Pelibatan Anak-Istri dalam Bom Surabaya Pola Baru Aksi Terorisme
A
A
A
JAKARTA - Rentetan bom bunuh diri terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur menewaskan 21 orang. Yang menarik, tiga keluarga menjadi pelaku pengeboman tersebut. Selain satu keluarga, mereka juga mempunyai jalinan persahabatan.
Pelaku pengeboman di tiga gereja Surabaya terdiri atas ayah, ibu, dan empat anak. Kemudian di Rusun Wonocolo, Sidoarjo dan Polrestabes Surabaya juga melibatkan orang tua dan anak. Pelaku serangan bom di Polrestabes menggunakan dua sepeda motor terpisah. Mereka terdiri atas pasangan suami-istri dan tiga anak. Namun, satu anak itu terlempar dari sepeda motor saat terjadi ledakan. Dugaan kuat, semua pelaku anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Cabang Surabaya. (lihat infografis).
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan, serangan bom bunuh diri tersebut menguak pola baru. Para pelaku turut melibatkan perempuan dan anak-anak mereka dalam aksinya. "Pelibatan anak-anak baru pertama di Indonesia. Ini memprihatinkan," kata Tito dalam jumpa pers di Polda Jawa Timur, Surabaya, Senin (14/5/2018).
Menurut dia, pola serangan bom menggunakan anak-anak dan perempuan kerap dilakukan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Artinya kata dia, serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo memperlihatkan ada keterkaitan pelaku dengan ISIS. Namun, keluarga tersebut tidak pernah datang ke Suriah, tapi mereka satu jaringan yakni JAD Cabang Surabaya. Meski tidak pernah datang ke Suriah, keluarga-keluarga ini memiliki hubungan ideologis dengan satu keluarga yang pernah datang ke Suriah dan saat ini berada di Indonesia.
"Keluarga ini merupakan rangkaian ideologis dari pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo," terang mantan kapolda Metro Jaya ini.
Polisi juga menembak mati terduga teroris Budi Satrio di Sukodono, Sidoarjo, Senin (14/5/2018). Polisi terpaksa mengambil tindakkan tegas karena yang bersangkutan melawan saat ditangkap. Budi merupakan satu jaringan dengan Dita cs. Dari lokasi penggerebekan, petugas berhasil mengamankan jenis bom yang sama dengan bom yang digunakan keluarga Dita dan Anton. Polisi juga menangkap Betty,21, dan Yanti,25, warga Urangagung, Sidoarjo, terduga teroris.
Motif kelompok ini lebih pada balas dendam, lantaran pimpinan JAD Aman Abdurrahman di tangkap karena kasus pelatihan militer ilegal di Aceh. Aman lalu ditangkap kembali karena pendanaan dan perencanaan kasus Bom Thamrin, Jakarta. Pimpinan JAD Jatim Zaenal Ansori juga ditangkap karena kasus memasukkan senjata api dari Filipina Selatan ke Indonesia.
"Mereka mendapatkan instruksi untuk melakukan balas dendam. Jadi, aksi ini tidak ada kaitannya dengan agama apa pun," ungkap Tito.
Pengamat terorisme Universitas Indonesia Heru Susetyo mengatakan, ada perubahan pola tindakan terorisme yang terjadi belakangan ini. Kalau dulu, pelaku teroris adalah laki-laki usia muda dengan tingkat pendidikan rendah. "Sekarang polanya berubah. Ada perempuan dan anak-anak. Ini perubahan pola yang terjadi," katanya.
Kendati ada perubahan pola, sel-selnya diyakini sama. Pergantian pemain ini dilakukan agar polanya tidak terbaca. "Pelakunya memang ada bakat radikal. Ini seperti sudah panas, kemudian diberi bensin jadi meledak," tukasnya.
