Masuk Jebakan, Peneliti Diintai Sejak di Jayapura
A
A
A
PADA suatu malam di Kamp 3, sebelum kedatangan Panglima Tertinggi GPK/OPM Kelly Kwalik, Yudas Kogoya berkata,” Dengarkan, saya bicara sebelum bos (Kelly Kwalik-red) datang. Dia orangnya keras, tidak banyak bicara tapi bisa bunuh orang dengan mudah karena pengalaman buruknya. Kelly Kwalik dari Tembagapura.
Saat ada kerusuhan keluarganya dibantai tentara. Kelly Kwalik lihat lalu lari. ABRI berondong anak-anaknya, istrinya, saudaranya. Pengalaman itu membekas buat dia. Dia dendam. Kelly Kwalik kasar, bisa bunuh siapa saja. Dia datang, dia akan periksa kamu,” ingat Yudas.
Navy mengingatkan Yudas, ”Coba kamu bilang sama Kelly, dia tidak pantas bunuh kami. Kami tidak pantas diberlakukan begini. Kami bukan orang politik. Kami orang biasa,” pinta Navy.
Mendengar itu, Yudas marah besar. Matanya melotot. “Ini perjuangan kami. Sungguh-sunguh. Jangan kamu anggap main-main,” ingat Yudas. “Kelly punya suku Amungme, kenyang semua kekerasan. Kekerasan seks, kriminal. Mereka brutal, siap balas,” ingat Yudas lagi.
Sandera perempuan pun terteror. Bayangan perkosaan langsung menghantui mereka. Tak terkecuali Adinda. Membayangkan itu Adinda justru tidak takut mati. Tapi, malah takut diperkosa.
“Lebih baik langsung mati daripada menderita karena diperkosa,” batin Adinda. “Bagaimana kalau saya sampai diperkosa, Vy (Navy,-red),” tanya Adinda berterus terang.
Navy memegang tangan Adinda erat sambil menatap matanya. “Walaupun kamu sampai diperkosa, itu bukan masalah bagi saya. Saya tetap menikahi kamu, memperistri kamu,” aku Navy.
Kedatangan Kelly Kwalik disambut penghormatan militer oleh pasukan yang dipimpin Yudas, Silas dan Titus. Aku nyaris terbahak dengan cara mereka memberi hormat karena tidak seragam.
Tangan yang ditempelkan ke kening ada yang menceng ke kiri, kanan dan tidak beraturan. Begitu juga pakaian mereka acak-acakan. Sebagaian tanpa sepatu, senjatanya pun jaman model batu.
Wajah Kelly sendiri belum terlihat jelas karena kulitnya hitam ditambah hutan lebat yang tidak bisa tembus mentari meski siang hari. Jadi, suasananya agak gelap meski siang. Tapi, ancer-ancernya tinggi sekitar 170 cm, hidung besar agak mancung, memakai kaos biru, celana pendek putih, sepatu kets layaknya mau main tenes.
Sorot matanya tajam dan dingin. Ciri khas lainnya memakai bulu kus-kus yang ditempel di dahinya. Kelly datang ke kamp 3 bersama 50 pasukannya. Pakaianya tidak seragam, umummya mengenakan celana pendek, sebagaian masih berkoteka. Kelly memandang satu per satu sandera. Lalu, duduk dan menginterogasi.
Pertama, Navy yang langsung menyebut namanya, asal daerah dan tujuan datang ke Irian Jaya. Tiba-tiba Kelly memotong. “Kamu dari suku mana?” tanyanya. Navy mengaku dari Manado.
Lebih lanjut Kelly Kwalik melontarkan pertanyaan pada Navy, “Kamu percaya kematian di tangan siapa” Tanya Kelly. Dari belakang kami melihat Yudas Kogoya menunjuk-nunjuk Kelly Kwalik. Kami tahu Yudas menyuruh kami mengatakan, kematian ada di tangan Kelly Kwalik, seperti Raja Fir’aun yang memper-Tuhan dirinya dan menganggap kematian atau nyawa orang lain berada di tangannya.
Tapi, Navy tegas mengatakan, “Kematian kami ada di tangan Tuhan, saya percaya,” aku Navy. Kelly berkomentar,” Ooo, berarti bukan di tangan saya. Untung kamu jawab di tangan Tuhan. Jadi, kamu percaya Tuhan,” tanya Kelly Kwalik lagi. “Ya, saya percaya pada Tuhan,” tandas Navy.
