Batas Usia Pernikahan Bakal Dinaikkan
A
A
A
JAKARTA - Pernikahan dini yang marak terjadi di sejumlah daerah mendapat perhatian khusus pemerintah. Batas usia pernikahan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diusulkan untuk segera direvisi. Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Namun dengan banyaknya desakan masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan untuk menaikkan batas usia pernikahan yang awalnya 16 tahun menjadi 20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki lewat revisi UU Nomor 1 Tahun 1974. Usulan menaikkan batas usia perkawinan ini dilakukan untuk mencegah pernikahan dini.
“Batasnya itu yang ideal (20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki). Dalam RUU bisa dimasukkan seperti itu,” ujar Menteri PPPA Yohana Susana Yembise saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dalam revisi UU Perkawinan ini, kata Yohana, pihaknya melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag), juga kalangan LSM, serta kelompok masyarakat. “Dengan adanya kerja sama dan koordinasi dari semua kalangan maka kita berharap revisi UU Perkawinan ini bisa segera dilakukan dengan salah satu poinnya adalah soal batas usia perkawinan itu,” katanya.
Menurut Yohana, kasus pernikahan dini yang banyak terjadi akan ditindaklanjuti secepat mungkin. Apalagi, Kementerian PPPA sudah meluncurkan secara nasional stop pernikahan anak. Kementerian PPPA melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag), juga kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta kelompok masyarakat.
Pihaknya juga sudah merilis data pernikahan dini di seluruh daerah. “Saya juga baru kembali dari Sulawesi Barat, data yang masuk ke kita tertinggi nomor satu perkawinan anak di bawah umur di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Yohana, data itu sudah dirilis ke berbagai daerah guna mendapatkan respons dan opini masyarakat, dan apabila masyarakat menyetujui agar pemerintah menaikkan batas usia pernikahan maka pemerintah akan segera menindaklanjuti dengan merevisi UU Perkawinan. “Menteri Agama sudah setuju, dan menjadi prioritas kami di tahun ini,” tegasnya.
Yohana menambahkan, pihaknya juga terus fokus pada pencegahan pernikahan dini dengan melakukan pendekatan, sosialisasi, edukasi, dan pencerahan kepada semua keluarga di seluruh Indonesia.
Dengan harapan, mereka bisa menyadari bahwa negara melindungi anak-anak, hak anak untuk bersekolah, bermain dan berkreatif sejak usia 0 sampai 18 tahun. “Memang kasus-kasusnya (pernikahan dini) sudah banyak terjadi di mana-mana. Tim kami sudah banyak yang masuk. Kami tetap akan tegas melindungi hak anak dan tidak membiarkan menikah di usia anak. Kita tegaskan untuk itu,” tandasnya. Sebelumnya, pernikahan pa sangan remaja belia yang masih duduk di kelas VIII SMP terjadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Usia calon pengantin pria 15 tahun 10 bulan, sedangkan pengantin wanita berusia 14 tahun 9 bulan itu mengajukan permohonan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantaeng, namun sempat ditolak karena alasan usia.
Selanjutnya, keluarga kedua calon mempelai itu mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Setelah dikabulkan, keduanya mendapat bimbingan perkawinan yang digelar oleh KUA Kecamatan Bantaeng pada 12 April lalu dan selanjutnya menikah.
“Iya memang benar adanya pernikahan tersebut. Akan tetapi diadakan bimbingan pernikahan oleh Kemenag Bantaeng,” kata Humas Kantor Kementerian Agama Bantaeng Mahdi Bakri.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa penghulu di KUA Bantaeng mengizinkan pernikahan pasangan di bawah umur karena sudah ada putusan pengadilan agama yang mengizinkan. “Kami tak mengetahui pertimbangan pengadilan sehingga memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pernikahan. Dan atas dasar inilah maka penghulu akhirnya memberikan izin,” katanya sebelum rapat dengan Komisi VIII DPR kemarin.
“Karena dispensasi itulah maka KUA tidak ada lagi alasan untuk menolak permohonan pernikahan keduanya. Menurut aturan perundang-undangan, usia keduanya tidak sesuai. Usia yang boleh melakukan pernikahan adalah 19 tahun untuk yang laki-laki dan 16 tahun untuk yang perempuan,” kata Menag.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, Kementerian PPPA perlu melakukan kajian mendalam dari aspek sosiologis, filosofis, politis, juga aspek legalitas terkait revisi UU Perkawinan. “Walaupun sudah banyak dukungan, tentu kita tetap perlu berhati-hati dalam membahas regulasi itu karena banyak juga masyarakat yang mengaku resisten terhadap perubahan UU,” katanya.
