Pernikahan Dini Picu Persoalan Keluarga

Minggu, 25 Februari 2018 - 10:41 WIB
Pernikahan Dini Picu...
Pernikahan Dini Picu Persoalan Keluarga
A A A
JAKARTA - Pernikahan usia dini hingga kini masih menjadi masalah bagi pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Susenas 2016, satu dari sembilan perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.

Selain itu Susenas 2016 menyebutkan anak perempuan di wilayah perdesaan (17%) tiga kali lebih berisiko mengalami perkawinan-anak (pernikahan dini) daripada mereka yang tinggal di wilayah perkotaan (6,5%). Pernikahan usia dini atau perkawinan anak menyebabkan lahirnya keluarga yang tidak kuat karena secara emosi belum siap dan belum mengetahui tujuan dari pernikahan.

Kondisi ini bisa memicu kekerasan pada anak ataupun kenakalan anak-anak atau bahkan remaja. Psikolog Ayoe Soetomo mengungkapkan, masyarakat se lama ini masih meremehkan tujuan dari pernikahan. Bila komitmen untuk menyamakan tujuan dari pernikahan tidak pernah ada, secara otomatis keluarga yang dibina pun tidak akan kuat.

“Nikah di usia yang masih sangat muda atau masih tergolong anak-anak muncul karena beragam faktor,” ujar Ayoe kepada KORAN SINDO. Beberapa faktor itu menurut Ayoe di antaranya karena ingin membantu orang tua, karena teman-teman sudah menikah atau karena tidak ingin bekerja.

Hal ini menjadikan fondasi pernikahan sangat rapuh. Menurut dia, pernikahan dini akan memengaruhi pola asuh anak ke depan. Anak sulit mendapatkan kesejahteraan dan perhatian maksimal dari orang tua. Pola asuh anak da lam pernikahan menjadi sebuah konsepter sendiri, bahkan sebelum anak tersebut lahir.

Itulah menurut Ayoe yang disebut pernikahan sesungguhnya, yang dilakukan dengan pertimbangan matang dan tujuan yang kuat sehingga pasangan bisa menghadapi berbagai masalah ke depan.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, pernikahan dini menjadi faktor utama kegagalan dalam pola asuh anak.

Pasangan muda bisa saja tidak paham untuk mengurus anak, bahkan hak mereka sendiri pun ikut terabaikan. KPAI mencontohkan, pihaknya beberapa waktu lalu mendapatkan laporan dari salah satu kepala sekolah taman kanak-kanak yang kesulitan karena orang tua anak didiknya masih berusia 20 tahun. “Kasih tahu orang tuanya saja susah, apalagi anaknya. Mereka belum siap untuk mengasuh anak lahir batin,” tuturnya.

Dari data KPAI, pernikahan usia anak memang sangat rentan dan berujung pada per ceraian. Sejak 2009 hingga 2016, kenaikan angka perceraian meningkat 16-20%, sedang kan 2015 lalu setiap satu jam terjadi 40 sidang perceraian atau ada sekitar 340.000 lebih gugatan cerai.

Perceraian bukan juga menyelesaikan masalah karena akan ada anak yang menjadi korban, akan ada perempuan yang harus berjuang sendiri guna memenuhi kebutuhan anak. Berdasarkan kasus demikian, Rita berharap pemerintah bisa sigap memberikan pendampingan kepada keluarga rentan seperti ini.

Orang tua menurutnya sudah seharusnya tidak melepas anaknya begitu saja untuk cepat-cepat menikah. “Menikahkan bukan akhir segalanya, terlebih bagi mereka yang masih usia anak. Karena itu pendampingan sangat diperlukan hingga kedesa karena justru di daerah masih banyak terjadi pernikahan anak atau usia dini,” tuturnya.

Komnas HAM pun menilai pernikahan usia anak melanggar hak anak sebagai manusia. Jika mengacu pada Konvensi Hak Anak Tahun 1989, ada 10 hak anak. Pernikahan dini dapat merampas semua hak anak. Koordinator Subdivisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara menjelaskan, dibutuhkan keseragaman batas usia anak sudah boleh menikah.

Kitab Undang Hukum Pidana Pasal 45 menyebutkan, bila usia anak belum 16 tahun tidak boleh menikah. Sementara itu undang-undang perkawinan nomor 174 mengatakan, batas menikah ialah 18 tahun. Hak sipil politik pun diatur pada usia 17 tahun atau sudah pernah menikah.

“Karena itu untuk me ngurangi pernikahan dini, perlu menghilangkan ego sektoral antarkementerian, menyamakan di lembaga pusat sehingga sosialisasi ke bawah. Berbagai aturan sudah sangat lengkap dibuat dan jelas, sehingga lebih mudah untuk diterapkan,” ujarnya.

Maraknya pernikahan dini, menjadikan Pemkab Gunungkidul selektif memberikan surat pengantar untuk mengurus pernikahan. Berdasarkan data di Pengadilan Agama Gunungkidul, DIY, diketahui jumlah pencari dispensasi nikah dini cukup tinggi. Pada 2012 lalu, tercatat sebanyak 164 pasangan, kemudian 2013 sebanyak 163 pasangan dan 2014 sebanyak 150 pasangan.

Upaya intervensi pun dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3 KB PMD) Gunungkidul, Sudjoko, mengatakan pihaknya bersama beberapa lintas sektoral termasuk LSM berusaha merumuskan kembali pentingnya penyadaran pernikahan sesuai dengan ketentuan umur.

Faktor kesehatan dan keberlangsungan rumah tangga menjadi kata kunci sehingga memunculkan konsep gerakan sosial di masyarakat untuk memerangi kasus tersebut. “Desa juga didorong memberikan sosialisasi dan membuat gerakan antipernikahan dini,”ujarnya kepada KORAN SINDO.

Dia menjelaskan, upaya perang terhadap pernikahan dini dilakukan sejak 2014 lalu. Program dimulai dengan deklarasi antipernikahan dini di Kecamatan Gedangsari, menjadi pemicu kecamatan-kecamatan lain ikut bergerak dengan melakukan hal yang sama.

Bupati Gunungkidul Badingah mengatakan, untuk mem berikan dorongan dan pe nguatan gerakan anti-pernikahan dini, pemkab sudah memiliki payung hukum. Hal ini dengan adanya Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 36/2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak.

“Aturan itu kita keluarkan untuk melindungi anak-anak sehingga tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya,” ujar Badingah. Dia berharap aturan bisa di tegakkan sehingga bisa mewujudkan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak. (Suharjono/ Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6764 seconds (0.1#10.140)