Kaderisasi Gagal, Parpol Dinilai Lakukan Outsourcing Politik di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah jenderal dari TNI dan Polri akan ikut turun di Pilkada Serentak 2018 di beberapa daerah. Mereka akan diusung menjadi bakal calon gubernur atau wakil gubernur.
Pengusungan para jenderal TNI dan Polri dinilai sebagai bentuk kegagalan sistem kaderisasi partai politik (parpol). Majunya para jenderal juga dianggap menunjukkan ketidakmampuan otoritas sipil untuk memerintah secara efektif.
“Ada tren partai mengambil jalan pintas, yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik, terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri. Ambisi bintang TNI Polri di pilkada semakin menguat akhir-akhir ini di saat partai gagal melakukan kaderisasi,” kata Pangi dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Sabtu (6/1/2018).
Pangi memaparkan Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan militer memiliki dua tugas. Pertama, menjaga keamanan dan ketertiban negara. Kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Pangi menjelaskan, dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Sejak Reformasi, kata dia, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer ditarik kembali ke barak.
Di dalam Undang-Undang 34 Tahun 2014, kata dia, sangat jelas menyebutkan TNI tidak boleh terjun ke ranah politik praktis sebagai konsekuensi tentara profesional.
Menurut dia, politiknya tentara itu, yaitu Dwifungsi ABRI itu sendiri, mereka bisa berpolitik praktis itu sebuah fakta dan sejarah.
Kini para jenderal turun kembali ke politik praktis, lanjutnya, ada fenomena split ticket voting, yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) dibandingkan dengan kader partai sendiri. Lalu, sambung dia, memprioritaskan figur eksternal atau melakukan "outsourcing" politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kadernya sendiri.
Menurut dia, akan jauh lebih baik jika partai politik memberikan rekomendasi menjadi calon gubernur kepada kadernya dibandingkan kader eksternal. “Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” tutur Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini.
Menurut dia, ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai. Pertama, kata dia, lebih sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai. Kedua, lanjut Pangi, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.
Dia menegaskan ketika citra institusi TNI sentimennya positif karena dianggap lembaga yang paling dipercaya publik, parpol mengambil momentum tersebut mengusung jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Pangi meyakni parpol melalukan itu karena mempertimbangkan pemimpin TNI dan Polri punya kelebihan dalam hal ketegasan dan kedisiplinan. Kendati demikian, kata Pangi, pemimpin dari TNI dan Polri memiliki kelemahan, yakni karakter pemimpin garis komando.
"Muncul persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengan ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus," tuturnya.
Pangi menyadari demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Dia pun tidak mempersoalkan purnawirawan atau TNI dan Polri yang sudah pensiun karena mereka adalah warga negara biasa, dan punya hak memilih dan dipilih.
"Yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit. Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tutur lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut dia, terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segi tiga emas kekuatan politik, yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, tambah dia, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang, yaitu Angkatan Darat.
Dia memaparkan, sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar. "Tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri," tuturnya.
Dia pun mengingatkan parpol tidak bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk, kata dia, tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis.
"Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik patut kita curigai," tutur Pangi.
Pengusungan para jenderal TNI dan Polri dinilai sebagai bentuk kegagalan sistem kaderisasi partai politik (parpol). Majunya para jenderal juga dianggap menunjukkan ketidakmampuan otoritas sipil untuk memerintah secara efektif.
“Ada tren partai mengambil jalan pintas, yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik, terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri. Ambisi bintang TNI Polri di pilkada semakin menguat akhir-akhir ini di saat partai gagal melakukan kaderisasi,” kata Pangi dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Sabtu (6/1/2018).
Pangi memaparkan Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan militer memiliki dua tugas. Pertama, menjaga keamanan dan ketertiban negara. Kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Pangi menjelaskan, dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Sejak Reformasi, kata dia, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer ditarik kembali ke barak.
Di dalam Undang-Undang 34 Tahun 2014, kata dia, sangat jelas menyebutkan TNI tidak boleh terjun ke ranah politik praktis sebagai konsekuensi tentara profesional.
Menurut dia, politiknya tentara itu, yaitu Dwifungsi ABRI itu sendiri, mereka bisa berpolitik praktis itu sebuah fakta dan sejarah.
Kini para jenderal turun kembali ke politik praktis, lanjutnya, ada fenomena split ticket voting, yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) dibandingkan dengan kader partai sendiri. Lalu, sambung dia, memprioritaskan figur eksternal atau melakukan "outsourcing" politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kadernya sendiri.
Menurut dia, akan jauh lebih baik jika partai politik memberikan rekomendasi menjadi calon gubernur kepada kadernya dibandingkan kader eksternal. “Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” tutur Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini.
Menurut dia, ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai. Pertama, kata dia, lebih sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai. Kedua, lanjut Pangi, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.
Dia menegaskan ketika citra institusi TNI sentimennya positif karena dianggap lembaga yang paling dipercaya publik, parpol mengambil momentum tersebut mengusung jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Pangi meyakni parpol melalukan itu karena mempertimbangkan pemimpin TNI dan Polri punya kelebihan dalam hal ketegasan dan kedisiplinan. Kendati demikian, kata Pangi, pemimpin dari TNI dan Polri memiliki kelemahan, yakni karakter pemimpin garis komando.
"Muncul persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengan ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus," tuturnya.
Pangi menyadari demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Dia pun tidak mempersoalkan purnawirawan atau TNI dan Polri yang sudah pensiun karena mereka adalah warga negara biasa, dan punya hak memilih dan dipilih.
"Yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit. Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tutur lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut dia, terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segi tiga emas kekuatan politik, yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, tambah dia, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang, yaitu Angkatan Darat.
Dia memaparkan, sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar. "Tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri," tuturnya.
Dia pun mengingatkan parpol tidak bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk, kata dia, tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis.
"Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik patut kita curigai," tutur Pangi.
(dam)