Segera Eksekusi Terpidana Mati Kasus Narkoba!
A
A
A
JAKARTA - Indonesia akan terus menjadi target sasaran peredaran obat-obatan terlarang karena jaringan mafia narkoba melihat penegakan hukum di negeri ini masih lemah.
Indikasi ini salah satunya berupa ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terpidana mati narkoba. Kondisi demikian terbilang ironis bila di bandingkan era awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertindak tegas dengan mengeksekusi 18 terpidana mati melalui tiga jilid eksekusi, di antaranya atas warga negara (WN) Australia ang gota Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran serta gembong narkoba Freddy Budiman.
Setelah kevakuman eksekusi terpidana mati akibat tidak berlanjutnya eksekusi mati, penyelundupan narkoba dalam sekala besar seolah datang silih berganti. Beberapa kasus kakap yang terungkap antara lain penyelundupan 1 ton sabu asal China di Anyer, Banten (13/07/2017), 1,03 ton sabu dari kapal MV Sunrise Glory di perairan Batam (07/02/ 2018), dan 1,8 ton sabu dari kapal Pinuin Union di per airan Anambas, Riau (20/02/2018).
Data hingga 2016 menyebut 47 terpidana mati antre eksekusi, termasuk di antaranya dalam proses banding, kasasi, peninjauan kembali, dan grasi. Kini jumlah terpidana mati kasus narkoba kembali bertambah. Sebanyak 8 tersangka penyelundupan 1 ton sabu di Serang di vonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.
Di antara terpidana mati yang belum juga dieksekusi ada lah Togiman. Padahal bandar yang akrab dengan sapaan Toge itu dua kali divonis mati, yakni atas kasus penyelundupan 25 kg sabu dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp6,4 triliun.
Yang memprihatinkan, Toge tetap bisa mengendalikan bisnis narkoba saat menunggu eksekusi mati di dalam penjara. “Maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum. Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih fleksibel,” ujar pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra kepada KORAN SINDO kemarin.
Dalam pandangannya, negara tidak boleh abai atau berada dalam posisi kedap. Sebaliknya negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Pemerintah terutama penegak hukum harus tegas melindungi warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba.
“Maka eksekusi mati harus dijalankan, tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba banyak dijalankan dari dalam lapas atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana,” tegasnya.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, pemberian eksekusi mati bagi penyelundup sabu sebenarnya dapat memberikan efek jera yang signifikan.
“Jika delay pemberian hukuman terlalu lama, akan ada faktor-faktor lain yang memengaruhi sehingga efektivitas hukuman menjadi tidak optimal,” katanya kemarin.
Dia menilai, mafia narkoba yang seharusnya menjadi takut akan hukuman, dengan melihat contoh eksekusi mati yang tidak jelas demikian, menjadi tidak dapat melihat hubungan kausalitas antara perilaku dan hukuman. Hal ini jelas melemahkan hukum itu sendiri.
“Law enforcement harus disertai dengan kesegeraan. Kalau tidak ada kesegeraan, hubungan antara pelanggaran dengan law enforcement menjadi kabur. Pemerintah perlu memprioritaskan eksekusi agar efek jera bisa terjadi. Efek jera itu hasil pembelajaran. Kalau tidak konsisten ya tidak akan berdampak,” tandasnya.
Desakan penyegeraan eksekusi mati pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ekspos barang bukti sabu di Pelabuhan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau beberapa waktu lalu.
Dia melihat kasus penyelundupan sabu terus terjadi lantaran ada terpidana mati yang tak kunjung dieksekusi. “Jadi ada yang mengoperasikan dan mengoordinasikan suatu penyelundupan. Sudah dua kali dihukum mati, tapi belum mati. Karena menunggu hukum dilaksanakan, dia masih bisa melakukan bisnis narkotika,” kata Sri.
Sebelumnya Jaksa Agung M Prasetyo mengaku sulit menjawab secara terbuka alasan tidak melanjutkan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba. Secara tidak langsung dia mengakui menemui dilema untuk melanjutkan eksekusi mati tersebut.