Masifnya kejadian beberapa hari ini membuat masyarakat bersikap reaktif. Terlihat dari banyaknya aksi pernyataan sikap yang dilakukan. Heru mengimbau masyarakat tetap tenang karena tujuan dari teror adalah menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat. "Oleh karena itu, masyarakat jangan mudah percaya dengan mem-forward dan posting apa yang didapat. Harus lebih bijak lagi," ujarnya.
Seruan Aman Abdurrahman
Pengamat terorisme Al Chaidar menjelaskan, bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo masih terkait dengan peristiwa di Mako Brimob, Depok. Ini terindikasi karena ada seorang narapidana kasus terorisme yang mengeluarkan seruan untuk menyerang markas komando tersebut.
"Jadi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan respons dari seruan jihad itu. Seruan itu oleh pelakunya, Aman Abdurrahman, belum dicabut. Kala itu dia keluarkan dua seruan, pertama menyerang Mako Brimob dan berdamai setelah itu. Nah, untuk yang berdamai sudah dilakukan, tapi seruan melakukan serangan belum dicabut," kata Al Chaidar.
Dia mengatakan, melihat rangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini, tampaknya kasus seperti ini akan berlanjut. Apalagi ini akan masuk ke dalam bulan Ramadan, di mana dalam kitab fikih mereka bulan Ramadan itu saatnya melakukan penyucian jiwa.
"Sayangnya negara malah terlihat gamang. Presiden juga gamang untuk selesaikan soal payung hukum kepada Polri, yakni berkaitan dengan Revisi UU Terorisme, bahkan terkesan ada sikap antimiliter karena oleh para aktivis HAM revisi UU Terorisme itu dianggap berbau militerisme, yakni adanya pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme. Saya pun bisa paham karena memang Pak Presiden orang sipil," tegasnya.
Menurut dia, seruan untuk "datang" ke Mako Brimob itu sudah tersebar dan disambut berbagai "simpul" di banyak daerah. Dari Jawa Barat 57 orang, Bogor (40), Jawa Tengah (71), Jawa Timur (101), dan Bima (13). "Jadi, kejadian di Mako Brimob hingga bom di Surabaya bukan kejadian sederhana," tegasnya.
Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi mengatakan pelibatan perempuan dan anak itu menunjukkan suasana terdesak dan darurat. "Dibaca dari penalaran, mereka ini masuk dalam darurat karena secara normatif bahwa jihad itu wajib bagi kaum laki-lakinya; tapi karena kaum laki-lakinya tidak bisa jihad karena ditangkap maka perempuannya pun dipersilakan berjihad," kata Hasibullah.
Dia menjelaskan pelibatan perempuan dalam keadaan terdesak sudah pernah disampaikan oleh salah satu pimpinan mereka, Aman Abdurrahman. Pelibatan anak-anak dalam aksi teror juga dinilai sebagai modus baru terorisme di Indonesia. "Salah satu yang mengatakan sejauh yang saya tahu Aman Abdurrahman. Ini anak-anak, terus terang di Indonesia baru, dengan menjadikan satu keluarga sebagai bomber. Kalau cuma kakak-beradik sebenarnya ada. Tapi yang kemudian satu keluarga, termasuk dengan anak-anaknya, ini baru di Indonesia," jelasnya.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irfan Idris berpendapat bahwa sosok perempuan sebagai seorang istri dan ibu memiliki pengaruh yang besar untuk meradikalisasi suami dan anak-anaknya. Karena itu, dia khawatir modus teror satu keluarga ini bisa ditiru oleh kelompok teroris lain.
"Bisa saja menjadi pendorong dan pemicu untuk yang lainnya, khususnya bagi mereka yang tidak sabar lagi menuju surga," ungkapnya.
Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menduga motif peledakan bom ingin menunjukkan eksistensi kelompok teror dan membuat kacau situasi dan kondisi sosial-politik di Indonesia. Dugaan tersebut muncul karena polisi dan saksi menyebut pelaku adalah wanita dan membawa anak-anak.
