Happy Salma: Melihat Pram Sama dengan Melihat Indonesia
A
A
A
JAKARTA - The Solitude: Pram & The Art of Writing (Namaku Pram: Catatan & Arsip) merupakan sebuah pameran yang menampilkan perjalanan proses kreatif penulis sekaligus sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer hingga menghasilkan karya seperti yang kita kenal saat ini. Pameran ini tercetus dikala artis Happy Salma (selaku penggagas pameran) mengunjungi rumah peninggalan sang sastrawan di daerah Bojonggede, Bogor.
Di rumah ini banyak sekali barang-barang pribadi milik penulis yang digunakan semasa hidupnya seperti mesin tik, meja kerja, asbak bahkan rokok terakhir yang dipunya sang sastrawan. Terdapat pula perpustakaan dengan koleksi buku yang berisi karya-karya yang telah dipublikasikan berikut arsip-arsip dan tulisan-tulisan data yang dikumpulkan saat sedang menulis.
Dari koleksi tersebut dapat disimpulkan, dalam menulis Pramoedya melakukan riset luar biasa mendalam mengenai cerita yang ditulisnya. Proses kreatif ini terdokumentasikan dengan begitu baik di tiap sudut ruang kerjanya ini.
Bahkan sampai hampir dua belas tahun sepeninggal Pramoedya, suaranya terus menggema di tiap sudut ruang kerja tempatnya melahirkan karya-karya besar yang tak tergerus oleh waktu. Karya besar dan barang beserta arsip-arsip pribadi Pramoedya itulah yang bakal dipamerkan.
"Melihat Pram sama dengan melihat Indonesia. Saya baru menyadari bahwa cara pandang dan karya seorang Pram ternyata jauh melampaui jamannya," ujar Happy Salma.
Pameran bertajuk ‘The Solitude: Pram & The Art of Writing’ (Namaku Pram: Catatan dan Arsip) berlangsung di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta, pada 17-20 Mei. Tadi sore, mini pameran dibuka secara resmi di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, dengan menghadirkan aktor kawakan Slamet Rahardjo, produser Teater Koma Ratnatiarno, artis Happy Salma dan keluarga besar mendiang Pramoedya Ananta Toer.
“Penting untuk diketahui oleh masyarakat umum, terutama generasi muda, bahwa Indonesia pernah mempunyai seorang penulis yang tidak hanya unggul dalam karya, tetapi juga merupakan seorang pencatat yang rajin dan konsisten dalam mendokumentasikan berbagai peristiwa dari seluruh pelosok tanah air."
"Semoga pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip ini dapat memperlihatkan sisi lain seorang Pramoedya Ananta Toer dalam kesehariannya dan dapat menginspirasi generasi muda untuk lebih mencintai sastra Indonesia serta menjadikan sastra sebagai bagian gaya hidup sehari-hari,” sambung Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan karya-karyanya mulai dikenal sejak tahun 1950-an seperti cerpen dan novel. Selama tujuh dekade masa hidupnya dipakai untuk menulis lebih dari 50 buku, dan cerita-ceritanya ini diterjemahkan ke dalam 42 bahasa dunia termasuk di antaranya Bahasa Spanyol pedalaman dan Bahasa Urdu.
Pramoedya Ananta Toer merupakan satu-satunya penulis Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra. Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya lebih dari sekadar hadiah Nobel atau sejumlah penghargaan lainnya yang ia terima dari dunia internasional.
Karya-karya Pramoedya tak pernah berhenti menjadi inspirasi banyak orang demi memaknai sejarah perjuangan kemanusiaan di tengah berbagai penindasan. Terutama lewat empat novelnya yang terpenting yang ditulisnya semasa menjalani tahanan di Pulau Buru. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, merupakan empat novel yang dikenal dengan tetralogi Pulau Buru.
Di rumah ini banyak sekali barang-barang pribadi milik penulis yang digunakan semasa hidupnya seperti mesin tik, meja kerja, asbak bahkan rokok terakhir yang dipunya sang sastrawan. Terdapat pula perpustakaan dengan koleksi buku yang berisi karya-karya yang telah dipublikasikan berikut arsip-arsip dan tulisan-tulisan data yang dikumpulkan saat sedang menulis.
Dari koleksi tersebut dapat disimpulkan, dalam menulis Pramoedya melakukan riset luar biasa mendalam mengenai cerita yang ditulisnya. Proses kreatif ini terdokumentasikan dengan begitu baik di tiap sudut ruang kerjanya ini.
Bahkan sampai hampir dua belas tahun sepeninggal Pramoedya, suaranya terus menggema di tiap sudut ruang kerja tempatnya melahirkan karya-karya besar yang tak tergerus oleh waktu. Karya besar dan barang beserta arsip-arsip pribadi Pramoedya itulah yang bakal dipamerkan.
"Melihat Pram sama dengan melihat Indonesia. Saya baru menyadari bahwa cara pandang dan karya seorang Pram ternyata jauh melampaui jamannya," ujar Happy Salma.
Pameran bertajuk ‘The Solitude: Pram & The Art of Writing’ (Namaku Pram: Catatan dan Arsip) berlangsung di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta, pada 17-20 Mei. Tadi sore, mini pameran dibuka secara resmi di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, dengan menghadirkan aktor kawakan Slamet Rahardjo, produser Teater Koma Ratnatiarno, artis Happy Salma dan keluarga besar mendiang Pramoedya Ananta Toer.
“Penting untuk diketahui oleh masyarakat umum, terutama generasi muda, bahwa Indonesia pernah mempunyai seorang penulis yang tidak hanya unggul dalam karya, tetapi juga merupakan seorang pencatat yang rajin dan konsisten dalam mendokumentasikan berbagai peristiwa dari seluruh pelosok tanah air."
"Semoga pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip ini dapat memperlihatkan sisi lain seorang Pramoedya Ananta Toer dalam kesehariannya dan dapat menginspirasi generasi muda untuk lebih mencintai sastra Indonesia serta menjadikan sastra sebagai bagian gaya hidup sehari-hari,” sambung Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan karya-karyanya mulai dikenal sejak tahun 1950-an seperti cerpen dan novel. Selama tujuh dekade masa hidupnya dipakai untuk menulis lebih dari 50 buku, dan cerita-ceritanya ini diterjemahkan ke dalam 42 bahasa dunia termasuk di antaranya Bahasa Spanyol pedalaman dan Bahasa Urdu.
Pramoedya Ananta Toer merupakan satu-satunya penulis Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra. Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya lebih dari sekadar hadiah Nobel atau sejumlah penghargaan lainnya yang ia terima dari dunia internasional.
Karya-karya Pramoedya tak pernah berhenti menjadi inspirasi banyak orang demi memaknai sejarah perjuangan kemanusiaan di tengah berbagai penindasan. Terutama lewat empat novelnya yang terpenting yang ditulisnya semasa menjalani tahanan di Pulau Buru. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, merupakan empat novel yang dikenal dengan tetralogi Pulau Buru.
(kri)