Puasa dan Silaturahmi

Selasa, 20 Juni 2017 - 05:33 WIB
Puasa dan Silaturahmi
Puasa dan Silaturahmi
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

MESTINYA puasa mengeratkan silaturahmi vertikal maupun horizontal. Hubungan sesama menjadi akrab dan menjauhkannya dari sejumlah sakwasangka yang meretakkan persaudaraan. Yang miskin menjadi senang karena dapat disantuni orang kaya melalui zakat, infak dan sedekah (ZIS).

Yang kaya menjadi nyaman karena kriminalitas menjadi rendah mengingat yang kecil merasa wajib mengawal kehidupan yang kaya dari gangguan kejahatan dari pihak mana pun. Akibatnya keharmonisan sosial terjalin dengan baik akibat satu dengan lainnya merasa membutuhkan kehadirannya.

Jika kenyamanan hidup terbangun, bisa jadi tugas pemerintah menjadi lebih ringan. Kejahatan menyusut karena penjahat yang disebabkan kelaparan dan rendahnya kepedulian diubah oleh semangat puasa. Oleh sebab itu puasa menjadi media perenungan bagi muslimin agar kehidupan kolektifnya menjadi lebih baik.

Bisa jadi secara pribadi banyak yang telah memadai dan bergelimangan harta, tetapi di sekelilingnya masih bertebaran yang justru mengharapkan perhatian sesama. Atau mungkin banyaknya yang miskin lantaran kepedulian pihak yang berkompeten rendah dan justru mengeruk peruntukan bagi mereka untuk memperkaya dirinya.

Silaturahmi dapat dimaknai sebagai fungsi kepedulian yang bertumpu pada tiga pilar. Pertama, saling mencerdaskan (asah). Membagi informasi ataupun ilmu antarsesama menjadi penting. Di dalamnya termasuk watawa saubilhaq dan watawa saubisobr. Dengan cara ini masing-masing diingatkan agar hidup lebih cerdas serta berguna bagi sesama.

Upaya ini akan meningkatkan kualitas hidup sesama muslim sehingga tidak mudah diprovokasi pihak lain untuk kepentingan mereka. Bahkan lahirlah sikap skeptis yang menggali informasi secara kritis dan dianalisis sebelum dipercaya kebenarannya.

Dengan banyaknya media sosial dan kemudahan akses informasi yang semakin terbuka, bisa jadi ada penyusupan yang memanfaatkan sejumlah media tersebut untuk memenuhi syahwat serakah serta mengoyak persaudaraan. Bisa jadi sejumlah kepentingannya disusupkan dalam bingkai yang manis dan menggiurkan agar mudah dipercaya banyak orang.

Dengan saling mengingatkan pada jalan yang benar, kecermatan diperlukan agar tidak terjebak fitnah dan suuzan kepada siapa pun. Mata batinnya perlu dipertajam dengan baik sehingga puasa yang ditekuni dengan baik bisa mempertajamnya agar tidak mudah dikelabui.
Kedua, saling mengasihi (asih). Pilar ini mengajarkan agar tiap pihak tidak dieksploitasi untuk kepentingannya.

Politisi tidak memanfaatkan sesama untuk membangun citra dirinya agar bersinar untuk kemudian dilupakan. Birokrat tidak mengeksploitasi publik sehingga keluar dana tambahan untuk dapat menerima pelayanan prima. Lahirnya suap dan pungli menunjukkan bahwa rasa asih belum terbangun dengan baik. Demikian halnya membesarnya praktik korupsi juga akibat jabatan tidak disikapi sebagai amanah untuk mengasihi bangsa dan negaranya.

Praktik masih diwujudkan dengan ikhlas dalam menunaikan tugasnya serta menjauhkan pamrih. Bila keasihan seperti itu mengalir, praktik sesat bisa berkurang pasca-Ramadan.
Asih juga melahirkan semangat berkorban untuk sesama. Pengorbanan tersebut meniadakan praktik kolusi ataupun manipulasi.