“Kami berada di bawah posisi sebagai yudikatif dan sebagai eksekutif. Saya pikir Bapak bisa memahami maksud saya. Banyak hal penting bangsa ini yang mesti diprioritaskan di samping eksekusi mati juga penting,” ujar Prasetyo. Secara tegas dia menolak jika disebut bahwa penundaan eksekusi mati karena alasan ketidakberanian.
Sebagai bukti Kejaksaan Agung telah mengeksekusi mati 18 orang. Secara diplomatis dia mengatakan ada persoalan lain yang dihadapi bangsa ini yang juga perlu diprioritaskan. “Kita sedang berusaha untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kita sedang melakukan perbaikan ekonomi dan politik, sementara mayoritas negara dunia sudah meniadakan hukuman mati,” kata Prasetyo.
Dia lantas memaparkan, ada dua aspek yang terkait dalam pelaksanaan hukuman mati, yakni aspek yuridis dan teknis. Dari aspek yuridis, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada kendala dalam eksekusi mati, yakni dihapuskannya pembatasan pengajuan grasi.
Akibatnya terpidana mati bebas mengajukan grasi sesuai dengan yang dikehendaki. “Mengenai persoalan teknis, hal itu tidak menjadi persoalan jika masalah yuridis sudah terpenuhi. Tinggal menyiapkan tempatnya dan tinggal didor saja,” tandasnya.
Delapan WN Taiwan Divonis Mati
Pengadilan Indonesia kembali menjatuhkan vonis mati terhadap jaringan narkoba. Vonis teranyar ini dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap 8 warga negara Taiwan yang terlibat dalam penyelundupan 1 ton sabu di Anyer, Banten. Kedelapan orang tersebut di vonis dalam dua putusan berbeda.
Pertama , tiga terdakwa—Liao Guan Yu, Chen Wei Cyuan, dan Hsu Yung Li divonis mati karena berperan menerima sabu setelah dibawa dari Taiwan melalui jalur laut. Majelis hakim menilai ketiga terdakwa terbukti melanggar Pasal 114 ayat 2 juncto Pasal 132 ayat 1 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sesuai dengan dakwaan primer jaksa penuntut umum. Ketiganya dianggap terbukti menerima narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya lebih dari 5 gram.
Perbuatan mereka bertentangan dengan program Pemerintah Indonesia yang giat memberantas narkoba. Perbuatan mereka juga dinilai merusak generasi muda dan menghancurkan sendi-sendi NKRI.
“Menimbang bahwa selama pe meriksaan di persidangan, majelis hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf dan alasan pembenaran yang dapat menghapuskan dan atau mengecualikan pidana bagi para terdakwa, maka para terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya,” papar hakim Effendi Mukhtar.
Adapun kelima terdakwa lain yang divonis mati adalah Juang Jin Sheng, Sun Kuo Tai, Sun Chih Feng, Kuo Chun Yuan, dan Tsai Chih Hung. Mereka disidangkan secara terpisah dengan hakim ketua Haruno Patriyadi. Berkas perkara mereka berbeda dengan berkas perkara ketiga terdakwa yang di vonis hukuman mati.
Kelimanya berperan sebagai awak kapal Wanderlust yang hendak mengantar sabu ke Anyer. “Menyatakan terdakwa Juang Jin Sheng, Sun Kuo Tai, Sun Chih Feng, Kuo Chun Yuan, dan Tsai Chih Hung telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum menyerahkan narkotika lebih dari 5 gram.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa pidana mati. Terdakwa tetap di tahan,” ujar Haruno Patriyadi dalam persidangan. Setelah vonis, kuasa hukum terdakwa Juan Hutabarat langsung mengajukan banding. Juan menyadari kesalahan yang dilakukan kliennya, yakni terlibat dalam penyelundupan narkotika.
Namun dia bilang bahwa para terdakwa bukanlah pelaku utama dalam jaringan tersebut. “Artinya mereka juga manusia yang tidak tahu apa yang dibawanya,” ucap Juan. Dia lantas menuturkan, pihaknya sebelumnya sudah mencoba menjalin komunikasi dengan perwakilan Pemerintah Taiwan mengenai masalah hukum yang menimpa warganya.
