Baru Menang Praperadilan, KPK Nilai Bupati Nganjuk Sangat Nekat
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan penangkapan terhadap Bupati Nganjuk, Jawa Timur Taufiqurrahman pada Rabu 25 Oktober 2017 bukan kesalahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberian arahan di Istana Negara pada Selasa 24 Oktober 2017.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang kemudian ditetapkan menjadi salah satu tersangka yakni sebagai penerima suap memang sempat mengikuti acara pemberian arahan Presiden Jokowi di Istana. Acara ini hakikatnya untuk seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia.
Basaria membenarkan, sepengetahuan KPK ada beberapa isi arahan yang disampaikan Presiden Jokowi kepada seluruh kepala daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, dan para wakilnya. Di antaranya, para kepala daerah diminta tidak melakukan cara-cara koruptif dalam melaksanakan tugas dan kewenangan.
Kemudian pemanfaatan APBD untuk sebenar-benarnya kepentingan masyarakat. Serta, para kepala daerah tidak diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) kalau tidak mengambil uang rakyat. Basaria mengungkapkan, pihaknya tidak mau menyimpulkan apakah Taufiqurrahman tidak mendengar atau tuli dan menyimak arahan Presiden Jokowi.
"Kalau ditanya siapa yang salah, yang pasti sudah tersangkanya (Taufiqurrahman). Enggak mungkin presiden yang salah. Sesuatu yang tidak perlu dijawab. Pasti yang bersangkutan (Taufiqurrahman). Sudah diingatkan juga nekat. Itu juga jangankan teman-teman (para jurnalis), kita sendiri juga bingung. Nekat banget," tegas Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/10) sore.
Mantan staf ahli kapolri bidang sosial politik ini memaparkan, kenekatan Taufiqurrahman juga bisa dipotret dengan kasus dugaan pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan turut serta sebagai pemborong (Pasal 12 huruf i UU Pemberantasan Tipikor) dalam lima proyek fisik di Kabupaten Nganjuk yang pernah ditangani KPK. Kata Basaria, Taufiqurrahman sudah memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Beberapa pekan lalu, berkas kasus ini sudah dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung.
"Posisinya baru selesai praper, kemudian baru selesai juga kita serahkan ke kejaksaan. Posisi di sana sedang lakukan penyelidikan. Tapi masih nekat juga ya? Kita juga bingung. Kalau kenapa masalahnya, coba ditanyakan khusus ke yang bersangkutan (Taufiqurrahman)," tegasnya.
Basaria melanjutkan, arahan Presiden Jokowi yang kemudian berujung pada keinginan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) membangun sistem yang transparan di pemerintah daerah (Pemda) atau Perpres Anti-OTT sebenarnya juga bagus. Tapi, tetap saja KPK tak habis pikir masih saja Taufiqurrahman menerima suap Rp298.020.000 sesuai hasil sitaan KPK saat OTT pada Rabu (25/10).
"Masalah Perpres yang akan dibuat ini, pada prinsipnya segala macam usaha harus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, termasuk dalam hal ini presiden bagaimana caranya dia apa yang harus diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang sama," tegas Basaria.
Jenderal polisi bintang dua purnawirawan ini menggariskan, yang harus diingat presiden juga adalah Perpres tersebut sebaiknya bukan khusus menyoroti OTT atau agar menghindari OTT yang dilakukan penegak hukum saja. Presiden harus bisa mempastikan peraturan tersebut mebuat secara menyeluruh bagaimana upaya-upaya dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberantas tipikor.
"Apalagi akhir-akhir ini semakin banyak penangkapan-penangkapan dilakukan baik oleh saber pungli juga, banyak juga yang kecil dan besar," tegasnya.
Basaria menilai, tangkap tangan baik yang dilakukan KPK maupun Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) tidak bisa disebut sebagai pemicu atau mengakibatkan korupsi atau penerima uang suap meningkat drastis. Tapi kalau bicara tentang makin meningkatnya pelaku korupsi yang kian ketahuan, tutur Basaria, ada dua kemungkinan.
Pertama, faktor manusia atau pelakunya yang memang berkeinginan, mau, dan berniat untuk melakukan perilaku koruptif. Kedua, bisa juga karena semakin aktifnya para penegak hukum dalam melakukan langkah-langkah penegakan hukum itu sendiri.