Tiba giliran Adinda meski kedua orang tuanya berasal dari Jatim, Adinda mengaku ibunya dari Ambon karena Kelly Kwalik benci orang Jawa. Itu dimaksudkan untuk mengelabuhi Kelly dan mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. “Nama saya Adinda. Ibu saya dari Ambon, bapak saya dari Jawa,”. Rupanya Kelly tidak puas. “Apa nama belakang ibu kamu,” tanya balik Kelly.
“Manuputti,”. Kelihatannya Kelly tahu kalau aku berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Kelly pun menandaskan. “Yang pasti kamu orang Jawa bukan Ambon”.
Syukurlah Kelly tidak memperpanjang masalah itu karena segera menginterogasi sandera asing.
Tak lama Kelly pergi dengan pasukannya yang kini menjadi 100 orang. Kelly membangun pondok terpisah sejauh dua kilometer dari pasukan yang mengawal sandera.
Beberapa kali Adinda mendengarkan pembicaraan antara Kelly Kwalik, Navy dan Mark. Dari situ diketahui Kelly paranoid pada tentara. Kelly sangat takut, benci, dendam dan curiga pada tentara. Kelly menyinggung kasus Hoya di mana ABRI kata Kelly, membunuh beberapa orang. Sanak keluarganya di Tembagapura juga dihabisi ABRI.
Kelly pun menakut-nakuti sandera Indonesia dengan ancaman. “Saya akan mudah bunuh seperti suku kami dibuat tentara. Kamu tahu cerita Hoya, Tembagapura, Tsinga? Seperti itu bisa terjadi padamu.
Kalau Indonesia tidak buat kami merdeka, kami bantai kamu. Tapi, oke saya tungu apa yang mau Indonesia buat, yang ABRI buat. Kalau tidak ada tumpah darah kamu (sandera,-red) bisa pulang hidup-hidup,” kata Kelly Kwalik. Kelly menambahkan, “Sandera itu kunci, buka pintu untuk OPM merdeka. Jembatan Palang Merah Internasional,” ujarnya.
Pendeknya, setiap Kelly berbicara maka yang dikatakan,” Indonesia harus kasih merdeka OPM, atau “Kita tunggu Indonesia mau kasih kita merdeka”. Kalimat itu terus diulang dan tidak ada dialog. Kelly memakai kaidah bahasa Indonesia yang rancu. Kalimatnya kacau hingga kadang sulit dimengerti. Tapi, Kelly menguasai berbahasa suku lokal. Antara lain Ndunga, Amungme dan Dani hingga Kelly bisa menyatukan anak buahnya yang terdiri dari ketiga suku tadi.
Sedangkan antar suku tidak saling paham bahasa mereka. Hingga komunikasi antara ketiga suku tadi menggunakan bahasa Indonesia. Meski dianggap Panglima Tertinggi GPK/OPM namun pemikiran Kelly berbau mistis karena percaya mitos. “Saya sandera kamu karena mimpi. Uskup bilang dalam mimpi, tahun 1996 Papua Barat Merdeka. Tuhan mengirim kamu. Kamu (sandera,-red) kunci Papua merdeka,” ujar Kelly.
Mendengar itu Mark suatu ketika berujar, ”Kita prihatin dengan masa depan Irian Jaya. Tapi, tidak menaruh minat pada aspirasi politik mereka. Tuntutan dari OPM tidak realistis dan perjuangan mereka hampa tanpa harapan,” ujar Mark geram.
“Saya frustasi dengan logika mereka yang sulit diduga,” tambah Bill tidak kalah geram. “Mereka (OPM,-red) punya peta pemikiran lain. Untuk membuat keputusan kita memerlukan data dan logika. Sedangkan mereka tidak menggunakannya.
Segala sesuatu didasarkan pada perasaan, mimpi, firasat, atau tanda-tanda dari suatu hari dan semuanya berada di tangan Tuhan,” tambahnya. “Kita menjadi bidak bidak dalam suatu permainan politik maut untuk kemerdekaan orang Papua,” ujar Annette bersunggut-sunggut.
Wakil Panglima GPK/OPM yang tidak diketahui namanya juga kerap mengulang pernyataan bahwa sandera kunci kemerdekaan Papua. Dia menjelaskan, “Nanti sore OPM buka hubungan radio dengan Uskup Herman Muninghof. Juga Pendeta Paul Buchart, Pendeta Yohannes Gobay, dan pendeta Van der Bijl,” ujarn si Wakil penglima OPM tadi.
Kelly kenal Herman Muninghopf karena pernah dapat bimbingan. Hubungan dengan para pendeta dan misionaris dimaksudkan untuk negosiasi pelepasan sandera. Mula-mula OPM minta pesawat tapi tidak mau ditukar sandera.
