lain yang dikembangkan. Tapi tentu saja fakta-fakta persidangan tersebut kita cermati lebih lanjut," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini membeberkan, sebelumnya Tonny memang beberapa sudah dimintai keterangan sebagai terperiksa dalam penyelidikan atau pengembangan perkara. Proses pengembangan ini untuk memastikan dugaan dan unsur tindak pidana.
Tapi Febri belum bisa menyimpulkan siapa pihak yang paling cepat masuk kategori pihak yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum atau tersangka. "Jadi apa kemungkinan pendalaman yang bisa itu dari JPU. Kami tidak melihat fakta-fakta hukum itu secara parsial, tapi harus secara keseluruhan. Karena ada rangkaian satu dengan yang lain," tegasnya.
Febri menambahkan, untuk putusan Tonny maka secara umum KPK memiliki waktu satu pekan untuk menentukan sikap apakah akan banding atau menerima, setelah putusan atas nama Tonny dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (17/5) lalu. Pasalnya kajian dan analisis masih terus dilakukan.
"Kami akan mutuskan apa upaya hukum (banding atau menerima) yang dilakukan," ucapnya.
Seorang sumber internal di Bidang Penindakan KPK memastikan, penyelidikan baru yang sedang dilakukan KPK menyasar pada sejumlah aktor pemberi dan penerima suap dan/atau gratifikasi. Para pihak itu baik dari unsur pejabat Kemenhub, di dalam atau di luar Ditjen Hubla, maupun dari unsur pengusaha/kontraktor. Penyelidikan dilakukan karena bukti-bukti awal sudah dimiliki KPK dengan juga didukung fakta-fakta persidangan.
"Masih ada pelaku lain, dari pejabat-pejabat Kemenhub dan kontraktor-kontraktor. Makanya sebelumnya kan kita pernah minta keterangan Pak ATB (Tonny) di penyelidikan. Sedang difinalkan siapa yang paling cepat dimintai pertanggungjawaban sebagai tersangka. Nanti akan dibahas dalam forum eksposes (gelar perkara)," tegas sumber tersebut kepada KORAN SINDO.
Sebelumnya, majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Antonius Tonny Budiono dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri atas Saifudin Zuhri dengan anggota Mahfudin, Duta Baskara, Ugo, dan Titi Sansiwi menilai Antonius Tonny Budiono selaku Dirjen Hubla dan staf ahli Menhub bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua delik.
Pertama, Tonny selaku Dirjen Hubla terbukti menerima suap Rp2,3 miliar dari terpidana pemberi suap Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan alias Yong kie alias Yeyen (divonis 4 tahun penjara). Suap bersandi telor asin, kalender, hingga sarung ini diterima dengan modus baru dengan didahului penyerahan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan buku tabungan menggunakan nama Joko Prabowo dengan saldo awal Rp300 juta. Dari angka Rp2,3 miliar, uang yang tersisa dalam rekening dan ATM sebesar Rp1,15 miliar.
Suap ini terkait dengan proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah (2016) dan Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur (2016) serta persetujuan penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkit PLTU Banten, dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Tanjung Emas Semarang yang proyek pengerukannya dilaksanakan oleh PT Adhiguna Keruktama.
Kedua, Tonny selaku Staf Ahli Menhub 2015-2016 dan Dirjen Hubla menerima gratifikasi dengan nilai total lebih Rp21 miliar. Nilai gratifikasi ini hanya lebih sedikit dari yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK sebelumnya yakni sekitar Rp21,395 miliar. Pasalnya, majelis menilai, Tonny berhasil membuktikan dari uang-uang yang berada dalam 33 tas yang disita KPK sebelumnya, kemudian Tonny berhasil membuktikan uang yang bukan berasal dari hasil gratifikasi mencapai Rp370 juta.
Gratifikasi yang diterima Tonny baik berupa uang tunai, uang melalui transfer rekening/ATM, maupun barang-barang bernilai ekonomis. Majelis hakim sepakat dengan apa yang berhasil dibuktikan JPU sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan atas nama Tonny sebelumnya terkait para pemberi gratifikasi.
Para pemberi gratifikasi di antaranya mantan Menhub Ignasius Jonan (bolpoin merek Montblanc dan USD20.000) selepas Tonny berhasil menemukan black box pesawat Air Asia QZ8501 yang mengalami kecelakaan pada Desember 2014. Berikutnya dari pemilik PT Sena Sanjaya Makmur Sejahtera Sena Sanjaya Tanatakusma (USD2.000) dan CEO PT Mul ti integra Aloys Sutarto, Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) sekaligus President and Chief Executive Officer PT Andhika Lines dan Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kadin Indonesia Carmelita Hartoto (Rp30 juta dan USD3.000).
Kemudian dari Dewan Penasihat Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Putut Sutopo (USD2.000); Direktur PT Cahputra Shipyard Edwin Nugraha (USD3.000); Presiden Direktur PT Dumas Tanjung Perak Shipyard Yance Gunawan (USD10.000); pemilik PT Brahma International Billyani Tania (USD30.000); Bambang Bagus Trianggono dari PT Pundi Karya Sejahtera (Rp300 juta), dan beberapa anak buah Tonny di lingkungan Ditjen Hubla maupun dari berbagai KSOP.
(kri)