Pembahasan RUU Anti-Terorisme Dinilai Kurang Maksimal
A
A
A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melihat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme selama ini masih kurang maksimal dalam hal intensitas dan kefokusan pembahasan.
Apalagi dengan mekanisme pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup. ICJR masih menyayangkan pembahasan secara tertutup atas ketentuan penangkapan dan penahanan.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W Eddyono mengatakan, dalam bulan Juli 2017 terdapat dua kali rapat pembahasan, yakni pembahasan tentang Penyadapan (Pasal 31) dan tentang Perlindungan Saksi Tindak Pidana Terorisme (Pasal 32).
"Pembahasan mengenai Penyadapan belum disepakati sampai dengan 13 Juli 2017," ujarnya kepada SINDOnews, Rabu (27/7/2017).
Dikatakannya, pemerintah dan panitia kerja (Panja) masih membahas izin penyadapan, sinkronisasi dengan Pasal 302 R KUHP, Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai izin, jangka waktu atau masa penyadapan, pembatasan orang yang dapat mengakses, dan pertanggungjawaban penyadapan.
Dia menambahkan, sedangkan dalam pembahasan perlindungan saksi, pemerintah diminta untuk merekonstruksi ulang rumusan dengan memasukan alternatif metode atau bentuk-bentuk pemberian kesaksian.
Selain itu lanjut dia, terdapat penambahan pasal terkait perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 34). Menurutnya, pemerintah akan merekonstruksi ulang Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 yany tidak masuk dalam Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 dengan memberi penjelasan pola dan bentuk perlindungan bagi penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.
"ICJR meminta ke depannya agar DPR dan Pemerintah agar dapat membahas hak-hak korban tindak pidana terorisme secara komprehensif," paparnya.
Kata dia, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih minim sensitivitas terhadap penderitaan korban. "Padahal sebagian besar fraksi dalam Panja telah memuat masukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) mengenai ketentuan perlindungan korban terorisme," pungkasnya.
Apalagi dengan mekanisme pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup. ICJR masih menyayangkan pembahasan secara tertutup atas ketentuan penangkapan dan penahanan.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W Eddyono mengatakan, dalam bulan Juli 2017 terdapat dua kali rapat pembahasan, yakni pembahasan tentang Penyadapan (Pasal 31) dan tentang Perlindungan Saksi Tindak Pidana Terorisme (Pasal 32).
"Pembahasan mengenai Penyadapan belum disepakati sampai dengan 13 Juli 2017," ujarnya kepada SINDOnews, Rabu (27/7/2017).
Dikatakannya, pemerintah dan panitia kerja (Panja) masih membahas izin penyadapan, sinkronisasi dengan Pasal 302 R KUHP, Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai izin, jangka waktu atau masa penyadapan, pembatasan orang yang dapat mengakses, dan pertanggungjawaban penyadapan.
Dia menambahkan, sedangkan dalam pembahasan perlindungan saksi, pemerintah diminta untuk merekonstruksi ulang rumusan dengan memasukan alternatif metode atau bentuk-bentuk pemberian kesaksian.
Selain itu lanjut dia, terdapat penambahan pasal terkait perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 34). Menurutnya, pemerintah akan merekonstruksi ulang Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 yany tidak masuk dalam Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 dengan memberi penjelasan pola dan bentuk perlindungan bagi penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.
"ICJR meminta ke depannya agar DPR dan Pemerintah agar dapat membahas hak-hak korban tindak pidana terorisme secara komprehensif," paparnya.
Kata dia, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih minim sensitivitas terhadap penderitaan korban. "Padahal sebagian besar fraksi dalam Panja telah memuat masukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) mengenai ketentuan perlindungan korban terorisme," pungkasnya.
(maf)