Namun ternyata pemerintah mereka tidak memberikan bantuan hukum. Dia menjadi kuasa hukum karena ditunjuk pemerintah. “Artinya tidak ada perhatian khusus terhadap warganya,” tandas dia. (M Yamin/ R Ratna Purnama/ Helmy Syarief/Ant)
Indikasi ini salah satunya berupa ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terpidana mati narkoba. Kondisi demikian terbilang ironis bila di bandingkan era awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertindak tegas dengan mengeksekusi 18 terpidana mati melalui tiga jilid eksekusi, di antaranya atas warga negara (WN) Australia ang gota Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran serta gembong narkoba Freddy Budiman.
Setelah kevakuman eksekusi terpidana mati akibat tidak berlanjutnya eksekusi mati, penyelundupan narkoba dalam sekala besar seolah datang silih berganti. Beberapa kasus kakap yang terungkap antara lain penyelundupan 1 ton sabu asal China di Anyer, Banten (13/07/2017), 1,03 ton sabu dari kapal MV Sunrise Glory di perairan Batam (07/02/ 2018), dan 1,8 ton sabu dari kapal Pinuin Union di per airan Anambas, Riau (20/02/2018).
Data hingga 2016 menyebut 47 terpidana mati antre eksekusi, termasuk di antaranya dalam proses banding, kasasi, peninjauan kembali, dan grasi. Kini jumlah terpidana mati kasus narkoba kembali bertambah. Sebanyak 8 tersangka penyelundupan 1 ton sabu di Serang di vonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.
Di antara terpidana mati yang belum juga dieksekusi ada lah Togiman. Padahal bandar yang akrab dengan sapaan Toge itu dua kali divonis mati, yakni atas kasus penyelundupan 25 kg sabu dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp6,4 triliun.
Yang memprihatinkan, Toge tetap bisa mengendalikan bisnis narkoba saat menunggu eksekusi mati di dalam penjara. “Maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum. Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih fleksibel,” ujar pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra kepada KORAN SINDO kemarin.
Dalam pandangannya, negara tidak boleh abai atau berada dalam posisi kedap. Sebaliknya negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Pemerintah terutama penegak hukum harus tegas melindungi warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba.
“Maka eksekusi mati harus dijalankan, tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba banyak dijalankan dari dalam lapas atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana,” tegasnya.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, pemberian eksekusi mati bagi penyelundup sabu sebenarnya dapat memberikan efek jera yang signifikan.
“Jika delay pemberian hukuman terlalu lama, akan ada faktor-faktor lain yang memengaruhi sehingga efektivitas hukuman menjadi tidak optimal,” katanya kemarin.
Dia menilai, mafia narkoba yang seharusnya menjadi takut akan hukuman, dengan melihat contoh eksekusi mati yang tidak jelas demikian, menjadi tidak dapat melihat hubungan kausalitas antara perilaku dan hukuman. Hal ini jelas melemahkan hukum itu sendiri.
“Law enforcement harus disertai dengan kesegeraan. Kalau tidak ada kesegeraan, hubungan antara pelanggaran dengan law enforcement menjadi kabur. Pemerintah perlu memprioritaskan eksekusi agar efek jera bisa terjadi. Efek jera itu hasil pembelajaran. Kalau tidak konsisten ya tidak akan berdampak,” tandasnya.
Desakan penyegeraan eksekusi mati pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ekspos barang bukti sabu di Pelabuhan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau beberapa waktu lalu.
Dia melihat kasus penyelundupan sabu terus terjadi lantaran ada terpidana mati yang tak kunjung dieksekusi. “Jadi ada yang mengoperasikan dan mengoordinasikan suatu penyelundupan. Sudah dua kali dihukum mati, tapi belum mati. Karena menunggu hukum dilaksanakan, dia masih bisa melakukan bisnis narkotika,” kata Sri.
Sebelumnya Jaksa Agung M Prasetyo mengaku sulit menjawab secara terbuka alasan tidak melanjutkan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba. Secara tidak langsung dia mengakui menemui dilema untuk melanjutkan eksekusi mati tersebut.
“Kami berada di bawah posisi sebagai yudikatif dan sebagai eksekutif. Saya pikir Bapak bisa memahami maksud saya. Banyak hal penting bangsa ini yang mesti diprioritaskan di samping eksekusi mati juga penting,” ujar Prasetyo. Secara tegas dia menolak jika disebut bahwa penundaan eksekusi mati karena alasan ketidakberanian.
