Pilkada Serentak 2018, Publik Diimbau Pilih Pemimpin Bersih
A
A
A
JAKARTA - Kasus korupsi sepanjang 2017 masih marak terjadi, terutama di daerah. Terhitung delapan kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kekurangan dalam sistem pemilihan. Karena itu, publik diimbau lebih cerdas dalam menggunakan hak pilih pada Pilkada Serentak 2018.
"Praktik korupsi masih sangat marak, baik pada birokrasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tindak pidana korupsi yang melibatkan begitu banyak kepala daerah sejatinya memberi pesan politik kepada masyarakat bahwa masyarakat telah salah memilih," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo dalam rilis Evaluasi Penegakan Hukum 2017 di Jakarta, Selasa (26/12/2017).
Menurut Bambang, karena salah memilih, maka amanah kepemimpinan itu justru jatuh dalam genggaman sosok kepala daerah yang korup. Kesalahan kolektif itu sangat mencolok terlihat sepanjang 2017. Terhitung sejak Januari hingga September 2017 ada delapan kepala daerah yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi.
"Semua pihak patut prihatin. Bayangkan, dalam rentang waktu kurang dari 60 hari (2 Agustus-26 September) tercatat enam kepala daerah harus diinapkan di ruang tahanan KPK," ujarnya.
Bambang mengatakan, kepala daerah tersebut terlibat dalam kasus yang hampir serupa, di mana area rawan korupsi itu di antaranya meliputi dana hibah bantuan sosial, perencanaan anggaran, biaya untuk pihak ketiga, serta belanja barang dan jasa. "Dan apakah korupsi oleh kepala daerah akan berkurang? Itu bergantung pada kearifan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pertanyaan ini relevan untuk dikedepankan karena tahun 2018 akan dilaksanakan pilkada serentak pada 27 Juni 2018 di 171 daerah pemilihan," ujarnya.
Karena itu, Bambang mengimbau masyarakat di setiap daerah perlu berpikir jernih dan objektif dalam menilai sosok calon pemimpin daerahnya. Sebab, selama 2016 dan 2017 ada 18 daerah telah terbukti salah memilih sosok pemimpin daerahnya karena tersangkut korupsi. "Tentu saja, 171 daerah yang akan memilih gubernur, bupati, dan wali kota pada tahun mendatang diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama," harapnya.
Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri DPR Zainudin Amali memandang perlunya penguatan dan pemisahan fungsi pengawasan dari struktur pemerintahan daerah, selain pembangunan sistem pengelolaan keuangan yang transparan baik di pusat maupun daerah. "Selain itu fungsi pengawas internal seperti irjen (inspektorat jenderal) baik pusat maupun daerah harus lebih difungsikan dan dipisahkan dari pemerintahan setempat," kata Amali.
Yang dimaksud dengan pemisahan pengawasan internal adalah pengawasan di kabupaten/kota tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan kabupaten/kota tersebut, tapi di level provinsi. Begitu juga dengan pengawasan di provinsi yang dipisahkan dari pemerintahan provinsi dan dipindahkan ke pemerintah pusat. "Sehingga fungsi pengawasannya berjalan. Sebab, dia mengawasi yang setingkat di bawahnya," ujar politikus Partai Golkar itu.
Menurut Amali, yang paling penting adalah integritas dari semua pejabat itu sendiri. Bagaimana mereka melakukan tugasnya sebagai kepala daerah secara profesional, berintegritas, dan bersih dari praktik korupsi. "Atas semuanya ini tentu kita harus mengapresiasi kerja KPK yang sudah masuk sampai ke daerah-daerah. Semoga setelah ini tidak ada lagi kejadian serupa," harapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengakui, meskipun secara prosedural pemilu Indonesia relatif baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Buktinya, banyak legislator dan kepala daerah yang terlibat praktik korupsi dan penyimpangan jabatan. Mulai dari penataan birokrasi yang berpihak (partisan) ketika proses pemilu, tindakan memanipulasi suara rakyat yang masih sulit dijangkau penegakan hukum, dan konflik kekerasan akibat ekses elektoral di beberapa wilayah, hingga korupsi politik yang membuat Indonesia belum berhasil mewujudkan keadilan pemilu setelah hampir 20 tahun berjalannya era reformasi.
"Manajemen pemilu dan kualitas penyelenggara pemilu semakin baik, tapi belum diikuti dengan perbaikan dalam pengelolaan dana politik dan dana pemilu," kata Titi.
Menurut dia, kompetisi pemilu di Indonesia dari waktu ke waktu semakin mahal. Mendirikan partai politik dan menjadi peserta pemilu di Indonesia adalah yang paling mahal, rumit, dan kompleks di dunia. Partai harus punya kantor di seluruh provinsi, 75% kabupaten/kota pada setiap provinsi, dan di 50% kecamatan pada kabupaten/kota, serta harus punya jumlah anggota minimal 1.000 orang di setiap kabupaten/kota.
"Ini yang melahirkan pragmatisme bahwa parpol hanya bisa didirikan oleh mereka yang punya modal besar. Dan modal besar ini tentu harus dikembalikan," ujarnya.
