Penyuap Patrialis Akbar Dituntut 11 Tahun dan 10 Tahun 6 Bulan
A
A
A
JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Direktur CV Sumber Laut Perkasa Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny, penyuap mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, masing-masing dihukum selama 11 tahun dan 10 tahun 6 bulan penjara.
Keduanya terbukti bersalah menyuap Patrialis Akbar sebesar USD50 ribu (setara Rp667,5 juta) dan menjanjikan Rp2 miliar. "Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata jaksa KPK, Lie Putra Setiawan, saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (31/7/2017).
Selain menuntut pidana penjara, jaksa juga meminta hakim mendenda Basuki dan Fenny masing-masing Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan dan Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Basuki dan Fenny dinilai jaksa terbukti menyuap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melalui Kamaludin, yang dikenal dekat dengan Patrialis Akbar. Basuki bersama-sama dengan Fenny, diduga memberikan uang sebesar USD50.000 dan sekitar Rp4 juta kepada Patrialis.
Uang diberikan kepada Patrialis dalam empat tahap masing-masing USD20.000, USD10.000, dan USD20.000 kurun September sampai Desember 2016. Selain itu, ada juga biaya kegiatan di Royale Jakarta Golf Club sejumlah Rp4.043.195.
Terakhir, Basuki dan Fenny didakwa menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah Rp2 miliar dalam bentuk SGD200.000. Dari uang suap yang diterima tersebut ada yang dipergunakan Patrialis untuk umroh senilai USD10.000.
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
"Adapun keterangan Patrialis yang menerangkan Kamaludin tidak pernah menyampaikan kepada dirinya soal Rp 2 miliar untuk mempengaruhi hakim hanya dalih karena bertentangan dengan alat bukti," ujarnya.
Jaksa menganggap meski bukan pemohon uji materi, Basuki dan Fenny memiliki kepentingan apabila uji materi tersebut dimenangkan. Misalnya, dengan dimenangkannya gugatan, maka impor daging kerbau dari India akan dihentikan.
Menurut jaksa, dengan berlakunya UU Nomor 41 Tahun 2014, pada pertengahan tahun 2016, Pemerintah telah menugaskan Bulog untuk mengimpor dan mengelola daging kerbau dari India, sehingga berakibat pada ketersediaan daging sapi dan kerbau lebih banyak dibandingkan permintaan. Kemudian, harga daging sapi dan kerbau menjadi lebih murah.
Akibat kondisi tersebut, permintaan terhadap daging sapi yang biasanya diimpor oleh terdakwa dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, lebih menurun.
Menurut jaksa, hal-hal yang memberatkan keduanya adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi. Selain itu, terdakwa tak jujur atau berbelit-belit dalam memberikan keterangan di pengadilan.
Meski begitu, jaksa juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan kedua terdakwa, yakni sopan selama pemeriksaan di persidangan dan memiliki tanggungan keluarga. Terdakwa juga belum pernah dihukum sebelumnya.
Keduanya terbukti bersalah menyuap Patrialis Akbar sebesar USD50 ribu (setara Rp667,5 juta) dan menjanjikan Rp2 miliar. "Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata jaksa KPK, Lie Putra Setiawan, saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (31/7/2017).
Selain menuntut pidana penjara, jaksa juga meminta hakim mendenda Basuki dan Fenny masing-masing Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan dan Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Basuki dan Fenny dinilai jaksa terbukti menyuap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melalui Kamaludin, yang dikenal dekat dengan Patrialis Akbar. Basuki bersama-sama dengan Fenny, diduga memberikan uang sebesar USD50.000 dan sekitar Rp4 juta kepada Patrialis.
Uang diberikan kepada Patrialis dalam empat tahap masing-masing USD20.000, USD10.000, dan USD20.000 kurun September sampai Desember 2016. Selain itu, ada juga biaya kegiatan di Royale Jakarta Golf Club sejumlah Rp4.043.195.
Terakhir, Basuki dan Fenny didakwa menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah Rp2 miliar dalam bentuk SGD200.000. Dari uang suap yang diterima tersebut ada yang dipergunakan Patrialis untuk umroh senilai USD10.000.
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
"Adapun keterangan Patrialis yang menerangkan Kamaludin tidak pernah menyampaikan kepada dirinya soal Rp 2 miliar untuk mempengaruhi hakim hanya dalih karena bertentangan dengan alat bukti," ujarnya.
Jaksa menganggap meski bukan pemohon uji materi, Basuki dan Fenny memiliki kepentingan apabila uji materi tersebut dimenangkan. Misalnya, dengan dimenangkannya gugatan, maka impor daging kerbau dari India akan dihentikan.
Menurut jaksa, dengan berlakunya UU Nomor 41 Tahun 2014, pada pertengahan tahun 2016, Pemerintah telah menugaskan Bulog untuk mengimpor dan mengelola daging kerbau dari India, sehingga berakibat pada ketersediaan daging sapi dan kerbau lebih banyak dibandingkan permintaan. Kemudian, harga daging sapi dan kerbau menjadi lebih murah.
Akibat kondisi tersebut, permintaan terhadap daging sapi yang biasanya diimpor oleh terdakwa dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, lebih menurun.
Menurut jaksa, hal-hal yang memberatkan keduanya adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi. Selain itu, terdakwa tak jujur atau berbelit-belit dalam memberikan keterangan di pengadilan.
Meski begitu, jaksa juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan kedua terdakwa, yakni sopan selama pemeriksaan di persidangan dan memiliki tanggungan keluarga. Terdakwa juga belum pernah dihukum sebelumnya.
(pur)