Begini Cara Redam Hoax Versi HPHSI
A
A
A
JAKARTA - Menangkap penyebar hoax dan penyebar ujaran kebencian (hate speech) dinilai, tidak cukup untuk menyelamatkan media sosial (Medsos) dari informasi hoax.
Sebab, kelompok penyebar ujaran kebencian masih mungkin berkembang menjelma menjadi kelompok-kelompok lain yang kerjaannya menyebarkan hoax.
Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia (HPHSI) Galang Prayogo menilai, kegiatan siber di Indonesia kini amat memprihatinkan. Namun menurut dia, kesuksesan Polri mengungkap kelompok penyebar hoax dan ujaran kebencian, harus diapresiasi.
"Namun, pemberantasan tersebut belum cukup untuk menyelamatkan jagat media sosial kita," kata Galang dihubungi wartawan, Selasa (6/3/2018).
Dia berpendapat, kelompok penyebar hoax di medsos seperti MCA masih mungkin berkembang menjelma menjadi kelompok lain. "Anggotanya masih banyak, bahkan ada yang di luar negeri," bebernya.
Maka itu kata Galang, Indonesia masih belum aman dari ancaman hoax dan ujaran kebencian. "Mereka bisa saja membuat kelompok baru dengan nama baru, akun baru, tapi kerjaannya tetap sama," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sinergi antara aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat dibutuhkan untuk mengantisipasi serangan hoax dan ujaran kebencian.
"Selain pengungkapan kemarin, Polri juga perlu melakukan sosialisasi, baik itu melalui media sosial maupun penyuluhan sampai tingkat RW. Babinkamtibmas bisa difungsikan untuk hal itu," ungkapnya.
Karena, menurut dia, yang kerap termakan isu hoax dan ujaran kebencian justru masyarakat yang baru melek teknologi dan baru belajar hidup di media sosial.
Selain itu dia berpendapat, polisi dan pemerintah juga bisa meng-counter isu hoax dan ujaran kebencian dengan memperkuat media sosial masing-masing.
Dikatakannya, akun medsos yang dikelola pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menjadi tempat untuk mengklarifikasi segala isu yang dinilai sensitif dan memiliki potensi memecah belah bangsa.
Karena, lanjut dia, saat ini masyarakat masih belum bisa mengakses luas sumber langsung di media sosial.
"Dengan kekompakan dan keaktifan media sosial milik aparat penegak hukum dan pemerintah, hal itu bisa menjadi tempat netizen mencari klarifikasi dan penjelasan mengenai sebuah peristiwa atau kabar bohong," pungkasnya.
Sebab, kelompok penyebar ujaran kebencian masih mungkin berkembang menjelma menjadi kelompok-kelompok lain yang kerjaannya menyebarkan hoax.
Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia (HPHSI) Galang Prayogo menilai, kegiatan siber di Indonesia kini amat memprihatinkan. Namun menurut dia, kesuksesan Polri mengungkap kelompok penyebar hoax dan ujaran kebencian, harus diapresiasi.
"Namun, pemberantasan tersebut belum cukup untuk menyelamatkan jagat media sosial kita," kata Galang dihubungi wartawan, Selasa (6/3/2018).
Dia berpendapat, kelompok penyebar hoax di medsos seperti MCA masih mungkin berkembang menjelma menjadi kelompok lain. "Anggotanya masih banyak, bahkan ada yang di luar negeri," bebernya.
Maka itu kata Galang, Indonesia masih belum aman dari ancaman hoax dan ujaran kebencian. "Mereka bisa saja membuat kelompok baru dengan nama baru, akun baru, tapi kerjaannya tetap sama," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sinergi antara aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat dibutuhkan untuk mengantisipasi serangan hoax dan ujaran kebencian.
"Selain pengungkapan kemarin, Polri juga perlu melakukan sosialisasi, baik itu melalui media sosial maupun penyuluhan sampai tingkat RW. Babinkamtibmas bisa difungsikan untuk hal itu," ungkapnya.
Karena, menurut dia, yang kerap termakan isu hoax dan ujaran kebencian justru masyarakat yang baru melek teknologi dan baru belajar hidup di media sosial.
Selain itu dia berpendapat, polisi dan pemerintah juga bisa meng-counter isu hoax dan ujaran kebencian dengan memperkuat media sosial masing-masing.
Dikatakannya, akun medsos yang dikelola pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menjadi tempat untuk mengklarifikasi segala isu yang dinilai sensitif dan memiliki potensi memecah belah bangsa.
Karena, lanjut dia, saat ini masyarakat masih belum bisa mengakses luas sumber langsung di media sosial.
"Dengan kekompakan dan keaktifan media sosial milik aparat penegak hukum dan pemerintah, hal itu bisa menjadi tempat netizen mencari klarifikasi dan penjelasan mengenai sebuah peristiwa atau kabar bohong," pungkasnya.
(maf)