Masyarakat Peduli Bahaya Asap Rokok Bentuk Koalisi
A
A
A
JAKARTA - Enam organisasi membentuk koalisi untuk mengedukasi publik akan bahaya TAR. TAR dianggap jauh lebih berbahaya karena mengandung zat karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran rokok.
Koalisi ini beranggotakan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Tar Free Foundation, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), serta Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI). Mereka menamakan dirinya Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR).
KABAR dibentuk atas inisiatif bersama menanggapi rendahnya pemahaman publik mengenai bahaya TAR, salah satunya dari rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
"Selama ini, orang lebih banyak mendiskusikan mengenai bahaya nikotin yang menyebabkan kecanduan. Padahal, TAR jauh lebih berbahaya karena mengandung zat-zat karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran rokok," ujar Ketua KABAR Achmad Syawqie yang juga merupakan Guru Besar di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran, kemarin.
"Kami khawatir pengetahuan yang rendah ini berakibat pada kesalahpahaman masyarakat dalam menentukan pilihannya, utamanya yang berkaitan dengan dampak dari produk tembakau. Apakah mereka akan tetap mengonsumsi produk tembakau yang dibakar, atau mempertimbangkan untuk beralih pada produk tembakau alternatif yang tidak menghasilkan TAR," ujarnya.
Koalisi ini berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan dampak rokok bagi kesehatan, dengan mengedepankan informasi berbasis penelitian ilmiah dan teknologi demi mengatasi dampak buruk TAR melalui produk tembakau alternatif.
"Di negara-negara maju, mereka melakukan berbagai penelitian dan pengembangan atas produk tembakau alternatif yang memiliki tingkat bahaya yang lebih rendah guna mencari solusi bagi para perokok. Kami berharap KABAR bisa memberikan kontribusi dan mendorong berbagai pihak untuk melakukan penelitian dan kajian ilmiah yang sama demi menurunkan risiko kesehatan masyarakat akibat TAR," jelas Syawqie
Syawqie kemudian mencontohkan bahwa pada 2015, agensi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya Public Health England merilis hasil riset yang menunjukkan bahwa produk nikotin yang dipanaskan menurunkan risiko hingga 95 % dari rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
"Informasi seperti inilah yang perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka mendapatkan akses atas informasi berbasis penelitian ilmiah sehingga nantinya mereka dapat menentukan pilihannya," tambahnya.
APVI, salah satu anggota KABAR yang mewakili suara konsumen, juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama mengenai minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat, khususnya bagi pemerintah, perokok, dan penggiat kesehatan publik mengenai penelitian-penelitian yang mengarah pada produk tembakau alternatif dengan bahaya yang lebih rendah.
"Sebagai konsumen, tentunya saya memiliki hak untuk menentukan pilihan saya dalam mengonsumsi produk tembakau dengan bahaya yang lebih rendah," ujar Aryo Andrianto, ketua APVI.
Koalisi ini beranggotakan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Tar Free Foundation, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), serta Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI). Mereka menamakan dirinya Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR).
KABAR dibentuk atas inisiatif bersama menanggapi rendahnya pemahaman publik mengenai bahaya TAR, salah satunya dari rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
"Selama ini, orang lebih banyak mendiskusikan mengenai bahaya nikotin yang menyebabkan kecanduan. Padahal, TAR jauh lebih berbahaya karena mengandung zat-zat karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran rokok," ujar Ketua KABAR Achmad Syawqie yang juga merupakan Guru Besar di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran, kemarin.
"Kami khawatir pengetahuan yang rendah ini berakibat pada kesalahpahaman masyarakat dalam menentukan pilihannya, utamanya yang berkaitan dengan dampak dari produk tembakau. Apakah mereka akan tetap mengonsumsi produk tembakau yang dibakar, atau mempertimbangkan untuk beralih pada produk tembakau alternatif yang tidak menghasilkan TAR," ujarnya.
Koalisi ini berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan dampak rokok bagi kesehatan, dengan mengedepankan informasi berbasis penelitian ilmiah dan teknologi demi mengatasi dampak buruk TAR melalui produk tembakau alternatif.
"Di negara-negara maju, mereka melakukan berbagai penelitian dan pengembangan atas produk tembakau alternatif yang memiliki tingkat bahaya yang lebih rendah guna mencari solusi bagi para perokok. Kami berharap KABAR bisa memberikan kontribusi dan mendorong berbagai pihak untuk melakukan penelitian dan kajian ilmiah yang sama demi menurunkan risiko kesehatan masyarakat akibat TAR," jelas Syawqie
Syawqie kemudian mencontohkan bahwa pada 2015, agensi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya Public Health England merilis hasil riset yang menunjukkan bahwa produk nikotin yang dipanaskan menurunkan risiko hingga 95 % dari rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
"Informasi seperti inilah yang perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka mendapatkan akses atas informasi berbasis penelitian ilmiah sehingga nantinya mereka dapat menentukan pilihannya," tambahnya.
APVI, salah satu anggota KABAR yang mewakili suara konsumen, juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama mengenai minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat, khususnya bagi pemerintah, perokok, dan penggiat kesehatan publik mengenai penelitian-penelitian yang mengarah pada produk tembakau alternatif dengan bahaya yang lebih rendah.
"Sebagai konsumen, tentunya saya memiliki hak untuk menentukan pilihan saya dalam mengonsumsi produk tembakau dengan bahaya yang lebih rendah," ujar Aryo Andrianto, ketua APVI.
(maf)