"Jadi dua sisi ini berbeda mungkin perlu dilakukan penelitian khusus. Bukan berarti semakin banyak penangkapan berarti tingkat korupsi semakin tinggi. Itu dua sisi yang berbeda," ucapnya.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang kemudian ditetapkan menjadi salah satu tersangka yakni sebagai penerima suap memang sempat mengikuti acara pemberian arahan Presiden Jokowi di Istana. Acara ini hakikatnya untuk seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia.
Basaria membenarkan, sepengetahuan KPK ada beberapa isi arahan yang disampaikan Presiden Jokowi kepada seluruh kepala daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, dan para wakilnya. Di antaranya, para kepala daerah diminta tidak melakukan cara-cara koruptif dalam melaksanakan tugas dan kewenangan.
Kemudian pemanfaatan APBD untuk sebenar-benarnya kepentingan masyarakat. Serta, para kepala daerah tidak diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) kalau tidak mengambil uang rakyat. Basaria mengungkapkan, pihaknya tidak mau menyimpulkan apakah Taufiqurrahman tidak mendengar atau tuli dan menyimak arahan Presiden Jokowi.
"Kalau ditanya siapa yang salah, yang pasti sudah tersangkanya (Taufiqurrahman). Enggak mungkin presiden yang salah. Sesuatu yang tidak perlu dijawab. Pasti yang bersangkutan (Taufiqurrahman). Sudah diingatkan juga nekat. Itu juga jangankan teman-teman (para jurnalis), kita sendiri juga bingung. Nekat banget," tegas Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/10) sore.
Mantan staf ahli kapolri bidang sosial politik ini memaparkan, kenekatan Taufiqurrahman juga bisa dipotret dengan kasus dugaan pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan turut serta sebagai pemborong (Pasal 12 huruf i UU Pemberantasan Tipikor) dalam lima proyek fisik di Kabupaten Nganjuk yang pernah ditangani KPK. Kata Basaria, Taufiqurrahman sudah memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Beberapa pekan lalu, berkas kasus ini sudah dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung.
"Posisinya baru selesai praper, kemudian baru selesai juga kita serahkan ke kejaksaan. Posisi di sana sedang lakukan penyelidikan. Tapi masih nekat juga ya? Kita juga bingung. Kalau kenapa masalahnya, coba ditanyakan khusus ke yang bersangkutan (Taufiqurrahman)," tegasnya.
Basaria melanjutkan, arahan Presiden Jokowi yang kemudian berujung pada keinginan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) membangun sistem yang transparan di pemerintah daerah (Pemda) atau Perpres Anti-OTT sebenarnya juga bagus. Tapi, tetap saja KPK tak habis pikir masih saja Taufiqurrahman menerima suap Rp298.020.000 sesuai hasil sitaan KPK saat OTT pada Rabu (25/10).
"Masalah Perpres yang akan dibuat ini, pada prinsipnya segala macam usaha harus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, termasuk dalam hal ini presiden bagaimana caranya dia apa yang harus diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang sama," tegas Basaria.
Jenderal polisi bintang dua purnawirawan ini menggariskan, yang harus diingat presiden juga adalah Perpres tersebut sebaiknya bukan khusus menyoroti OTT atau agar menghindari OTT yang dilakukan penegak hukum saja. Presiden harus bisa mempastikan peraturan tersebut mebuat secara menyeluruh bagaimana upaya-upaya dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberantas tipikor.
"Apalagi akhir-akhir ini semakin banyak penangkapan-penangkapan dilakukan baik oleh saber pungli juga, banyak juga yang kecil dan besar," tegasnya.
Basaria menilai, tangkap tangan baik yang dilakukan KPK maupun Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) tidak bisa disebut sebagai pemicu atau mengakibatkan korupsi atau penerima uang suap meningkat drastis. Tapi kalau bicara tentang makin meningkatnya pelaku korupsi yang kian ketahuan, tutur Basaria, ada dua kemungkinan.
Pertama, faktor manusia atau pelakunya yang memang berkeinginan, mau, dan berniat untuk melakukan perilaku koruptif. Kedua, bisa juga karena semakin aktifnya para penegak hukum dalam melakukan langkah-langkah penegakan hukum itu sendiri.
"Jadi dua sisi ini berbeda mungkin perlu dilakukan penelitian khusus. Bukan berarti semakin banyak penangkapan berarti tingkat korupsi semakin tinggi. Itu dua sisi yang berbeda," ucapnya.
(kri)