Perempuan Korban Kekerasan Masih Sulit Dapat Keadilan

Minggu, 22 Januari 2017 - 14:53 WIB
Perempuan Korban Kekerasan Masih Sulit Dapat Keadilan
Perempuan Korban Kekerasan Masih Sulit Dapat Keadilan
A A A
JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta mencatat, sepanjang 2016 terdapat peningkatan pengaduan masyarakat dari dua tahun sebelumnya.

Pada 2014 sebanyak 709 kasus, tahun 2015 sebanyak 573 kasus, serta tahun 2016 sebanyak 854 kasus.

Peningkatan pengaduan selama kurun waktu dua tahun dapat dimaknai sebagai semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan.

“Meningkatnya pengaduan masyarakat tersebut, LBH APIK meresponsnya dengan upaya memastikan proses hukum sehingga dapat memenuhi keadilan bagi perempuan korban,” kata staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Ahmad Luthfi Firdaus dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Minggu (22/1/2017).

Luthfi mencatat ada beberapa jenis kasus yang masuk ke LBH APIK Jakarta, yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 304 kasus (35,60%), kekerasan dalam pacaran (KDP) 23 kasus (2,69%), kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual 28 kasus (3,28%),

Kemudian pidana umum yang meliputi pencurian, penggelapan, penganiayaan, pembunuhan, dan pencemaran nama baik 33 kasus (3,86%), perdata keluarga meliputi waris, hak asuh anak, nafkah anak pasca putus cerai, idah dan mutah, serta harta bersama 98 kasus (11,04%).

Pemutusan hubungan kerja (PHK) 6 kasus (0,70%), perdata umum meliputi wanprestasi, PMH, utang piutang 25 kasus (2,93%), pelanggaran hak dasar 309 kasus (36,18%), lain-lain, maksudnya di luar klasifikasi kasus LBH APIK 24 kasus, dan trafficking 4 kasus (0,47%).

Menurut Luthfi, meskipun telah terjadi peningkatan kesadaran tentang bahaya kekerasan terhadap perempuan, namun pada praktiknya para perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual masih menemui berbagai kendala dalam pemenuhan hak korban, mulai dari tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan.

“Kondisi ini mengakibatkan korban enggan memproses kasusnya karena korban sudah patah arang dan putus asa serta tidak percaya dengan proses hukum,” ujar Luthfi.

Dia mengatakan, dari aspek penegakan hukum, seringkali aparat penegak hukum tidak melakukan penahanan terhadap pelaku kejahatan seksual sehingga kasus tersebut tidak dapat diproses di pengadilan karena pelaku telah melarikan diri.

Aapabila diproses pun, kata dia, membutuhkan waktu lama. Keadaan ini, sambung dia, memberikan tekanan sangat besar kepada korban, khususnya korban anak karena upaya pemulihan trauma tidak bisa dilakukan dengan maksimal.

“Dalam konteks inilah LBH APIK Jakarta menuntut pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukum mewujudkan sistem peradilan yang sensitif gender,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4609 seconds (0.1#10.140)