DPR Tanya Dasar Hukum Penyadapan, Ini Jawaban KPK
A
A
A
JAKARTA - DPR khususnya komisi III mempertanyakan dasar hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyadapan untuk memburu para koruptor. Pertanyaan tersebut mengemuka saat rapat dengar pendapat komisi III DPR dengan KPK.
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi menyatakan, bahwa dalam masalah penyadapan itu yang paling banyak dipertanyakan adalah mengenai legal standingnya.
"Karena hal ini dianggap paling mudah melanggar HAM (Hak Asasi Manusia)," kata Aboe Bakar, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Begitupun dengan Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman selaku pimpinan rapat menyatakan, ada orang yang sudah disadap meski status hukumnya belum jelas.
"Seseorang belum jelas statusnya apakah tingkat penyidikan atau penyelidikan, tapi dia sudah jadi target penyadapan. HP-nya disadap dan kesannya seolah kejahatan ini dikawal untuk dilakukan, sehingga terjadi tindak pidana yang sempurna," jelasnya.
Sementara Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK tidak efektif untuk memberantas korupsi. "OTT itu ibarat minum obat sakit kepala. Hanya meredakan sakit, tapi tidak menyembuhkan sakit kepala," ucapnya.
Nasir mengungkapkan, berdasar pada indeks persepsi korupsi masih tidak berubah banyak. Dia merasa heran dengan KPK yang sulit membenahi diri, meskipun sejumlah masukan sudah disampaikan oleh komisi III DPR.
"Mari kita berantas korupsinya, bukan hanya koruptornya," tuturnya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjawab pertanyaan terkait landasan dasar apa yang digunakan KPK dalam melakukan penyadapan, Laode menjawab, dasarnya adalah Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK.
"Yaitu dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pasal 6 huruf c, KPK berwenang salah satunya adalah melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan," jelasnya.
Kata Laode, KPK tidak akan melakukan penyadapan secara serampangan. Menurutnya, mesin yang digunakan KPK untuk menyadap hanya disetel untuk jangka waktu 30 hari. Lewat dari 30 hari, maka otomatis tidak akan tersadap.
"Kecuali ada laporan baru yang juga harus mendapat persetujuan dari seluruh Pimpinan KPK," ungkapnya.
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi menyatakan, bahwa dalam masalah penyadapan itu yang paling banyak dipertanyakan adalah mengenai legal standingnya.
"Karena hal ini dianggap paling mudah melanggar HAM (Hak Asasi Manusia)," kata Aboe Bakar, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Begitupun dengan Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman selaku pimpinan rapat menyatakan, ada orang yang sudah disadap meski status hukumnya belum jelas.
"Seseorang belum jelas statusnya apakah tingkat penyidikan atau penyelidikan, tapi dia sudah jadi target penyadapan. HP-nya disadap dan kesannya seolah kejahatan ini dikawal untuk dilakukan, sehingga terjadi tindak pidana yang sempurna," jelasnya.
Sementara Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK tidak efektif untuk memberantas korupsi. "OTT itu ibarat minum obat sakit kepala. Hanya meredakan sakit, tapi tidak menyembuhkan sakit kepala," ucapnya.
Nasir mengungkapkan, berdasar pada indeks persepsi korupsi masih tidak berubah banyak. Dia merasa heran dengan KPK yang sulit membenahi diri, meskipun sejumlah masukan sudah disampaikan oleh komisi III DPR.
"Mari kita berantas korupsinya, bukan hanya koruptornya," tuturnya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjawab pertanyaan terkait landasan dasar apa yang digunakan KPK dalam melakukan penyadapan, Laode menjawab, dasarnya adalah Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK.
"Yaitu dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pasal 6 huruf c, KPK berwenang salah satunya adalah melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan," jelasnya.
Kata Laode, KPK tidak akan melakukan penyadapan secara serampangan. Menurutnya, mesin yang digunakan KPK untuk menyadap hanya disetel untuk jangka waktu 30 hari. Lewat dari 30 hari, maka otomatis tidak akan tersadap.
"Kecuali ada laporan baru yang juga harus mendapat persetujuan dari seluruh Pimpinan KPK," ungkapnya.
(maf)