Kenaikan Tunjangan PNS Berdasarkan LAKIP
A
A
A
JAKARTA - Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) akan menjadi salah satu dasar kenaikan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS). Nilai LAKIP dinilai cukup menggambarkan hasil kinerja PNS selama ini.
Penggunaan nilai LAKIP sebagai salah satu dasar kenaikan tunjangan kinerja merupakan bentuk manajemen PNS berbasis kinerja.
“LAKIP jadi dasar kenaikan tunjangan kinerja. Mari diperbaiki tunjangan kinerja ini,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur di Jakarta kemarin.
Nilai LAKIP, kata dia, menunjukkan efektivitas kinerja masing-masing PNS di setiap unit kerja. Menurutnya, saat ini nilai lakip di semua instansi baik pusat maupun daerah masih didominasi nilai C.
“Kalau C ini masih banyak program yang tidak nyambung dengan kegiatan. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Presiden bahwa kegiatan penunjang lebih banyak dibandingkan kegiatan utama,” jelasnya.
Dia mengakui setiap akhir tahun banyak usulan kenaikan tunjangan kinerja dari berbagai instansi. Dia memastikan akan memeriksa nilai LAKIP sebelum memberi keputusan kenaikan. “Usulan kenaikan banyak di meja saya. Nanti kita lihat dulu bagaimana nilai LAKIP-nya,” paparnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan-RB Muhammad Yusuf Ateh mengatakan bahwa untuk mendapatkan kenaikan tunjangan harus didasarkan pada kinerja setiap unit.
Menurutnya, LAKIP cukup menggambarkan kerja setiap PNS. “Semua ingin 100% (tunjangan kinerjanya). Banyak yang 70%. Kalau mau 100%, kan dilihat kinerja. Dari LAKIP ketahuan,” katanya.
Menurutnya, proses perhitungan didasarkan pada penilaian sistem kerja secara menyeluruh. Dalam hal ini, kenaikan tunjangan ini harus didasarkan pada hasil kerja, termasuk juga kinerja organisasi ataupun individu.
“Sistem kinerja menyeluruh. Teknis. Itu penilaian menyeluruh,” paparnya. Mengenai waktu pengumuman nilai LAKIP tahun 2017, Ateh mengatakan akan dilakukan awal 2018. Dia berharap akan ada peningkatan nilai untuk tahun 2018.
“Antara Januari, Februari, atau Maret,” ungkapnya. Sebelumnya nilai LAKIP ini juga akan dijadikan dasar dalam pemberian sanksi terhadap pengelolaan anggaran yang tidak efektif. Dari nilai LAKIP tersebut, pemborosan anggaran diprediksi menembus lebih Rp300 triliun.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tengah mengkaji pemberian sanksi ini penggunaan anggaran yang tidak berbasis hasil.
“Ada (sanksinya). Ada pembicaraan detailnya di Menpan- RB dan Menteri Keuangan (Menkeu). Juga sudah disampaikan di dalam rapat kabinet,” katanya.
Dia mengatakan masih menemukan daerah yang menganggarkan program yang tidak bermanfaat bagi masyarakat, misalnya saja pembangunan terminal di salah satu perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski dibangun dengan megah, ternyata tidak ada bus yang menggunakannya.
“Jadi, tidak ada manfaatnya buat masyarakat. Pokoknya habis. Ada 170-an daerah oleh Menpan-RB anggaran habis, tapi tidak fokus (nilai C),” ujar dia.
Di sisi lain, pemerintah juga memperingatkan daerah yang penyerapan rendah karena banyak menyimpan uangnya di bank. Setidaknya pada semester I tahun ini terdapat Rp222 triliun yang mengendap di bank.
“Jadi, ada daerah penyerapan tidak optimal dan uangnya malah disimpan. Ada juga daerah yang penyerapannya bagus, tapi tidak fokus. Ini sedang diidentifikasi. Nanti hasilnya kita serahkan ke Menkeu tentang bagaimana sanksinya,” tutur dia.
Seperti diketahui, hasil penilaian sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) tahun 2016 masih banyak daerah yang memperoleh nilai C ke bawah. Untuk kategori provinsi hanya 3 provinsi yang mendapat nilai A, 7 provinsi mendapat nilai BB, 12 provinsi mendapat nilai B, dan 10 provinsi mendapat nilai CC, serta 2 provinsi mendapat nilai C.
Sementara untuk kategori pemerintah kabupaten/kota, hanya 2 kabupaten/kota yang mendapatkan nilai A. Sementara itu, 10 kabupaten/ kota mendapatkan nilai BB, 57 kabupaten/kota mendapatkan nilai B, dan 199 mendapatkan nilai CC. Adapun yang mendapatkan nilai C sebanyak 193 kabupaten/kota dan nilai D diperoleh 14 kabupaten/ kota. (Dita Angga)
Penggunaan nilai LAKIP sebagai salah satu dasar kenaikan tunjangan kinerja merupakan bentuk manajemen PNS berbasis kinerja.