Pejabat menjadi amanah serta menjauh dari khianat, politisi menjadi tulus menggantikan kebulusannya, dan pelayan publik tidak lagi culas. Dengan iklim ini, semua berani berkorban untuk bangsanya sehingga alokasi anggaran untuk pembangunan tidak ada yang susut akibat "jatah preman" (japrem) yang senantiasa dimintakan oleh pemberi pekerjaan. Semua dilakukan dengan kecintaannya pada negeri dan kehidupan yang lebih baik bangsa ini di kemudian hari.

Ketiga, saling memperhatikan dan memantau (asuh). Rusaknya kehidupan senantiasa berkaitan dengan tiadanya kepedulian dan keinginan untuk saling mengasuh. Egoisme sektoral yang kencang dalam praktik kebirokrasian menunjukkan tidak adanya semangat untuk saling memerhatikan dan tidak ingin diperhatikan.

Dampaknya masing-masing berjalan sendiri dan tidak mau dikoordinasikan dalam pekerjaannya. Upaya ini menjadi lebih sulit tatkala aktornya memiliki bargaining dengan koordinator secara setara. Tidak mengherankan bila menteri juga sulit dikendalikan Presiden ketika dirinya merasa berjasa mengantarkan dia ke kursi kepresidenan.

Di sisi lainnya, kesesatan dalam menjalankan tugasnya juga akibat telinganya tidak mendengarkan suara asuh yang didasari asih. Bila demikian adanya, kehidupan berbangsa dan bernegara bisa bergeser menjadi rebutan aset dan bancakan hasil untuk kepentingan diri, kelompok dan juga golongan.

Praktik ini memperbesar kerenggangan hubungan serta membentuk saling curiga dengan sesama. Bila demikian halnya, bisa lahir raja-raja kecil yang tidak mau diasuh pemerintah dan negara, sehingga memperlemah kekuatan institusi pemerintah yang dianggap sebagai superbody.

Kolaborasi

Bila slogan bersama kita bisa, maka memperbaiki pun bisa demikian adanya. Keber­samaan diperlukan untuk mengubah kebutuhan agar bisa menguatkan nilai seperti Dananjaya (1986) tuturkan. Penghayatan terhadap nilai kepedulian patut direnungi secara kompak oleh para elite negeri, agama, budaya serta kalangan intelektual.

Seluruhnya perlu berkolaborasi untuk menggali nilai penting dengan pikiran jernih dan hati yang tenang. Di dalamnya juga diupayakan upaya yang cerdas agar perubahan dapat dilaku­kan sehingga kerukunan dalam wadah NKRI dapat dikokohkan. Untuk itulah saling menghargai pendapat sesama men­jadi penting agar tidak lahir apriori yang kemudian melahirkan permusuhan.

Ketika sesama elite sudah mulai rukun dan mesra, dengan tanggung jawab sosialnya semua diarahkan pada nilai yang dianut anak bangsa ini. Dengan bertahap, sistematis, dan konsisten, perubahan dapat terjadi sesuai dengan skenario bersama untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk itulah para elite dituntut memberikan teladan dalam hidup di mana pun berada.

Kesantunan terhadap sesama serta memperlakukan bijak orang lain akan ditonton untuk kemudian menjadi tuntunan para pengikutnya. Dengan demikian, keseimbangan hubungan antara hablum minallaha dengan hablum minannas dapat diwujudkan agar kepedulian sesama dapat ditumbuhkembangkan.

Boleh jadi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) pun lahir akibat penghayatan dan teladan dalam pengalaman hidup di negeri ini mulai memudar. Dampaknya, kebersamaan sudah mulai melepuh, dan itu berarti silaturahmi mulai memudar.

Waktu yang tepat bila bulan puasa dijadikan media untuk mempererat silaturahmi menganyam kasih sayang dengan sesama. Sebagai rahmatan lil alamin, muslim patut menjadi garda terdepan untuk meneladani praktik silaturhami agar negeri ini terbebas dari beragam penyakit yang membahayakan kehidupan bersamanya. Semoga!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0492 seconds (0.1#10.140)