Zakat Memang Harus Diatur
A
A
A
SEMARANG - Direktur Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang Prof Ahmad Rofiq menyatakan, setuju jika zakat diatur melalui perpres. Terlebih, zakat yang diatur hanya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang beragama Islam.
"Saya rasa tidak akan masalah karena yang diatur hanya untuk ASN yang muslim saja," kata Ahmad Rofiq saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (8/2/2018).
Ahmad Rofiq mengaku, potensi zakat di Indonesia sangatlah besar yakni mencapai Rp270 triliun. Dengan potensi tersebut, jika bisa dikelola dengan baik maka akan bisa memberikan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
"Potensi besar, tapi Baznas baru dapat menghimpun Rp6 miliar per tahun, itu kan sangat kecil," imbuhnya.
Dijelaskannya, saat ini sudah ada UU tentang zakat, dan juga PP hanya saja masalahnya adalah tidak ada klausul yang mengatur tentang kewajiban zakat, yang diatur hanya pengelolaannya.
"Dalam UU Zakat yang diancam itu kan pengelolanya jika tidak amanah, tapi kalau orang kaya tidak bayar zakat tidak bisa diapa-apakan," tambahnya.
Menurut dia, jika ada perpres, maka secara hukum akan mengingat untuk mengatur dan ini menjadi peran pemerintah. Kalau merujuk pengalaman zaman Rasul dimana pada untuk mengatasi mustakhik (penerima zakat) yang belum tercover dengan pajak maka diatasi dengan zakat.
"Kalau merujuk pada Surat At-Taubah ayat 60 Amil itu diuruta ketiga setelah fakir miskin, artinya apa, ini legitimasi dari Alquran, memang diberi kewenangan untuk itu, dan menjadi dasar hukum untuk memungut pajak secara agak paksa. Kalau tidak dipaksa tidak bisa jalan," jelasnya.
Hanya saja lanjut dia, saat ini yang menjadi pekerjaan rumah adalah, pengelolaan zakatnya. Karena selama ini penyaluran zakat sering ditemui problem bahwa penyaluran zakat sering diberikan ke tempat lain bukan ke daerah pemungutan pajak.
Padahal kata Ahmad Rofiq, hasil pemungutan pajak seharusnya diutamakan untuk wilayah pemungutan, dan jika sudah terpenuhi baru ke wilayah sekitar.
"Ini menjadi salah satu problem, sering orang bilang lebih baik zakat sendiri dari pada melalui Baznas, karena merasa lebih tepat sasaran," tandasnya.
"Saya rasa tidak akan masalah karena yang diatur hanya untuk ASN yang muslim saja," kata Ahmad Rofiq saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (8/2/2018).
Ahmad Rofiq mengaku, potensi zakat di Indonesia sangatlah besar yakni mencapai Rp270 triliun. Dengan potensi tersebut, jika bisa dikelola dengan baik maka akan bisa memberikan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
"Potensi besar, tapi Baznas baru dapat menghimpun Rp6 miliar per tahun, itu kan sangat kecil," imbuhnya.
Dijelaskannya, saat ini sudah ada UU tentang zakat, dan juga PP hanya saja masalahnya adalah tidak ada klausul yang mengatur tentang kewajiban zakat, yang diatur hanya pengelolaannya.
"Dalam UU Zakat yang diancam itu kan pengelolanya jika tidak amanah, tapi kalau orang kaya tidak bayar zakat tidak bisa diapa-apakan," tambahnya.
Menurut dia, jika ada perpres, maka secara hukum akan mengingat untuk mengatur dan ini menjadi peran pemerintah. Kalau merujuk pengalaman zaman Rasul dimana pada untuk mengatasi mustakhik (penerima zakat) yang belum tercover dengan pajak maka diatasi dengan zakat.
"Kalau merujuk pada Surat At-Taubah ayat 60 Amil itu diuruta ketiga setelah fakir miskin, artinya apa, ini legitimasi dari Alquran, memang diberi kewenangan untuk itu, dan menjadi dasar hukum untuk memungut pajak secara agak paksa. Kalau tidak dipaksa tidak bisa jalan," jelasnya.
Hanya saja lanjut dia, saat ini yang menjadi pekerjaan rumah adalah, pengelolaan zakatnya. Karena selama ini penyaluran zakat sering ditemui problem bahwa penyaluran zakat sering diberikan ke tempat lain bukan ke daerah pemungutan pajak.
Padahal kata Ahmad Rofiq, hasil pemungutan pajak seharusnya diutamakan untuk wilayah pemungutan, dan jika sudah terpenuhi baru ke wilayah sekitar.
"Ini menjadi salah satu problem, sering orang bilang lebih baik zakat sendiri dari pada melalui Baznas, karena merasa lebih tepat sasaran," tandasnya.
(maf)