Menpar Arief: Gerhana Bulan Total Bisa Jadi Destinasi Waktu
A
A
A
JAKARTA - Euforia menyaksikan gerhana bulan total Rabu 31 Januari 2018 malam juga terjadi di gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bersama jajarannya dan sejumlah tokoh seni budaya seperti Ayu Laksmi serta media, melakukan nobar (nonton bareng) fenomena super blue blood moon eclipse di atap gedung Sapta Pesona. Menpar juga sempat melakukan salat gerhana berjamaah.
Pada kesempatan tersebut, kepada media Arief mengungkapkan istilah baru yaitu destinasi waktu. Menurut dia, gerhana bulan total yang dilengkapi tiga fenomena sekaligus seperti ini bisa disebut sebagai destinasi waktu karena terjadi 152 tahun lalu dan baru akan terjadi 192 tahun lagi.
"Enggak akan bisa manusia umumnya ketemu lagi fenomena ini. Fenomena alam ini bisa terjadi kapan saja dan bisa kita jadikan sebagai destinasi waktu," tuturnya. (Baca Juga: Meski Samar, Pengunjung Planetarium Bersorak Lihat Blood Moon
Ditanya soal potensi gerhana bulan terhadap pergerakan wisatawan, menurut Arief, potensinya memang tidak sebesar seperti saat gerhana bulan total pada Maret 2016 silam. Pasalnya, saat itu gerhana matahari total hanya bisa dilihat di 10 titik wilayah Indonesia, dan negara lainnya juga tidak banyak yang mengalami. Menyadari potensi ini, Kemenpar bersama industri pariwisata pun gencar mempromosikan setahun sebelumnya.
"Artinya, gerhana matahari total waktu itu lebih ekslusif sehingga gaungnya lebih besar, sedangkan gerhana bulan total ini bisa dilihat hampir di semua wilayah Indonesia dan di negara lain juga. Sensasi menyaksikannya juga jauh lebih lebih tinggi saat gerhana matahari total karena fenomenanya dari terang terbitlah gelap. Kalau yang ini malam tidak terlalu terasa," tuturnya.
Menyoal destinasi waktu, dia mengharapkan dukungan lembaga terkait seperti Lapan untuk memberikan masukan dan informasi terkait kapan saja waktu akan terjadi fenomena langka seperti halnya supermoon. Sehingga, fenomena alam ini juga bisa di-create menjadi produk wisata dan menggerakkan wisatawan.
Pada kesempatan tersebut, kepada media Arief mengungkapkan istilah baru yaitu destinasi waktu. Menurut dia, gerhana bulan total yang dilengkapi tiga fenomena sekaligus seperti ini bisa disebut sebagai destinasi waktu karena terjadi 152 tahun lalu dan baru akan terjadi 192 tahun lagi.
"Enggak akan bisa manusia umumnya ketemu lagi fenomena ini. Fenomena alam ini bisa terjadi kapan saja dan bisa kita jadikan sebagai destinasi waktu," tuturnya. (Baca Juga: Meski Samar, Pengunjung Planetarium Bersorak Lihat Blood Moon
Ditanya soal potensi gerhana bulan terhadap pergerakan wisatawan, menurut Arief, potensinya memang tidak sebesar seperti saat gerhana bulan total pada Maret 2016 silam. Pasalnya, saat itu gerhana matahari total hanya bisa dilihat di 10 titik wilayah Indonesia, dan negara lainnya juga tidak banyak yang mengalami. Menyadari potensi ini, Kemenpar bersama industri pariwisata pun gencar mempromosikan setahun sebelumnya.
"Artinya, gerhana matahari total waktu itu lebih ekslusif sehingga gaungnya lebih besar, sedangkan gerhana bulan total ini bisa dilihat hampir di semua wilayah Indonesia dan di negara lain juga. Sensasi menyaksikannya juga jauh lebih lebih tinggi saat gerhana matahari total karena fenomenanya dari terang terbitlah gelap. Kalau yang ini malam tidak terlalu terasa," tuturnya.
Menyoal destinasi waktu, dia mengharapkan dukungan lembaga terkait seperti Lapan untuk memberikan masukan dan informasi terkait kapan saja waktu akan terjadi fenomena langka seperti halnya supermoon. Sehingga, fenomena alam ini juga bisa di-create menjadi produk wisata dan menggerakkan wisatawan.
(mhd)