Banyak TKA Menjadi Pekerja Kasar
A
A
A
JAKARTA - Hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkap temuan baru terkait datangnya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia.
Temuan itu yakni masuknya sejumlah pekerja asal China yang tidak memiliki keterampilan. Berdasarkan temuan tim ORI di lapangan, tenaga kerja asal China yang masuk Indonesia tidak terdeteksi oleh pemerintah pusat. Hal tersebut karena ada perbedaan data temuan ORI dengan data pemerintah mengenai jumlah TKA.
Banyak di antara para TKA tersebut bukan tenaga ahli, melainkan hanya pekerja kasar tanpa keahlian “Ada kondisi arus TKA khususnya dari China deras sekali tiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskill labor (tanpa keterampilan),” kata anggota ORI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja dan Kepegawaian Laode Ida saat jumpa pers di Jakarta kemarin.
Menurut Laode Ida, investigasi yang dilakukan ORI dilakukan ke sejumlah daerah, diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau. Proses investigasi dilaksanakan pada Juni hingga Desember 2017.
Hasil investigasi di lapangan, diketahui TKA tersebut dipekerjakan di daerah yang merupakan perusahaan asal dae rahnya masing-masing. Selain itu, para TKA tersebut memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari pekerja lokal. “(mereka tersebar) di Jalur Cengkareng-Kendari saja, di pagi hari arusnya 70-80% penumpang Lion Air dan Batik Air itu tenaga kerja asing,” ungkapnya.
Kondisi ini menurut dia mengindikasikan lemahnya pengawasan dari sejumlah pihak atas maraknya pekerja asing. Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) seharusnya dapat menindak tegas temuan tersebut.
“Beberapa faktor yang menyebabkan belum maksimalnya pengawasan oleh Timpora antara lain ketidaktegasan terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pengawas, keterbatasan anggaran, dan lemahnya koordinasi antarinstansi,” urainya.
Dia menambahkan bahwa arus tenaga kerja asing yang masuk Indonesia tercatat sangat tinggi. Selain itu, TKA dari Chi na mendominasi dibanding kan para TKA dari negara lain. “Arus TKA China begitu deras, tiap hari masuk ke negeri ini,” katanya.
Selain itu, ORI menemukan bahwa banyak TKA yang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang tercantum pada visa kerja dan izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA). Sebagian di antara mereka juga ditemukan masih aktif bekerja, padahal masa berlaku IMTA sudah habis dan tidak diperpanjang.
Terpisah, pemerintah akan menindak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) kasar. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, pemerintah tetap akan menolak apabila ada perusahaan mengajukan TKA sebagai pekerja kasar.
Jika ditemukan pekerja kasar maka masuk kategori pelanggaran dan sebagai kasus. “Perlakukan kasus sebagai kasus. Karena kita juga tak ingin apa yang terjadi pada TKI kita digeneralisir,” ujarnya.
Menaker menyatakan jumlah pekerja asing di Indonesia masih tergolong proporsional, menyusul ramainya pemberitaan maraknya TKA menyerbu di Indonesia setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA.
“Jadi tak perlu dikhawatirkan, bahwa lapangan kerja yang tersedia jauh lebih banyak dibandingkan yang dimasuki oleh TKA tersebut, “ katanya kemarin. Menurut Hanif, terbitnya perpres tersebut tidak akan berdampak makin besarnya jumlah TKA di Indonesia.
Pasalnya, Perpres Nomor 20 Tahun 2018 itu hanya mempercepat proses izin penggunaan TKA menjadi lebih cepat dan efisien. “Tak perlu khawatir, proporsinya masih sangat didominasi TKI. TKA hanya mengisi proporsi yang lebih kecil dalam kesempatan kerja di dalam negeri,” katanya.
Menurut Hanif, jumlah TKA hingga akhir 2017 masih wajar dan rendah yakni sekitar 85.947 pekerja. Hal senada diungkapkan Dirjen Imigrasi Kemenkumham Ronny Sompie yang mengatakan, adanya Perpres TKA memberi kemudahan secara birokrasi per izinan TKA, tetapi tidak mengendurkan pengawasan terhadap TKA.
“Jadi, ini kemudahan untuk birokrasi. Nah, tapi pengawasannya, perintah Presiden harus diperketat pengawasan setelah mereka datang, bagi yang tidak memiliki izin apa lagi. Itu pengawasannya pasti kita lakukan,” Ronny.
Di sisi lain, Komisi IX DPR membuat sejumlah kesimpulan untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah, di antaranya mendesak Kemenaker melaksanakan rekomendasi Panja (panitia kerja) Pengawasan TKA Komisi IX DPR RI selambat-lambatnya tiga bulan.
Selanjutnya meminta Kemenaker membuat aturan turunan terhadap pelaksanaan Perpres Nomor 20/2018 tentang Penggunaan TKA untuk meminimalisasi kesalahpahaman terhadap terbitnya perpres tersebut.
“Dan meningkatkan sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018, sehingga informasi dan komunikasi di tengah-tengah masyarakat terkait TKA lebih jelas,” kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, membacakan kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR.
Dede menambahkan, regulasi turunan Perpres TKA itu perlu mengatur tentang peningkatan kualitas pendidikan dan keahlian TKI, serta tidak mendiskriminasi upah pekerja lokal dan pekerja asing. Komisi IX juga akan membentuk Tim Pengawas TKA untuk meningkatkan pengawasan pekerja asing serta mengagendakan kunjungan untuk memperoleh masukan terkait fakta-fakta TKA yang melakukan pekerjaan secara ilegal di daerah-daerah. (Neneng Zubaidah/ Kiswondari/Okezone)
Temuan itu yakni masuknya sejumlah pekerja asal China yang tidak memiliki keterampilan. Berdasarkan temuan tim ORI di lapangan, tenaga kerja asal China yang masuk Indonesia tidak terdeteksi oleh pemerintah pusat. Hal tersebut karena ada perbedaan data temuan ORI dengan data pemerintah mengenai jumlah TKA.