Herman minta perbekalan ditukar dengan sandera yang sakit. OPM menolak. Herman minta wanita dan anak-anak dibebaskan lebih dulu. Tapi, Kelly menolak. OPM minta merdeka sebagai persyaratan sandera dilepas. “Terserah sandera mati. Tidak peduli,” kata Kelly. Akhirnya, Herman Moninghof dkk mengundurkan diri sebagai negosiator karena tidak sanggup menghadapi tuntutan OPM.
Kembali ke Wakil Panglima OPM. Orangnya nyinyir. Itu berbeda dengan Kely Kwalik yang irit bicara dan ngomong seperlunya. Si Wakil Panglima terus menekan sandera dengan menyuruh membuat surat yang ditujukan kepada berbagai organisasi. Baik lokal maupun internasional termasuk Pemkab Irian Jaya. Navy dan Adinda menjadi langganan membuat surat. Isinya beragam, minta kiriman sembako, rokok.
Suatu ketika, Yudas Kogoya mengumpulkan para sandera. Dia berdiri di tengah sandera seraya menyandang senjata M 16. “Kamu (sandera-red) itu masuk jebakan pertama, jebakan kedua dan jebakan ketiga,” ujar Yudas dengan nada mengejek. “Apa maksudnya masuk jebakan,” tanya sandera bersamaan. “Saya sudah tahu bulan Oktober 1995 kamu mau datang ke Irian Jaya. Saya sandera kamu rencana November,” ujar Yudas.
Kami para sandera terkejut dari mana mereka tahu. Sebab, mereka umumnya tinggal di hutan. Hubungan para peneliti pun terbatas pada instansi resmi. Navy mengajukan pertanyaan. “Bagaimana kamu tahu kami akan ke sini (Irian-red),” tanyanya. “Kami baca proposal kamu,” kata Yudas tertawa penuh kemenangan.
Proposal? Proposal pengajuan penelitian memang sudah masuk sejak bulan Agustus 1995 pada beberapa instansi resmi Pemkab Irian Jaya. Bagaimana bisa jatuh ke tangan OPM? Ini yang tidak terjawab.
“Kamu tidak pergi karena surat belum jadi, batal waktunya,” Yudas juga mengaku tahu. “Waktu kamu masuk Jayapura itu jebakan pertama. Kamu sampai hari pertama, saya juga tahu,” aku Yudas.
Tidak heran Yudas langsung mengenali kami, pikirku, sebab empat WNI dan warga asing kulit putih itu rombongan besar. Cukup mencolok. “Kamu masuk jebakan kedua setelah tiba di Wamena. Kamu itu bodoh. Saya tahu kamu di Wamena, saya terbang ke Wamema, kantor SPAT LIPI,” aku Yudas bangga.
Para sandera kaget. Kantor SPAT LIPI? Ada siapa di situ. “Kamu masuk Mapnduma, lebih bodoh lagi, masuk jebakan ketiga,” tambah Yudas. Dengan bangga Yudas bilang,” ini rencana dan strategi saya susun bersama Kelly Kwalik.
Sebelumnya, tidak ada rencana. Ada proposal baru ada rencana penyenderaan,” tukas Yudas. Jadi, kami para sandera sudah dimata-matai sejak awal kedatangan ke Irian Jaya. Mereka sudah berada di sekeling sandera sejak Desember 1995 dengan menyamar sebagai porter, guide local para peneliti tanpa disadari, dicurigai, kehadirannya.
Kami jadi terpukul dipecundangi sedemikian rupa. Padahal, selama ini para peneliti memperlakukan mereka (anggota OPM-red) dengan baik. Tapi, sekarang para peneliti dijadikan tameng untuk menuntut kemerdekaan.
“Kenapa kamu menyandera kami, para peneliti,” tanya Matheis. “Karena tim kamu ada warga asing tambah tim WWF, ada warga Belanda, Jerman. Jadi, sandera ada empat negara. Jerman, Belanda, Inggris dan Indonesia.
Kami sandera tiga warga asing pasti ada perhatian tiga negara. Saya pikir pasti ada berita. Publikasi besar,” ujar Yudas tertawa. Para sandera terhenyak. “Kami sandera orang Indonesia tidak ada berita. Berkali-kali tidak ada hasil. Sekarang tunggu dari Paus, dari PBB dari John Mayor (PM Inggris saat itu) Bill Clinton (Presiden Amerika saat itu). Dan, kami mau Marta (sandera dari UNESCO) punya anak lahir di sini (Irian-red),” ucap Yudas.