Menurut Ali, sebenarnya masih banyak juga masyarakat yang menganggap UU Perkawinan yang berlaku sekarang masih relevan dalam mengatur nikah, talak, rujuk. Karena itu, harus ada kajian lebih mendalam dari pemerintah bersama pemangku kepentingan lain terkait usulan revisi UU Perkawinan.
“Ada beberapa ketentuan tentang batas usia anak. Dalam UU Perkawinan, batas usia perempuan 16 tahun, laki-laki 18 tahun atau yang sudah menikah. Namun faktanya, ada yang setelah menstruasi sudah bisa nikah,” ujarnya.
Dengan dasar itu, Ali berharap kajian mendalam itu dilakukan dari aspek sosiologis, psikologi, dan sebagainya, sebab masih menjadi pertanyaan juga, apa itu pernikahan dini, dan berapa batas usia anak dewasa. “Kalau pengertian wanita dewasa itu ada yang 18 tahun ada yang 19 tahun dan perdata 21 tahun. Karena itu, yang mau disoroti dari sisi apa, karena anak bagi konsep sosiologi Indonesia itu anak bisa menjadi potensi ekonomi. Jadi yang mana,” ujarnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo setuju adanya revisi UU Perkawinan dengan syarat tidak menyalahi aturan bakunya.
Untuk saat ini, masyarakat hanya perlu mengikuti UU yang berlaku sebelum revisi UU yang baru. Menurut dia, hal terpenting dari pernikahan agar tidak terjadi disorientasi pada pernikahan dini, lanjut dia, harus dikembalikan kepada pendidikan yang diberikan orang tua.
“Kembali pada pendidikan orang tua terhadap anak-anak. Kematangan seseorang memang tidak dikurangin umur tapi untuk itu ada parameternya, kita sudah punya kesepakatan secara UU,” katanya.
Sementara itu, pemerhati perempuan Ninis Arevni menyatakan pasangan yang menikah di bawah umur dikhawatirkan membuat tingkat kekerasan seksual kepada wanita naik. “Kita patut memperhatikan faktor lainnya, misalnya faktor biologis. Itu merupakan kekerasan seksual yang kemudian tidak dipikirkan dampak dari kebutuhan tersebut,” kata Ninis.
Menurut dia, institusi pendidikan wajib mengampanyekan dampak dari adanya pernikahan dini tersebut, sehingga masyarakat teredukasi dan dapat menekan adanya pernikahan dini. “Maka itu, kita patut meng-counter akan adanya wacana nikah muda tersebut,” jelasnya. (Rahmat Sahid/ Kiswondari/ Mula Akmal/Okezone)
Namun dengan banyaknya desakan masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan untuk menaikkan batas usia pernikahan yang awalnya 16 tahun menjadi 20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki lewat revisi UU Nomor 1 Tahun 1974. Usulan menaikkan batas usia perkawinan ini dilakukan untuk mencegah pernikahan dini.
“Batasnya itu yang ideal (20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki). Dalam RUU bisa dimasukkan seperti itu,” ujar Menteri PPPA Yohana Susana Yembise saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dalam revisi UU Perkawinan ini, kata Yohana, pihaknya melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag), juga kalangan LSM, serta kelompok masyarakat. “Dengan adanya kerja sama dan koordinasi dari semua kalangan maka kita berharap revisi UU Perkawinan ini bisa segera dilakukan dengan salah satu poinnya adalah soal batas usia perkawinan itu,” katanya.
Menurut Yohana, kasus pernikahan dini yang banyak terjadi akan ditindaklanjuti secepat mungkin. Apalagi, Kementerian PPPA sudah meluncurkan secara nasional stop pernikahan anak. Kementerian PPPA melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag), juga kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta kelompok masyarakat.
Pihaknya juga sudah merilis data pernikahan dini di seluruh daerah. “Saya juga baru kembali dari Sulawesi Barat, data yang masuk ke kita tertinggi nomor satu perkawinan anak di bawah umur di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Yohana, data itu sudah dirilis ke berbagai daerah guna mendapatkan respons dan opini masyarakat, dan apabila masyarakat menyetujui agar pemerintah menaikkan batas usia pernikahan maka pemerintah akan segera menindaklanjuti dengan merevisi UU Perkawinan. “Menteri Agama sudah setuju, dan menjadi prioritas kami di tahun ini,” tegasnya.
Yohana menambahkan, pihaknya juga terus fokus pada pencegahan pernikahan dini dengan melakukan pendekatan, sosialisasi, edukasi, dan pencerahan kepada semua keluarga di seluruh Indonesia.
