Soal Plt Gubernur, Kontras: Pemerintah 'Goda' Polri untuk Berpolitik

Selasa, 30 Januari 2018 - 17:05 WIB
Soal Plt Gubernur, Kontras:...
Soal Plt Gubernur, Kontras: Pemerintah 'Goda' Polri untuk Berpolitik
A A A
JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai usulan pengangkatan dua orang perwira tinggi Polri menduduki jabatan sipil sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak tepat.

Kedua perwira tinggi (pati) Polri itu, yakni Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Polisi Mochamad Iriawan diusulkan untuk menggantikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan yang akan masa jabatannya berakhir 13 Juni mendatang.

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Martuani Sormin diusulkan menggantikan Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry, yang habis massa kepemimpinannya pada 17 Juni 2018.

"Kami menilai pengajuan usulan tersebut berpotensi bertentangan atau menyalahi sejumlah peraturan, berpotensi menggerus netralitas dan independensi Polri juga memperlemah pemerintah sipil dalam mengelola pemerintahan," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras, Yati Andriyani dalam pernyataan tertulis di situs kontras.org, Senin 29 Januari 2018.

Kontras mempertanyakan motif pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengusulkan kebijakan tersebut. Kontras menilai rencana penempatan perwira tinggi aktif Polri sebagai masalah.

Pertama, usulan itu dinilai Kontras bertabrakan dengan peraturan dan perundang-undangan. Merujuk Pasal 201 ayat 10 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) Madya, tanpa frasa “dan/atau yang setara”, yang berarti jabatan tersebut diperuntukan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bisa ditafsirkan sederajat dengan perwira tinggi dari institusi Kepolisian.

Menurut Kontras, pengaturan lebih lanjut, melalui Pasal 157 ayat 1 PP Nomor 11/2017 tentang Manajemen PNS yang merupakan turunan dari Pasal 20 UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Aturan itu juga mewajibkan setiap anggota Polri aktif untuk mengundurkan diri dari kedinasannya sebelum menduduki JPT setingkat madya pada instansi pemerintahan.

"Pengajuan usul yang memberikan kesempatan anggota Polri aktif untuk menjadi plt gubernur jelas berpotensi menyalahi aturan perundang-undangan," tutur Yati.

Yati juga menilai kebijakan tersebut menggerus netralitas Polri. Perlu diingat, kata dia, salah satu tantangan terbesar Polri saat ini adalah upaya menjaga keamanan dalam gelaran Pilkada serentak 2018 serta persiapan menuju Pilpres 2019 mendatang.

Dia khawatir usulan tersebut berpotensi menimbulkan kerentanan penggunaan kekuatan Polri untuk tujuan politik. Terlebih, ada kontestan pilkada yang berasal dari institusi Polri dalam kontestasi Pilkada 2018.

"Apalagi keduanya diusulkan ditempatkan sebagai plt di wilayah yang terdapat pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang Polri dan TNI," tandasnya.

Menurut dia, pemerintah harus mengingat bahwa netralitas Polri merupakan amanat Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menyebutkan Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis, serta baru dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri.

Usulan penempatan dua perwira tingi Polri juga dinilai Yati memperlemah pemerintahan sipil. Pengajuan usul tersebut juga dinilai merupakan bentuk lemahnya pemerintahan sipil dalam mengelola kehidupan berpolitik dan tata kelola pemerintahan.

"Dalam hal ini pemerintah menjadi 'penggoda' bagi Polri untuk kembali aktif berpolitik. Tindakan atau kebijakan seperti ini akan mengganggu semangat untuk mendorong lahirnya institusi dan anggota Polri profesional, modern dan tunduk pada prinsip demokrasi," kata Yati. (Baca juga: Mendagri: Plt Gubernur Masih Tahap Penggodokan )

Kebijakan tersebut dinilainya berpotensi mencampur aduk tugas-tugas pemolisian dan pemerintahan yang berdampak buruk terhadap kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.

Atas hal itu, Kontras mempertanyakan motivasi di balik usulan pengangkatan ini oleh Menteri Dalam Negeri yang merupakan bagian penyokong pemerintahan.

Kontras pun mendesak Presiden Joko WIdodo untuk memastikan berjalannya agenda reformasi sektor keamanan dengan menolak persetujuan pengangkatan, baik anggota Polri maupun TNI aktif guna mengisi jabatan plt gubernur.

"Menolak usulan Kementerian Dalam Negeri tersebut dan memastikan tidak ada upaya-upaya dari pemerintahanya untuk tidak menggoda Polri dan TNI berpolitik," kata Yati.

Kedua, sambung dia, Mendagri harus segera menganulir usulan untuk mengangkat, baik anggota Polri maupun TNI aktif sebagai plt gubernur karena tidak sesuai dengan peraturan maupun perundang-undangan yang ada, serta akan berdampak buruk terhadap kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.

Ketiga, sambung dia, Kontras meminta Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, bersikap tegas menolak persetujuan atas penunjukan perwira tinggi Polri untuk menjabat sebagai plt gubernur.

"Serta memastikan setiap anggota Polri untuk tidak terlibat dalam politik praktis sebagai upaya mendorong Polri menjadi institusi yang profesional dan modern," ujarnya.

Keempat, Yati meminta Ombudsman Republik Indonesia mengawasi potensi terjadinya maladministrsasi dalam penunjukan perwira aktif Polri untuk menduduki jabatan sipil sebagai plt gubernur.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8881 seconds (0.1#10.140)