Banyak di antara para TKA tersebut bukan tenaga ahli, melainkan hanya pekerja kasar tanpa keahlian “Ada kondisi arus TKA khususnya dari China deras sekali tiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskill labor (tanpa keterampilan),” kata anggota ORI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja dan Kepegawaian Laode Ida saat jumpa pers di Jakarta kemarin.
Menurut Laode Ida, investigasi yang dilakukan ORI dilakukan ke sejumlah daerah, diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau. Proses investigasi dilaksanakan pada Juni hingga Desember 2017.
Hasil investigasi di lapangan, diketahui TKA tersebut dipekerjakan di daerah yang merupakan perusahaan asal dae rahnya masing-masing. Selain itu, para TKA tersebut memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari pekerja lokal. “(mereka tersebar) di Jalur Cengkareng-Kendari saja, di pagi hari arusnya 70-80% penumpang Lion Air dan Batik Air itu tenaga kerja asing,” ungkapnya.
Kondisi ini menurut dia mengindikasikan lemahnya pengawasan dari sejumlah pihak atas maraknya pekerja asing. Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) seharusnya dapat menindak tegas temuan tersebut.
“Beberapa faktor yang menyebabkan belum maksimalnya pengawasan oleh Timpora antara lain ketidaktegasan terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pengawas, keterbatasan anggaran, dan lemahnya koordinasi antarinstansi,” urainya.
Dia menambahkan bahwa arus tenaga kerja asing yang masuk Indonesia tercatat sangat tinggi. Selain itu, TKA dari Chi na mendominasi dibanding kan para TKA dari negara lain. “Arus TKA China begitu deras, tiap hari masuk ke negeri ini,” katanya.
Selain itu, ORI menemukan bahwa banyak TKA yang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang tercantum pada visa kerja dan izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA). Sebagian di antara mereka juga ditemukan masih aktif bekerja, padahal masa berlaku IMTA sudah habis dan tidak diperpanjang.
Terpisah, pemerintah akan menindak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) kasar. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, pemerintah tetap akan menolak apabila ada perusahaan mengajukan TKA sebagai pekerja kasar.
Jika ditemukan pekerja kasar maka masuk kategori pelanggaran dan sebagai kasus. “Perlakukan kasus sebagai kasus. Karena kita juga tak ingin apa yang terjadi pada TKI kita digeneralisir,” ujarnya.
Menaker menyatakan jumlah pekerja asing di Indonesia masih tergolong proporsional, menyusul ramainya pemberitaan maraknya TKA menyerbu di Indonesia setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA.
“Jadi tak perlu dikhawatirkan, bahwa lapangan kerja yang tersedia jauh lebih banyak dibandingkan yang dimasuki oleh TKA tersebut, “ katanya kemarin. Menurut Hanif, terbitnya perpres tersebut tidak akan berdampak makin besarnya jumlah TKA di Indonesia.
Pasalnya, Perpres Nomor 20 Tahun 2018 itu hanya mempercepat proses izin penggunaan TKA menjadi lebih cepat dan efisien. “Tak perlu khawatir, proporsinya masih sangat didominasi TKI. TKA hanya mengisi proporsi yang lebih kecil dalam kesempatan kerja di dalam negeri,” katanya.
Menurut Hanif, jumlah TKA hingga akhir 2017 masih wajar dan rendah yakni sekitar 85.947 pekerja. Hal senada diungkapkan Dirjen Imigrasi Kemenkumham Ronny Sompie yang mengatakan, adanya Perpres TKA memberi kemudahan secara birokrasi per izinan TKA, tetapi tidak mengendurkan pengawasan terhadap TKA.
“Jadi, ini kemudahan untuk birokrasi. Nah, tapi pengawasannya, perintah Presiden harus diperketat pengawasan setelah mereka datang, bagi yang tidak memiliki izin apa lagi. Itu pengawasannya pasti kita lakukan,” Ronny.
Di sisi lain, Komisi IX DPR membuat sejumlah kesimpulan untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah, di antaranya mendesak Kemenaker melaksanakan rekomendasi Panja (panitia kerja) Pengawasan TKA Komisi IX DPR RI selambat-lambatnya tiga bulan.
Selanjutnya meminta Kemenaker membuat aturan turunan terhadap pelaksanaan Perpres Nomor 20/2018 tentang Penggunaan TKA untuk meminimalisasi kesalahpahaman terhadap terbitnya perpres tersebut.
“Dan meningkatkan sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018, sehingga informasi dan komunikasi di tengah-tengah masyarakat terkait TKA lebih jelas,” kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, membacakan kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR.
Dede menambahkan, regulasi turunan Perpres TKA itu perlu mengatur tentang peningkatan kualitas pendidikan dan keahlian TKI, serta tidak mendiskriminasi upah pekerja lokal dan pekerja asing. Komisi IX juga akan membentuk Tim Pengawas TKA untuk meningkatkan pengawasan pekerja asing serta mengagendakan kunjungan untuk memperoleh masukan terkait fakta-fakta TKA yang melakukan pekerjaan secara ilegal di daerah-daerah. (Neneng Zubaidah/ Kiswondari/Okezone)
(nfl)