Dengan harapan, mereka bisa menyadari bahwa negara melindungi anak-anak, hak anak untuk bersekolah, bermain dan berkreatif sejak usia 0 sampai 18 tahun. “Memang kasus-kasusnya (pernikahan dini) sudah banyak terjadi di mana-mana. Tim kami sudah banyak yang masuk. Kami tetap akan tegas melindungi hak anak dan tidak membiarkan menikah di usia anak. Kita tegaskan untuk itu,” tandasnya. Sebelumnya, pernikahan pa sangan remaja belia yang masih duduk di kelas VIII SMP terjadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Usia calon pengantin pria 15 tahun 10 bulan, sedangkan pengantin wanita berusia 14 tahun 9 bulan itu mengajukan permohonan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantaeng, namun sempat ditolak karena alasan usia.
Selanjutnya, keluarga kedua calon mempelai itu mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Setelah dikabulkan, keduanya mendapat bimbingan perkawinan yang digelar oleh KUA Kecamatan Bantaeng pada 12 April lalu dan selanjutnya menikah.
“Iya memang benar adanya pernikahan tersebut. Akan tetapi diadakan bimbingan pernikahan oleh Kemenag Bantaeng,” kata Humas Kantor Kementerian Agama Bantaeng Mahdi Bakri.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa penghulu di KUA Bantaeng mengizinkan pernikahan pasangan di bawah umur karena sudah ada putusan pengadilan agama yang mengizinkan. “Kami tak mengetahui pertimbangan pengadilan sehingga memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pernikahan. Dan atas dasar inilah maka penghulu akhirnya memberikan izin,” katanya sebelum rapat dengan Komisi VIII DPR kemarin.
“Karena dispensasi itulah maka KUA tidak ada lagi alasan untuk menolak permohonan pernikahan keduanya. Menurut aturan perundang-undangan, usia keduanya tidak sesuai. Usia yang boleh melakukan pernikahan adalah 19 tahun untuk yang laki-laki dan 16 tahun untuk yang perempuan,” kata Menag.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, Kementerian PPPA perlu melakukan kajian mendalam dari aspek sosiologis, filosofis, politis, juga aspek legalitas terkait revisi UU Perkawinan. “Walaupun sudah banyak dukungan, tentu kita tetap perlu berhati-hati dalam membahas regulasi itu karena banyak juga masyarakat yang mengaku resisten terhadap perubahan UU,” katanya.
Menurut Ali, sebenarnya masih banyak juga masyarakat yang menganggap UU Perkawinan yang berlaku sekarang masih relevan dalam mengatur nikah, talak, rujuk. Karena itu, harus ada kajian lebih mendalam dari pemerintah bersama pemangku kepentingan lain terkait usulan revisi UU Perkawinan.
“Ada beberapa ketentuan tentang batas usia anak. Dalam UU Perkawinan, batas usia perempuan 16 tahun, laki-laki 18 tahun atau yang sudah menikah. Namun faktanya, ada yang setelah menstruasi sudah bisa nikah,” ujarnya.
Dengan dasar itu, Ali berharap kajian mendalam itu dilakukan dari aspek sosiologis, psikologi, dan sebagainya, sebab masih menjadi pertanyaan juga, apa itu pernikahan dini, dan berapa batas usia anak dewasa. “Kalau pengertian wanita dewasa itu ada yang 18 tahun ada yang 19 tahun dan perdata 21 tahun. Karena itu, yang mau disoroti dari sisi apa, karena anak bagi konsep sosiologi Indonesia itu anak bisa menjadi potensi ekonomi. Jadi yang mana,” ujarnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo setuju adanya revisi UU Perkawinan dengan syarat tidak menyalahi aturan bakunya.
Untuk saat ini, masyarakat hanya perlu mengikuti UU yang berlaku sebelum revisi UU yang baru. Menurut dia, hal terpenting dari pernikahan agar tidak terjadi disorientasi pada pernikahan dini, lanjut dia, harus dikembalikan kepada pendidikan yang diberikan orang tua.
“Kembali pada pendidikan orang tua terhadap anak-anak. Kematangan seseorang memang tidak dikurangin umur tapi untuk itu ada parameternya, kita sudah punya kesepakatan secara UU,” katanya.
Sementara itu, pemerhati perempuan Ninis Arevni menyatakan pasangan yang menikah di bawah umur dikhawatirkan membuat tingkat kekerasan seksual kepada wanita naik. “Kita patut memperhatikan faktor lainnya, misalnya faktor biologis. Itu merupakan kekerasan seksual yang kemudian tidak dipikirkan dampak dari kebutuhan tersebut,” kata Ninis.
Menurut dia, institusi pendidikan wajib mengampanyekan dampak dari adanya pernikahan dini tersebut, sehingga masyarakat teredukasi dan dapat menekan adanya pernikahan dini. “Maka itu, kita patut meng-counter akan adanya wacana nikah muda tersebut,” jelasnya. (Rahmat Sahid/ Kiswondari/ Mula Akmal/Okezone)
(nfl)