Korporasi Rentan Jadi Korban dari Sistem yang Korup
A
A
A
JAKARTA - Sistem yang koruptif dinilai sebagai salah satu penyebab utama banyak perusahaan terlibat korupsi. Demikian pandangan pakar hukum terkait banyaknya pimpinan perusahaan yang terlibat korupsi.
“Untuk mendapatkan proyek, pimpinan perusahaan atau proyek seringkali harus berkompromi dengan situasi. Kondisi inilah yang membuat banyak perusahaan tidak bisa menolak untuk memberi suap, karena ini soal hidup mati perusahaan juga,” ujar Ahli hukum korporasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) SoloYudo Muryanto saat dihubungi, Minggu (13/8/2017).
Sebelumnya, dalam sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan tersangka Dudung, mantan Direktur Utama PT Duta Graha Indah (DGI), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2017) lalu terungkap bahwa Muhammad Nazaruddin meminta uang komisi dari proyek yang diberikan ke DGI.
Dalam kesaksiannya, mantan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, Mindo Rosalina mengungkapkan, Nazaruddin meminta fee proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Universitas Udayana Bali sebesar 19% dari nilai proyek antara tahun 2009-2011 sebesar Rp40 miliar.
PT Anak Negeri sendiri merupakan anak usaha Permai Group, sebuah entitas bisnis milik Nazaruddin, mantan anggota DPR. Group Permai memiliki belasan anak perusahaan yang digunakan Nazaruddin untuk menyalurkan proyek-proyek milik pemerintah ke perusahaan rekanan.
“Nazaruddin sudah memberikan fee dari DGI ke anggota DPR lain sebesar Rp 7 miliar. Setelah itu dia menagih fee ke DGI, tapi hanya dibayar 15% dari nilai proyek,” ungkap Mindo di persidangan Dudung (9/8).
Nazaruddin, melalui grup Permai diketahui mendapatkan lebih dari 160 proyek pemerintah. Proyek-proyek itu kemudian disalurkan ke banyak perusahaan rekanan. Sebagai kompensasi, Nazaruddin mengutip fee berkisar 20-40 persen, tergantung nilai proyeknya.
Yudo menambahkan, penanganan korupsi yang melibatkan pengurus korporasi seharusnya tidak sampai mengorbankan nasib perusahaan. Terlebih lagi jika perusahaan tersebut menjadi tumpuan hajat hidup bagi para karyawan.
“Pengadilan mestinya akan bijaksana dalam mengambil keputusan hukum terkait kasus korupsi korporasi. Kan tidak mungkin juga hakim atau pemerintah akan menanggung hidup karyawan yang perusahaannya di bubarkan karena kesalahan satu dua pengurus,” tambah pengajar di Fakultas Hukum UNS ini.
Untuk mencegah terjadinya korupsi korporasi, KPK mesti mendorong fungsi pencegahan. Terutama berkaitan dengan proses pengadaan barang yang selama ini sering menjadi pintu masuk terjadinya korupsi.
Menurut Yudo, fungsi pencegahan ini penting untuk menciptakan perubahan sistem yang koruptif tadi. Apabila sistemnya masih sama, maka perusahaan-perusahaan yang didesain untuk mengutip suap seperti milik Nazaruddin dan Andi Narogong, dalam kasus korupsi e KTP akan terus eksis.
“Yang penting diawasi itu adalah perusahaan yang didesain untuk korupsi. Karena sebaik apapun perusahaannya, akan sulit menghindari praktek korupsi jika sistemnya korup. Ini yang sebenarnya harus jadi fokus aparat penegak hukum,” tegasnya.
“Untuk mendapatkan proyek, pimpinan perusahaan atau proyek seringkali harus berkompromi dengan situasi. Kondisi inilah yang membuat banyak perusahaan tidak bisa menolak untuk memberi suap, karena ini soal hidup mati perusahaan juga,” ujar Ahli hukum korporasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) SoloYudo Muryanto saat dihubungi, Minggu (13/8/2017).
Sebelumnya, dalam sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan tersangka Dudung, mantan Direktur Utama PT Duta Graha Indah (DGI), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2017) lalu terungkap bahwa Muhammad Nazaruddin meminta uang komisi dari proyek yang diberikan ke DGI.
Dalam kesaksiannya, mantan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, Mindo Rosalina mengungkapkan, Nazaruddin meminta fee proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Universitas Udayana Bali sebesar 19% dari nilai proyek antara tahun 2009-2011 sebesar Rp40 miliar.
PT Anak Negeri sendiri merupakan anak usaha Permai Group, sebuah entitas bisnis milik Nazaruddin, mantan anggota DPR. Group Permai memiliki belasan anak perusahaan yang digunakan Nazaruddin untuk menyalurkan proyek-proyek milik pemerintah ke perusahaan rekanan.
“Nazaruddin sudah memberikan fee dari DGI ke anggota DPR lain sebesar Rp 7 miliar. Setelah itu dia menagih fee ke DGI, tapi hanya dibayar 15% dari nilai proyek,” ungkap Mindo di persidangan Dudung (9/8).
Nazaruddin, melalui grup Permai diketahui mendapatkan lebih dari 160 proyek pemerintah. Proyek-proyek itu kemudian disalurkan ke banyak perusahaan rekanan. Sebagai kompensasi, Nazaruddin mengutip fee berkisar 20-40 persen, tergantung nilai proyeknya.
Yudo menambahkan, penanganan korupsi yang melibatkan pengurus korporasi seharusnya tidak sampai mengorbankan nasib perusahaan. Terlebih lagi jika perusahaan tersebut menjadi tumpuan hajat hidup bagi para karyawan.
“Pengadilan mestinya akan bijaksana dalam mengambil keputusan hukum terkait kasus korupsi korporasi. Kan tidak mungkin juga hakim atau pemerintah akan menanggung hidup karyawan yang perusahaannya di bubarkan karena kesalahan satu dua pengurus,” tambah pengajar di Fakultas Hukum UNS ini.
Untuk mencegah terjadinya korupsi korporasi, KPK mesti mendorong fungsi pencegahan. Terutama berkaitan dengan proses pengadaan barang yang selama ini sering menjadi pintu masuk terjadinya korupsi.
Menurut Yudo, fungsi pencegahan ini penting untuk menciptakan perubahan sistem yang koruptif tadi. Apabila sistemnya masih sama, maka perusahaan-perusahaan yang didesain untuk mengutip suap seperti milik Nazaruddin dan Andi Narogong, dalam kasus korupsi e KTP akan terus eksis.
“Yang penting diawasi itu adalah perusahaan yang didesain untuk korupsi. Karena sebaik apapun perusahaannya, akan sulit menghindari praktek korupsi jika sistemnya korup. Ini yang sebenarnya harus jadi fokus aparat penegak hukum,” tegasnya.
(pur)