Catatan HRWG Sikapi Kunjungan Raja Salman di Indonesia

Rabu, 01 Maret 2017 - 16:38 WIB
Catatan HRWG Sikapi Kunjungan Raja Salman di Indonesia
Catatan HRWG Sikapi Kunjungan Raja Salman di Indonesia
A A A
JAKARTA - Human Rights Working Group (HRWG) menilai penyambutan kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud ke Indonesia terlalu berlebihan.

Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz menilai sambutan terhadap Raja Salman tidak sebanding dengan isi sepuluh nota kesepakatan kedua negara yang lebih menekankan kerja sama ekonomi, perdagangan, kesehatan, dan kebudayaan.

Dari kesepuluh nota kesepahaman yang akan ditandatangani Raja Salman itu, kata Hafiz, tak satupun menyinggung soal peningkatan kualitas demokrasi dalam konteks Islam dan HAM, khususnya untuk perlindungan hak-hak buruh migran.

"Permasalahan buruh migran Indonesia di Arab Saudi menjadi aspek diplomatik yang belum pernah selesai hingga sekarang," ucap Hafiz melalui keterangan pers, Rabu (1/3/2017). (Baca Juga: Kenakan Mislah Cokelat, Raja Salman Tiba di Indonesia )

Hafiz menuturkan, ragam perundingan bilateral dan upaya penguatan perjanjian terkait buruh migran telah dilakukan. Kendati demikian buruh migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor domestik, tetap berada dalam situasi yang sangat rentan terhadap pelanggaran.

Menurut catatan HRWG dan sejumlah serikat buruh migran di Indonesia, ada beberapa kasus yang menguat di Arab Saudi terkait perlindungan buruh migran.

Pertama, pemerintah Indonesia telah melakukan moratorium penempatan buruh migran sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi. Moratorium dilakukan berdasarkan atas keputusan Kementerian Ketenagakerjaan.

Namun, kata dia, pada praktiknya penempatan terus dilakukan secara tidak sah dengan modus bekerja di sektor formal.

Kedua, sistem kerja kontrak jangka pendek dan pemotongan gaji bagi PRT. Menurut dia, pada praktiknya saat ini pihak agency di Arab Saudi menjual kontrak kerja buruh migran kepada majikan secara perorangan selama tiga hingga 12 bulan. Bahkan, kata dia, agency memotong separuh gaji yang seharusnya diterima PRT dari majikan.

Ketiga, kasus lain yang menguat di Arab Saudi adalah pelarangan pulang TKI oleh majikan. Modus ini dilakukan dengan menahan passpor dan penutupan akses TKI termasuk ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Menurut data yang dihimpun oleh Serikat Buruh Migran Indonesia, kata Hafiz, saat ini setidaknya terdapat 124 kasus buruh migran di Arab Saudi yang dilarang pulang oleh majikan.

Keempat, menguatnya kasus-kasus yang kriminalisasi buruh migran di Arab Saudi. Seperti yang dialami Rusmini Wati dari Indramayu yang dituduh melakukan sihir terhadap majikan perempuannya.

"Setelah melakukan banding, Rusmini dipidana 12 tahun setelah sebelumnya divonis hukuman mati," ucap Hafiz.

Kelima, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak oleh perusahaan di Arab Saudi. Dia mencontohkan PHK massal karyawan perusahaan Bin Laden Group yang bangkrut.

Bangkrutnya perusahaan Bin Laden menyebabkan sebanyak 11.743 WNI yang bekerja di sektor infrastruktur dan bangunan kehilangan pekerjaan.

HRWG memandang permasalahan buruh migran Indonesia di luar negeri, termasuk di Arab Saudi merupakan permasalahan bilateral dan global yang harus diselesaikan pada tingkat high-level diplomacy yang melibatkan kepala negara kedua negara.

"Dalam kondisi saat ini Arab Saudi yang berkepentingan untuk menanamkan modal asingnya di Indonesia seharusnya dapat dijadikan jalan masuk bagi Pemerintah Indonesia untuk meminta Arab Saudi melindungi buruh migran Indonesia," tutur Hafiz.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5227 seconds (0.1#10.140)