Sebagai bukti Kejaksaan Agung telah mengeksekusi mati 18 orang. Secara diplomatis dia mengatakan ada persoalan lain yang dihadapi bangsa ini yang juga perlu diprioritaskan. “Kita sedang berusaha untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kita sedang melakukan perbaikan ekonomi dan politik, sementara mayoritas negara dunia sudah meniadakan hukuman mati,” kata Prasetyo.
Dia lantas memaparkan, ada dua aspek yang terkait dalam pelaksanaan hukuman mati, yakni aspek yuridis dan teknis. Dari aspek yuridis, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada kendala dalam eksekusi mati, yakni dihapuskannya pembatasan pengajuan grasi.
Akibatnya terpidana mati bebas mengajukan grasi sesuai dengan yang dikehendaki. “Mengenai persoalan teknis, hal itu tidak menjadi persoalan jika masalah yuridis sudah terpenuhi. Tinggal menyiapkan tempatnya dan tinggal didor saja,” tandasnya.
Delapan WN Taiwan Divonis Mati
Pengadilan Indonesia kembali menjatuhkan vonis mati terhadap jaringan narkoba. Vonis teranyar ini dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap 8 warga negara Taiwan yang terlibat dalam penyelundupan 1 ton sabu di Anyer, Banten. Kedelapan orang tersebut di vonis dalam dua putusan berbeda.
Pertama , tiga terdakwa—Liao Guan Yu, Chen Wei Cyuan, dan Hsu Yung Li divonis mati karena berperan menerima sabu setelah dibawa dari Taiwan melalui jalur laut. Majelis hakim menilai ketiga terdakwa terbukti melanggar Pasal 114 ayat 2 juncto Pasal 132 ayat 1 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sesuai dengan dakwaan primer jaksa penuntut umum. Ketiganya dianggap terbukti menerima narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya lebih dari 5 gram.
Perbuatan mereka bertentangan dengan program Pemerintah Indonesia yang giat memberantas narkoba. Perbuatan mereka juga dinilai merusak generasi muda dan menghancurkan sendi-sendi NKRI.
“Menimbang bahwa selama pe meriksaan di persidangan, majelis hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf dan alasan pembenaran yang dapat menghapuskan dan atau mengecualikan pidana bagi para terdakwa, maka para terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya,” papar hakim Effendi Mukhtar.
Adapun kelima terdakwa lain yang divonis mati adalah Juang Jin Sheng, Sun Kuo Tai, Sun Chih Feng, Kuo Chun Yuan, dan Tsai Chih Hung. Mereka disidangkan secara terpisah dengan hakim ketua Haruno Patriyadi. Berkas perkara mereka berbeda dengan berkas perkara ketiga terdakwa yang di vonis hukuman mati.
Kelimanya berperan sebagai awak kapal Wanderlust yang hendak mengantar sabu ke Anyer. “Menyatakan terdakwa Juang Jin Sheng, Sun Kuo Tai, Sun Chih Feng, Kuo Chun Yuan, dan Tsai Chih Hung telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum menyerahkan narkotika lebih dari 5 gram.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa pidana mati. Terdakwa tetap di tahan,” ujar Haruno Patriyadi dalam persidangan. Setelah vonis, kuasa hukum terdakwa Juan Hutabarat langsung mengajukan banding. Juan menyadari kesalahan yang dilakukan kliennya, yakni terlibat dalam penyelundupan narkotika.
Namun dia bilang bahwa para terdakwa bukanlah pelaku utama dalam jaringan tersebut. “Artinya mereka juga manusia yang tidak tahu apa yang dibawanya,” ucap Juan. Dia lantas menuturkan, pihaknya sebelumnya sudah mencoba menjalin komunikasi dengan perwakilan Pemerintah Taiwan mengenai masalah hukum yang menimpa warganya.
Namun ternyata pemerintah mereka tidak memberikan bantuan hukum. Dia menjadi kuasa hukum karena ditunjuk pemerintah. “Artinya tidak ada perhatian khusus terhadap warganya,” tandas dia. (M Yamin/ R Ratna Purnama/ Helmy Syarief/Ant)
(nfl)