"Ini bukan hal baru. Kasus tahun lalu rencana bom panci calon pengantin adalah wanita, dan di kelompok teror para wanita juga ada beberapa yang siap menjadi 'pengantin'," kata Harits.
Pelaku pengeboman di tiga gereja Surabaya terdiri atas ayah, ibu, dan empat anak. Kemudian di Rusun Wonocolo, Sidoarjo dan Polrestabes Surabaya juga melibatkan orang tua dan anak. Pelaku serangan bom di Polrestabes menggunakan dua sepeda motor terpisah. Mereka terdiri atas pasangan suami-istri dan tiga anak. Namun, satu anak itu terlempar dari sepeda motor saat terjadi ledakan. Dugaan kuat, semua pelaku anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Cabang Surabaya. (lihat infografis).
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan, serangan bom bunuh diri tersebut menguak pola baru. Para pelaku turut melibatkan perempuan dan anak-anak mereka dalam aksinya. "Pelibatan anak-anak baru pertama di Indonesia. Ini memprihatinkan," kata Tito dalam jumpa pers di Polda Jawa Timur, Surabaya, Senin (14/5/2018).
Menurut dia, pola serangan bom menggunakan anak-anak dan perempuan kerap dilakukan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Artinya kata dia, serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo memperlihatkan ada keterkaitan pelaku dengan ISIS. Namun, keluarga tersebut tidak pernah datang ke Suriah, tapi mereka satu jaringan yakni JAD Cabang Surabaya. Meski tidak pernah datang ke Suriah, keluarga-keluarga ini memiliki hubungan ideologis dengan satu keluarga yang pernah datang ke Suriah dan saat ini berada di Indonesia.
"Keluarga ini merupakan rangkaian ideologis dari pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo," terang mantan kapolda Metro Jaya ini.
Polisi juga menembak mati terduga teroris Budi Satrio di Sukodono, Sidoarjo, Senin (14/5/2018). Polisi terpaksa mengambil tindakkan tegas karena yang bersangkutan melawan saat ditangkap. Budi merupakan satu jaringan dengan Dita cs. Dari lokasi penggerebekan, petugas berhasil mengamankan jenis bom yang sama dengan bom yang digunakan keluarga Dita dan Anton. Polisi juga menangkap Betty,21, dan Yanti,25, warga Urangagung, Sidoarjo, terduga teroris.
Motif kelompok ini lebih pada balas dendam, lantaran pimpinan JAD Aman Abdurrahman di tangkap karena kasus pelatihan militer ilegal di Aceh. Aman lalu ditangkap kembali karena pendanaan dan perencanaan kasus Bom Thamrin, Jakarta. Pimpinan JAD Jatim Zaenal Ansori juga ditangkap karena kasus memasukkan senjata api dari Filipina Selatan ke Indonesia.
"Mereka mendapatkan instruksi untuk melakukan balas dendam. Jadi, aksi ini tidak ada kaitannya dengan agama apa pun," ungkap Tito.
Pengamat terorisme Universitas Indonesia Heru Susetyo mengatakan, ada perubahan pola tindakan terorisme yang terjadi belakangan ini. Kalau dulu, pelaku teroris adalah laki-laki usia muda dengan tingkat pendidikan rendah. "Sekarang polanya berubah. Ada perempuan dan anak-anak. Ini perubahan pola yang terjadi," katanya.
Kendati ada perubahan pola, sel-selnya diyakini sama. Pergantian pemain ini dilakukan agar polanya tidak terbaca. "Pelakunya memang ada bakat radikal. Ini seperti sudah panas, kemudian diberi bensin jadi meledak," tukasnya.
Masifnya kejadian beberapa hari ini membuat masyarakat bersikap reaktif. Terlihat dari banyaknya aksi pernyataan sikap yang dilakukan. Heru mengimbau masyarakat tetap tenang karena tujuan dari teror adalah menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat. "Oleh karena itu, masyarakat jangan mudah percaya dengan mem-forward dan posting apa yang didapat. Harus lebih bijak lagi," ujarnya.
