Butuh Mentalitas Baru untuk Hadapi Perubahan Zaman
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat diingatkan untuk terus menjaga dan memperkokoh kerukunan serta kesetiakawanan sosial sebagai benteng untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak mudah terpecah belah.
Hal ini perlu diingatkan seiring maraknya pola persaudaraan yang sempit dengan berbasis kepentingan kelompok, etnis, agama dan suku yang dapat memperuncing pembelahan di masyarakat.
“Harus disadari bahwa di dalam Islam persaudaraan itu tidak hanya
dibatasi kekeluargaan sampai ke negara saja, tapi persaudaraan itu
untuk seluruh umat manusia. Di Alquran ada di surat Al Baqarah
ayat 213 yang artinya manusia itu merupakan umat yang satu (bangsa),” kata Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas.
Hamim berbicara itu saat acara diskusi Penelitian, Pandangan dan Sikap Muhammadiyah Terhadap Radikalisme dan Terorisme di Indonesia, di Jakarta, Kamis 7 Desember 2017.
Dia menjelaskan, jika dijabarkan secara luas semestinya kehidupan suatu bangsa rukun, meski dalam kenyataannya sejak konflik sering terjadi sejak zaman dahulu.
Dari konflik-konflik itulah, kata dia, diutus para nabi dengan membawa kitab sucimasing-masing. “Ketika sudah ada nabi dengan membawa kitabnya pun belum menghilangkan
konflik maka Nabi Muhammad diutus untuk menghilangkan konflik yang di antaranya berbasis agama, dengan Islam yang rahmatan lil alamin, yaitu Islam yang dalam pengertian yang paling luas diwahyukan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik,” tutur Hamim.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengatakan ada tiga indikator yang menunjukkan hidup yang lebih baik, yakni kesejahteran, kedamaian, dan bahagia untuk semua orang.
Menurut dia, hal itu sesuai tiga fungsi Islam di dalam surat Al Imran ayat 103-104, yakni mempersatukan umat manusia, menyelamatkan umat manusia dan memperbaiki kehidupan umat manusia.
“Umat Islam itu harus seperti itu. Jadi jangan lah membentuk
kelompok sendiri untuk kepentingan kelompok, etnis atau agama yang ujung-ujungnya nanti malah dapat memecah belah masyarakat di negara ini,” tandasnya.
Dia mengingatkan masyarakat untuk menyadari sekarang ini zaman sudah berubah. “Semua warga negara itu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara untuk membuat majunya negara. Itu memang dibutuhkan mentalitas baru, tidak cukup dengan mentalitas lama,” tandasnya.
Dia mengatakan jalur pendidikan dapat mengubah mentalitas lama ke mentalitas baru di masyarakat. Pendidikan dikatakannya memiliki tujuan mengantarkan peserta didik agar bisa hidup sesuai dengan lingkungan di zamannya.
Menurut Hamim, pendidikan memiliki empat fungsi, yakni pendidikan sebagai proses membentuk pribadi, membentuk warga masyarakat, membentuk warga negara dan membentuk tenaga kerja.
“Sesuai yang ada dalam nilai-nilai Islam, pendidikan itu
dikembangkan lagi, yakni pendidikan sebagai hamba Tuhan, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota komunitas, sebagai warga masyarakat, warga negara dan warga dunia,” tuturnya.
Hal ini perlu diingatkan seiring maraknya pola persaudaraan yang sempit dengan berbasis kepentingan kelompok, etnis, agama dan suku yang dapat memperuncing pembelahan di masyarakat.
“Harus disadari bahwa di dalam Islam persaudaraan itu tidak hanya
dibatasi kekeluargaan sampai ke negara saja, tapi persaudaraan itu
untuk seluruh umat manusia. Di Alquran ada di surat Al Baqarah
ayat 213 yang artinya manusia itu merupakan umat yang satu (bangsa),” kata Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas.
Hamim berbicara itu saat acara diskusi Penelitian, Pandangan dan Sikap Muhammadiyah Terhadap Radikalisme dan Terorisme di Indonesia, di Jakarta, Kamis 7 Desember 2017.
Dia menjelaskan, jika dijabarkan secara luas semestinya kehidupan suatu bangsa rukun, meski dalam kenyataannya sejak konflik sering terjadi sejak zaman dahulu.
Dari konflik-konflik itulah, kata dia, diutus para nabi dengan membawa kitab sucimasing-masing. “Ketika sudah ada nabi dengan membawa kitabnya pun belum menghilangkan
konflik maka Nabi Muhammad diutus untuk menghilangkan konflik yang di antaranya berbasis agama, dengan Islam yang rahmatan lil alamin, yaitu Islam yang dalam pengertian yang paling luas diwahyukan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik,” tutur Hamim.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengatakan ada tiga indikator yang menunjukkan hidup yang lebih baik, yakni kesejahteran, kedamaian, dan bahagia untuk semua orang.
Menurut dia, hal itu sesuai tiga fungsi Islam di dalam surat Al Imran ayat 103-104, yakni mempersatukan umat manusia, menyelamatkan umat manusia dan memperbaiki kehidupan umat manusia.
“Umat Islam itu harus seperti itu. Jadi jangan lah membentuk
kelompok sendiri untuk kepentingan kelompok, etnis atau agama yang ujung-ujungnya nanti malah dapat memecah belah masyarakat di negara ini,” tandasnya.
Dia mengingatkan masyarakat untuk menyadari sekarang ini zaman sudah berubah. “Semua warga negara itu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara untuk membuat majunya negara. Itu memang dibutuhkan mentalitas baru, tidak cukup dengan mentalitas lama,” tandasnya.
Dia mengatakan jalur pendidikan dapat mengubah mentalitas lama ke mentalitas baru di masyarakat. Pendidikan dikatakannya memiliki tujuan mengantarkan peserta didik agar bisa hidup sesuai dengan lingkungan di zamannya.
Menurut Hamim, pendidikan memiliki empat fungsi, yakni pendidikan sebagai proses membentuk pribadi, membentuk warga masyarakat, membentuk warga negara dan membentuk tenaga kerja.
“Sesuai yang ada dalam nilai-nilai Islam, pendidikan itu
dikembangkan lagi, yakni pendidikan sebagai hamba Tuhan, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota komunitas, sebagai warga masyarakat, warga negara dan warga dunia,” tuturnya.
(dam)