Kami, para sandera geleng-geleng kepala mendengar ocehan Yudas. Dan mimpi-mimpinya. Para sandera adalah korban mimpi OPM di siang bolong itu.
Saat ada kerusuhan keluarganya dibantai tentara. Kelly Kwalik lihat lalu lari. ABRI berondong anak-anaknya, istrinya, saudaranya. Pengalaman itu membekas buat dia. Dia dendam. Kelly Kwalik kasar, bisa bunuh siapa saja. Dia datang, dia akan periksa kamu,” ingat Yudas.
Navy mengingatkan Yudas, ”Coba kamu bilang sama Kelly, dia tidak pantas bunuh kami. Kami tidak pantas diberlakukan begini. Kami bukan orang politik. Kami orang biasa,” pinta Navy.
Mendengar itu, Yudas marah besar. Matanya melotot. “Ini perjuangan kami. Sungguh-sunguh. Jangan kamu anggap main-main,” ingat Yudas. “Kelly punya suku Amungme, kenyang semua kekerasan. Kekerasan seks, kriminal. Mereka brutal, siap balas,” ingat Yudas lagi.
Sandera perempuan pun terteror. Bayangan perkosaan langsung menghantui mereka. Tak terkecuali Adinda. Membayangkan itu Adinda justru tidak takut mati. Tapi, malah takut diperkosa.
“Lebih baik langsung mati daripada menderita karena diperkosa,” batin Adinda. “Bagaimana kalau saya sampai diperkosa, Vy (Navy,-red),” tanya Adinda berterus terang.
Navy memegang tangan Adinda erat sambil menatap matanya. “Walaupun kamu sampai diperkosa, itu bukan masalah bagi saya. Saya tetap menikahi kamu, memperistri kamu,” aku Navy.
Kedatangan Kelly Kwalik disambut penghormatan militer oleh pasukan yang dipimpin Yudas, Silas dan Titus. Aku nyaris terbahak dengan cara mereka memberi hormat karena tidak seragam.
Tangan yang ditempelkan ke kening ada yang menceng ke kiri, kanan dan tidak beraturan. Begitu juga pakaian mereka acak-acakan. Sebagaian tanpa sepatu, senjatanya pun jaman model batu.
Wajah Kelly sendiri belum terlihat jelas karena kulitnya hitam ditambah hutan lebat yang tidak bisa tembus mentari meski siang hari. Jadi, suasananya agak gelap meski siang. Tapi, ancer-ancernya tinggi sekitar 170 cm, hidung besar agak mancung, memakai kaos biru, celana pendek putih, sepatu kets layaknya mau main tenes.
Sorot matanya tajam dan dingin. Ciri khas lainnya memakai bulu kus-kus yang ditempel di dahinya. Kelly datang ke kamp 3 bersama 50 pasukannya. Pakaianya tidak seragam, umummya mengenakan celana pendek, sebagaian masih berkoteka. Kelly memandang satu per satu sandera. Lalu, duduk dan menginterogasi.
Pertama, Navy yang langsung menyebut namanya, asal daerah dan tujuan datang ke Irian Jaya. Tiba-tiba Kelly memotong. “Kamu dari suku mana?” tanyanya. Navy mengaku dari Manado.
Lebih lanjut Kelly Kwalik melontarkan pertanyaan pada Navy, “Kamu percaya kematian di tangan siapa” Tanya Kelly. Dari belakang kami melihat Yudas Kogoya menunjuk-nunjuk Kelly Kwalik. Kami tahu Yudas menyuruh kami mengatakan, kematian ada di tangan Kelly Kwalik, seperti Raja Fir’aun yang memper-Tuhan dirinya dan menganggap kematian atau nyawa orang lain berada di tangannya.
Tapi, Navy tegas mengatakan, “Kematian kami ada di tangan Tuhan, saya percaya,” aku Navy. Kelly berkomentar,” Ooo, berarti bukan di tangan saya. Untung kamu jawab di tangan Tuhan. Jadi, kamu percaya Tuhan,” tanya Kelly Kwalik lagi. “Ya, saya percaya pada Tuhan,” tandas Navy.
Tiba giliran Adinda meski kedua orang tuanya berasal dari Jatim, Adinda mengaku ibunya dari Ambon karena Kelly Kwalik benci orang Jawa. Itu dimaksudkan untuk mengelabuhi Kelly dan mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. “Nama saya Adinda. Ibu saya dari Ambon, bapak saya dari Jawa,”. Rupanya Kelly tidak puas. “Apa nama belakang ibu kamu,” tanya balik Kelly.