Selain itu, kata Titi, praktik korupsi politik yang meliputi jual beli tiket pencalonan di pilkada dan pemilu dijadikan mekanisme untuk membiayai elite dan partai. Jual beli suara dan menyuap penyelenggara atau hakim pemilu adalah penyakit kanker bagi demokrasi yang sayangnya masih dianggap ampuh memenangkan kompetisi.
"Praktik korupsi masih sangat marak, baik pada birokrasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tindak pidana korupsi yang melibatkan begitu banyak kepala daerah sejatinya memberi pesan politik kepada masyarakat bahwa masyarakat telah salah memilih," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo dalam rilis Evaluasi Penegakan Hukum 2017 di Jakarta, Selasa (26/12/2017).
Menurut Bambang, karena salah memilih, maka amanah kepemimpinan itu justru jatuh dalam genggaman sosok kepala daerah yang korup. Kesalahan kolektif itu sangat mencolok terlihat sepanjang 2017. Terhitung sejak Januari hingga September 2017 ada delapan kepala daerah yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi.
"Semua pihak patut prihatin. Bayangkan, dalam rentang waktu kurang dari 60 hari (2 Agustus-26 September) tercatat enam kepala daerah harus diinapkan di ruang tahanan KPK," ujarnya.
Bambang mengatakan, kepala daerah tersebut terlibat dalam kasus yang hampir serupa, di mana area rawan korupsi itu di antaranya meliputi dana hibah bantuan sosial, perencanaan anggaran, biaya untuk pihak ketiga, serta belanja barang dan jasa. "Dan apakah korupsi oleh kepala daerah akan berkurang? Itu bergantung pada kearifan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pertanyaan ini relevan untuk dikedepankan karena tahun 2018 akan dilaksanakan pilkada serentak pada 27 Juni 2018 di 171 daerah pemilihan," ujarnya.
Karena itu, Bambang mengimbau masyarakat di setiap daerah perlu berpikir jernih dan objektif dalam menilai sosok calon pemimpin daerahnya. Sebab, selama 2016 dan 2017 ada 18 daerah telah terbukti salah memilih sosok pemimpin daerahnya karena tersangkut korupsi. "Tentu saja, 171 daerah yang akan memilih gubernur, bupati, dan wali kota pada tahun mendatang diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama," harapnya.
Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri DPR Zainudin Amali memandang perlunya penguatan dan pemisahan fungsi pengawasan dari struktur pemerintahan daerah, selain pembangunan sistem pengelolaan keuangan yang transparan baik di pusat maupun daerah. "Selain itu fungsi pengawas internal seperti irjen (inspektorat jenderal) baik pusat maupun daerah harus lebih difungsikan dan dipisahkan dari pemerintahan setempat," kata Amali.
Yang dimaksud dengan pemisahan pengawasan internal adalah pengawasan di kabupaten/kota tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan kabupaten/kota tersebut, tapi di level provinsi. Begitu juga dengan pengawasan di provinsi yang dipisahkan dari pemerintahan provinsi dan dipindahkan ke pemerintah pusat. "Sehingga fungsi pengawasannya berjalan. Sebab, dia mengawasi yang setingkat di bawahnya," ujar politikus Partai Golkar itu.
Menurut Amali, yang paling penting adalah integritas dari semua pejabat itu sendiri. Bagaimana mereka melakukan tugasnya sebagai kepala daerah secara profesional, berintegritas, dan bersih dari praktik korupsi. "Atas semuanya ini tentu kita harus mengapresiasi kerja KPK yang sudah masuk sampai ke daerah-daerah. Semoga setelah ini tidak ada lagi kejadian serupa," harapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengakui, meskipun secara prosedural pemilu Indonesia relatif baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Buktinya, banyak legislator dan kepala daerah yang terlibat praktik korupsi dan penyimpangan jabatan. Mulai dari penataan birokrasi yang berpihak (partisan) ketika proses pemilu, tindakan memanipulasi suara rakyat yang masih sulit dijangkau penegakan hukum, dan konflik kekerasan akibat ekses elektoral di beberapa wilayah, hingga korupsi politik yang membuat Indonesia belum berhasil mewujudkan keadilan pemilu setelah hampir 20 tahun berjalannya era reformasi.
"Manajemen pemilu dan kualitas penyelenggara pemilu semakin baik, tapi belum diikuti dengan perbaikan dalam pengelolaan dana politik dan dana pemilu," kata Titi.
Menurut dia, kompetisi pemilu di Indonesia dari waktu ke waktu semakin mahal. Mendirikan partai politik dan menjadi peserta pemilu di Indonesia adalah yang paling mahal, rumit, dan kompleks di dunia. Partai harus punya kantor di seluruh provinsi, 75% kabupaten/kota pada setiap provinsi, dan di 50% kecamatan pada kabupaten/kota, serta harus punya jumlah anggota minimal 1.000 orang di setiap kabupaten/kota.
"Ini yang melahirkan pragmatisme bahwa parpol hanya bisa didirikan oleh mereka yang punya modal besar. Dan modal besar ini tentu harus dikembalikan," ujarnya.
Selain itu, kata Titi, praktik korupsi politik yang meliputi jual beli tiket pencalonan di pilkada dan pemilu dijadikan mekanisme untuk membiayai elite dan partai. Jual beli suara dan menyuap penyelenggara atau hakim pemilu adalah penyakit kanker bagi demokrasi yang sayangnya masih dianggap ampuh memenangkan kompetisi.
(amm)