Pemblokiran Medsos Akan Repotkan Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan secara matang apabila berniat untuk memblokir media sosial Facebook dan Youtube.
Pasalnya, kemungkinan besar pemblokiran dua media sosial (medsos) yang banyak digunakan di Indonesia itu akan menghadapi penolakan dari masyarakat luas.
"Perlu benar-benar dipikirkan dengan matang, mempertimbangkan betul baik, buruk, positif, negatif, maupun untung ruginya," kata pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar kepada SINDOnews, Sabtu 15 Juli 2017.
Kendati demikian, kata Idil, penekanan persoalan ini adalah bagaimana mencari cara untuk mengontrol "lalu lintas" konten di Facebook dan Youtube menyikapi kekhawatiran penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
Idil tidak setuju jika ada anggapan ancaman memblokir Facebook dan Youtube karena pemerintah panik. Dia yakin pemerintah memiliki berbagai pertimbangan tertentu. (Baca juga: Rencana Kemenkominfo Tutup Medsos Dinilai Berlebihan )
Dia yakin pemerintah memiliki sumber daya yang cukup baik untuk mengatasi kekhawatiran penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
"Itulah yang perlu diberdayakan secara optimal. Inteligent cyber saya kira juga penting dijalankan untuk mencegah informasi yang dicurigai bertentangan dengan Pancasila dan sebagainya," ujarnya.
Namun, Idil menegaskan pemerintah harus benar-benar melakukan banyak pertimbangan sebelum memblokir medsos. Menurut dia, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes penutupan medsos yang justru akan merepotkan pemerintah.
"Menutup walau menjadi jalan keluar tapi sementara karena kemungkinan besar akan ditentang oleh publik. Jangan lupakan bahwa Indonesia merupakan salah pengguna (Facebook dan Youtube-red) terbanyak di dunia," ucapnya.
Seperti diketahui, pemerintah mengancam memblokir medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga YouTube jika tidak menutup akun-akun bermuatan radikalisme.
Saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah meminta internet service provider (ISP) untuk memutus akses 11 domain name system (DNS) milik Telegram.
“Permintaan kami pada platform untuk menutup akun-akun yang memiliki muatan radikalisme, sepanjang 2016 hingga 2017 baru 50% dipenuhi. Ini sangat mengecewakan,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara usai acara antiradikalisme di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat 14 Juli 2017.
Rudiantara meminta agar medsos-medsos itu memenuhi permintaan pemerintah Indonesia. Jika tidak, pihaknya akan mempertimbangkan untuk menutup platform tersebut.
Dia menjelaskan, platformtersebut enggan menutup akun karena di negara asalnya harus melalui proses pengadilan. “Tapi mereka ke sini kan karena bisnis. Iklan-iklan juga dari sini. Oleh karenanya, perlu mematuhi peraturan yang ada di sini,” paparnya.
Kementeriannya, lanjut Rudiantara, telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme. Cara yang dilakukan dengan penutupan situs dan pemblokiran akun di medsos. Dalam pemblokiran akun di medsos ini perlu melibatkan platform tersebut.
“Kami harus bergerak cepat, kami tidak ingin masyarakat terpapar dengan konten-konten radikalisme,” ujar dia.
Rudi meminta maaf jika nanti pihaknya terpaksa menutup media sosial. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta para rektor untuk memperhatikan aktivitas setiap komponen kampus.
Pasalnya, kemungkinan besar pemblokiran dua media sosial (medsos) yang banyak digunakan di Indonesia itu akan menghadapi penolakan dari masyarakat luas.
"Perlu benar-benar dipikirkan dengan matang, mempertimbangkan betul baik, buruk, positif, negatif, maupun untung ruginya," kata pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar kepada SINDOnews, Sabtu 15 Juli 2017.
Kendati demikian, kata Idil, penekanan persoalan ini adalah bagaimana mencari cara untuk mengontrol "lalu lintas" konten di Facebook dan Youtube menyikapi kekhawatiran penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
Idil tidak setuju jika ada anggapan ancaman memblokir Facebook dan Youtube karena pemerintah panik. Dia yakin pemerintah memiliki berbagai pertimbangan tertentu. (Baca juga: Rencana Kemenkominfo Tutup Medsos Dinilai Berlebihan )
Dia yakin pemerintah memiliki sumber daya yang cukup baik untuk mengatasi kekhawatiran penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
"Itulah yang perlu diberdayakan secara optimal. Inteligent cyber saya kira juga penting dijalankan untuk mencegah informasi yang dicurigai bertentangan dengan Pancasila dan sebagainya," ujarnya.
Namun, Idil menegaskan pemerintah harus benar-benar melakukan banyak pertimbangan sebelum memblokir medsos. Menurut dia, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes penutupan medsos yang justru akan merepotkan pemerintah.
"Menutup walau menjadi jalan keluar tapi sementara karena kemungkinan besar akan ditentang oleh publik. Jangan lupakan bahwa Indonesia merupakan salah pengguna (Facebook dan Youtube-red) terbanyak di dunia," ucapnya.
Seperti diketahui, pemerintah mengancam memblokir medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga YouTube jika tidak menutup akun-akun bermuatan radikalisme.
Saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah meminta internet service provider (ISP) untuk memutus akses 11 domain name system (DNS) milik Telegram.
“Permintaan kami pada platform untuk menutup akun-akun yang memiliki muatan radikalisme, sepanjang 2016 hingga 2017 baru 50% dipenuhi. Ini sangat mengecewakan,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara usai acara antiradikalisme di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat 14 Juli 2017.
Rudiantara meminta agar medsos-medsos itu memenuhi permintaan pemerintah Indonesia. Jika tidak, pihaknya akan mempertimbangkan untuk menutup platform tersebut.
Dia menjelaskan, platformtersebut enggan menutup akun karena di negara asalnya harus melalui proses pengadilan. “Tapi mereka ke sini kan karena bisnis. Iklan-iklan juga dari sini. Oleh karenanya, perlu mematuhi peraturan yang ada di sini,” paparnya.
Kementeriannya, lanjut Rudiantara, telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme. Cara yang dilakukan dengan penutupan situs dan pemblokiran akun di medsos. Dalam pemblokiran akun di medsos ini perlu melibatkan platform tersebut.
“Kami harus bergerak cepat, kami tidak ingin masyarakat terpapar dengan konten-konten radikalisme,” ujar dia.
Rudi meminta maaf jika nanti pihaknya terpaksa menutup media sosial. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta para rektor untuk memperhatikan aktivitas setiap komponen kampus.
(dam)