Hakim Pertanyakan Tanda Tangan Ijazah STT Setia

Rabu, 09 Mei 2018 - 19:46 WIB
Hakim Pertanyakan Tanda...
Hakim Pertanyakan Tanda Tangan Ijazah STT Setia
A A A
JAKARTA - Sidang ke-14 lanjutan kasus penerbitan ijazah palsu STT Injili Arastamar sehubungan dengan dugaan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dan penerbitan ijazah tanpa izin sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di Pengadilan Jakarta Timur, kemarin.

Fakta-fakta pada persidangan dugaan kasus penerbitan ijazah palsu STT Injili Arastamar terus mencuat. Di persidangan ke-14, saksi yang dihadirkan terdakwa, Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon, menyatakan bahwa mahasiswa tidak mendapat ijazah tapi sertifikat.

Persidangan yang digelar di ruang sidang utama. Ada tujuh orang yang dihadirkan sebagai saksi dari terdakwa. Penasihat hukum terdakwa Tommy Sihotang menyatakan, pihaknya membawa tujuh orang saksi.

"Ada enam orang sebagai saksi fakta yang semuanya berasal dari alumnus STT Injili Arastamar dan seorang saksi ahli dari Kemenristekdikti bagian biro hukum," tuturnya.

Sayang, saksi yang diklaim oleh terdakwa sebagai saksi ahli ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Asnawi. Saksi yang diketahui bernama Polaris Siregar itu dianggap bukan saksi ahli.

"Sebab Polaris ini di BAP kepolisian diperiksa sebagai saksi meringankan sebagaimana diminta oleh tersangka Matheus," ujarnya.

Selain itu lanjut dia, Polaris juga tidak bisa menunjukkan curriculum vitae (CV). Alhasil, hakim ketua Ninik meminta kepada penasihat hukum terdakwa untuk menghadirkan saksi ahli lain. Agenda pemeriksaan saksi ahli tersebut akan dilakukan pada Senin (14/5).

Menanggapi hal tersebut, Tommy menyebutkan, jika dirinya telah menyiapkan saksi ahli. Saksi ahli yang bakal dihadirkan pada Senin pekan depan berasal dari Universitas Indonesia. "Dari bidang hukum," katanya.

Di dalam persidangan, dua dari 6 alumnus STT Injili Arastamar menggunakan sertifikat PGSD untuk mendaftar sebagai CPNS. Keduanya yakni Lenora M Donuisang dan Saliran. "Saya pakai sertfikat itu. Bukan ijazah S1," ungkap Lenora di depan majelis hakim.

Lenora dan Saliran kini berstatus sebagai guru PNS di kedua sekolah yang berbeda di Jakarta. Lalu fakta kedua, ada perbedaan warna pada ijazah yang diterima oleh alumni. Tepatnya oleh saksi Andike dan Lenora.

"Saya agak ada warna birunya. Berbeda, hampir sama yang mulia," ujar Andike.

Sontak membuat hakim ketua terkejut. Hakim pun bertanya maksud pernyataan Andike. "Loh kok hampir sama? Tapi tanda tangan di sertifikat itu siapa?," tanya hakim ketua.

Andike lantas menjawab pertanyaan hakim ketua. "Tanda tangan di ijazah ada Pak Matheus dan Bu Ernawaty," katanya.

Sementara saksi korban berikutnya dari korban yakni Esther Wuniberu, yang sebelumnya pernah dihadirkan. Lenora menyatakan bahwa dirinya lulus dari program PGSD pada 2003. Sedangkan, pada saat Esther memberikan keterangan, jika program PGSD dimulai pada 2003.

"Program yang saya ikuti itu (PGSD, red) intensif. Jadi dipercepat,” ujar Lenora.

Sementara itu penasihat hukum korban Yakob Budiman, penasihat hukum dari kantor Advokat Sabar Ompu Sunggu & Partners, menuturkan bahwa jika PGSD dimulai sebelum 2003, tapi pada 2003 terdakwa tetap melaksanakan PGSD maka itu tetap menyalahi regulasi yang ada. Yakni UU Sisdiknas.

"Sehingga, penyelenggaraan PGSD yang dilakukan tanpa ijin terhitung sejak 2003 pada saat UU Sisdiknas terbit. Dan, itu masuk pidana," paparnya.

Kecuali lanjut Yakob, PGSD diberhentikan sebelum UU itu terbit. Dia berharap, saksi ahli yang dihadirkan terdakwa bisa memberikan pernyataan sesuai hukum.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5591 seconds (0.1#10.140)