“LAKIP jadi dasar kenaikan tunjangan kinerja. Mari diperbaiki tunjangan kinerja ini,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur di Jakarta kemarin.
Nilai LAKIP, kata dia, menunjukkan efektivitas kinerja masing-masing PNS di setiap unit kerja. Menurutnya, saat ini nilai lakip di semua instansi baik pusat maupun daerah masih didominasi nilai C.
“Kalau C ini masih banyak program yang tidak nyambung dengan kegiatan. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Presiden bahwa kegiatan penunjang lebih banyak dibandingkan kegiatan utama,” jelasnya.
Dia mengakui setiap akhir tahun banyak usulan kenaikan tunjangan kinerja dari berbagai instansi. Dia memastikan akan memeriksa nilai LAKIP sebelum memberi keputusan kenaikan. “Usulan kenaikan banyak di meja saya. Nanti kita lihat dulu bagaimana nilai LAKIP-nya,” paparnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan-RB Muhammad Yusuf Ateh mengatakan bahwa untuk mendapatkan kenaikan tunjangan harus didasarkan pada kinerja setiap unit.
Menurutnya, LAKIP cukup menggambarkan kerja setiap PNS. “Semua ingin 100% (tunjangan kinerjanya). Banyak yang 70%. Kalau mau 100%, kan dilihat kinerja. Dari LAKIP ketahuan,” katanya.
Menurutnya, proses perhitungan didasarkan pada penilaian sistem kerja secara menyeluruh. Dalam hal ini, kenaikan tunjangan ini harus didasarkan pada hasil kerja, termasuk juga kinerja organisasi ataupun individu.
“Sistem kinerja menyeluruh. Teknis. Itu penilaian menyeluruh,” paparnya. Mengenai waktu pengumuman nilai LAKIP tahun 2017, Ateh mengatakan akan dilakukan awal 2018. Dia berharap akan ada peningkatan nilai untuk tahun 2018.
“Antara Januari, Februari, atau Maret,” ungkapnya. Sebelumnya nilai LAKIP ini juga akan dijadikan dasar dalam pemberian sanksi terhadap pengelolaan anggaran yang tidak efektif. Dari nilai LAKIP tersebut, pemborosan anggaran diprediksi menembus lebih Rp300 triliun.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tengah mengkaji pemberian sanksi ini penggunaan anggaran yang tidak berbasis hasil.
“Ada (sanksinya). Ada pembicaraan detailnya di Menpan- RB dan Menteri Keuangan (Menkeu). Juga sudah disampaikan di dalam rapat kabinet,” katanya.
Dia mengatakan masih menemukan daerah yang menganggarkan program yang tidak bermanfaat bagi masyarakat, misalnya saja pembangunan terminal di salah satu perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski dibangun dengan megah, ternyata tidak ada bus yang menggunakannya.
“Jadi, tidak ada manfaatnya buat masyarakat. Pokoknya habis. Ada 170-an daerah oleh Menpan-RB anggaran habis, tapi tidak fokus (nilai C),” ujar dia.
Di sisi lain, pemerintah juga memperingatkan daerah yang penyerapan rendah karena banyak menyimpan uangnya di bank. Setidaknya pada semester I tahun ini terdapat Rp222 triliun yang mengendap di bank.
“Jadi, ada daerah penyerapan tidak optimal dan uangnya malah disimpan. Ada juga daerah yang penyerapannya bagus, tapi tidak fokus. Ini sedang diidentifikasi. Nanti hasilnya kita serahkan ke Menkeu tentang bagaimana sanksinya,” tutur dia.
Seperti diketahui, hasil penilaian sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) tahun 2016 masih banyak daerah yang memperoleh nilai C ke bawah. Untuk kategori provinsi hanya 3 provinsi yang mendapat nilai A, 7 provinsi mendapat nilai BB, 12 provinsi mendapat nilai B, dan 10 provinsi mendapat nilai CC, serta 2 provinsi mendapat nilai C.
Sementara untuk kategori pemerintah kabupaten/kota, hanya 2 kabupaten/kota yang mendapatkan nilai A. Sementara itu, 10 kabupaten/ kota mendapatkan nilai BB, 57 kabupaten/kota mendapatkan nilai B, dan 199 mendapatkan nilai CC. Adapun yang mendapatkan nilai C sebanyak 193 kabupaten/kota dan nilai D diperoleh 14 kabupaten/ kota. (Dita Angga)
(nfl)