Seruan Aman Abdurrahman
Pengamat terorisme Al Chaidar menjelaskan, bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo masih terkait dengan peristiwa di Mako Brimob, Depok. Ini terindikasi karena ada seorang narapidana kasus terorisme yang mengeluarkan seruan untuk menyerang markas komando tersebut.
"Jadi, apa yang terjadi sekarang ini merupakan respons dari seruan jihad itu. Seruan itu oleh pelakunya, Aman Abdurrahman, belum dicabut. Kala itu dia keluarkan dua seruan, pertama menyerang Mako Brimob dan berdamai setelah itu. Nah, untuk yang berdamai sudah dilakukan, tapi seruan melakukan serangan belum dicabut," kata Al Chaidar.
Dia mengatakan, melihat rangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini, tampaknya kasus seperti ini akan berlanjut. Apalagi ini akan masuk ke dalam bulan Ramadan, di mana dalam kitab fikih mereka bulan Ramadan itu saatnya melakukan penyucian jiwa.
"Sayangnya negara malah terlihat gamang. Presiden juga gamang untuk selesaikan soal payung hukum kepada Polri, yakni berkaitan dengan Revisi UU Terorisme, bahkan terkesan ada sikap antimiliter karena oleh para aktivis HAM revisi UU Terorisme itu dianggap berbau militerisme, yakni adanya pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme. Saya pun bisa paham karena memang Pak Presiden orang sipil," tegasnya.
Menurut dia, seruan untuk "datang" ke Mako Brimob itu sudah tersebar dan disambut berbagai "simpul" di banyak daerah. Dari Jawa Barat 57 orang, Bogor (40), Jawa Tengah (71), Jawa Timur (101), dan Bima (13). "Jadi, kejadian di Mako Brimob hingga bom di Surabaya bukan kejadian sederhana," tegasnya.
Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi mengatakan pelibatan perempuan dan anak itu menunjukkan suasana terdesak dan darurat. "Dibaca dari penalaran, mereka ini masuk dalam darurat karena secara normatif bahwa jihad itu wajib bagi kaum laki-lakinya; tapi karena kaum laki-lakinya tidak bisa jihad karena ditangkap maka perempuannya pun dipersilakan berjihad," kata Hasibullah.
Dia menjelaskan pelibatan perempuan dalam keadaan terdesak sudah pernah disampaikan oleh salah satu pimpinan mereka, Aman Abdurrahman. Pelibatan anak-anak dalam aksi teror juga dinilai sebagai modus baru terorisme di Indonesia. "Salah satu yang mengatakan sejauh yang saya tahu Aman Abdurrahman. Ini anak-anak, terus terang di Indonesia baru, dengan menjadikan satu keluarga sebagai bomber. Kalau cuma kakak-beradik sebenarnya ada. Tapi yang kemudian satu keluarga, termasuk dengan anak-anaknya, ini baru di Indonesia," jelasnya.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irfan Idris berpendapat bahwa sosok perempuan sebagai seorang istri dan ibu memiliki pengaruh yang besar untuk meradikalisasi suami dan anak-anaknya. Karena itu, dia khawatir modus teror satu keluarga ini bisa ditiru oleh kelompok teroris lain.
"Bisa saja menjadi pendorong dan pemicu untuk yang lainnya, khususnya bagi mereka yang tidak sabar lagi menuju surga," ungkapnya.
Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menduga motif peledakan bom ingin menunjukkan eksistensi kelompok teror dan membuat kacau situasi dan kondisi sosial-politik di Indonesia. Dugaan tersebut muncul karena polisi dan saksi menyebut pelaku adalah wanita dan membawa anak-anak.
"Ini bukan hal baru. Kasus tahun lalu rencana bom panci calon pengantin adalah wanita, dan di kelompok teror para wanita juga ada beberapa yang siap menjadi 'pengantin'," kata Harits.
(amm)