“Manuputti,”. Kelihatannya Kelly tahu kalau aku berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Kelly pun menandaskan. “Yang pasti kamu orang Jawa bukan Ambon”.
Syukurlah Kelly tidak memperpanjang masalah itu karena segera menginterogasi sandera asing.
Tak lama Kelly pergi dengan pasukannya yang kini menjadi 100 orang. Kelly membangun pondok terpisah sejauh dua kilometer dari pasukan yang mengawal sandera.
Beberapa kali Adinda mendengarkan pembicaraan antara Kelly Kwalik, Navy dan Mark. Dari situ diketahui Kelly paranoid pada tentara. Kelly sangat takut, benci, dendam dan curiga pada tentara. Kelly menyinggung kasus Hoya di mana ABRI kata Kelly, membunuh beberapa orang. Sanak keluarganya di Tembagapura juga dihabisi ABRI.
Kelly pun menakut-nakuti sandera Indonesia dengan ancaman. “Saya akan mudah bunuh seperti suku kami dibuat tentara. Kamu tahu cerita Hoya, Tembagapura, Tsinga? Seperti itu bisa terjadi padamu.
Kalau Indonesia tidak buat kami merdeka, kami bantai kamu. Tapi, oke saya tungu apa yang mau Indonesia buat, yang ABRI buat. Kalau tidak ada tumpah darah kamu (sandera,-red) bisa pulang hidup-hidup,” kata Kelly Kwalik. Kelly menambahkan, “Sandera itu kunci, buka pintu untuk OPM merdeka. Jembatan Palang Merah Internasional,” ujarnya.
Pendeknya, setiap Kelly berbicara maka yang dikatakan,” Indonesia harus kasih merdeka OPM, atau “Kita tunggu Indonesia mau kasih kita merdeka”. Kalimat itu terus diulang dan tidak ada dialog. Kelly memakai kaidah bahasa Indonesia yang rancu. Kalimatnya kacau hingga kadang sulit dimengerti. Tapi, Kelly menguasai berbahasa suku lokal. Antara lain Ndunga, Amungme dan Dani hingga Kelly bisa menyatukan anak buahnya yang terdiri dari ketiga suku tadi.
Sedangkan antar suku tidak saling paham bahasa mereka. Hingga komunikasi antara ketiga suku tadi menggunakan bahasa Indonesia. Meski dianggap Panglima Tertinggi GPK/OPM namun pemikiran Kelly berbau mistis karena percaya mitos. “Saya sandera kamu karena mimpi. Uskup bilang dalam mimpi, tahun 1996 Papua Barat Merdeka. Tuhan mengirim kamu. Kamu (sandera,-red) kunci Papua merdeka,” ujar Kelly.
Mendengar itu Mark suatu ketika berujar, ”Kita prihatin dengan masa depan Irian Jaya. Tapi, tidak menaruh minat pada aspirasi politik mereka. Tuntutan dari OPM tidak realistis dan perjuangan mereka hampa tanpa harapan,” ujar Mark geram.
“Saya frustasi dengan logika mereka yang sulit diduga,” tambah Bill tidak kalah geram. “Mereka (OPM,-red) punya peta pemikiran lain. Untuk membuat keputusan kita memerlukan data dan logika. Sedangkan mereka tidak menggunakannya.
Segala sesuatu didasarkan pada perasaan, mimpi, firasat, atau tanda-tanda dari suatu hari dan semuanya berada di tangan Tuhan,” tambahnya. “Kita menjadi bidak bidak dalam suatu permainan politik maut untuk kemerdekaan orang Papua,” ujar Annette bersunggut-sunggut.
Wakil Panglima GPK/OPM yang tidak diketahui namanya juga kerap mengulang pernyataan bahwa sandera kunci kemerdekaan Papua. Dia menjelaskan, “Nanti sore OPM buka hubungan radio dengan Uskup Herman Muninghof. Juga Pendeta Paul Buchart, Pendeta Yohannes Gobay, dan pendeta Van der Bijl,” ujarn si Wakil penglima OPM tadi.
Kelly kenal Herman Muninghopf karena pernah dapat bimbingan. Hubungan dengan para pendeta dan misionaris dimaksudkan untuk negosiasi pelepasan sandera. Mula-mula OPM minta pesawat tapi tidak mau ditukar sandera.
Herman minta perbekalan ditukar dengan sandera yang sakit. OPM menolak. Herman minta wanita dan anak-anak dibebaskan lebih dulu. Tapi, Kelly menolak. OPM minta merdeka sebagai persyaratan sandera dilepas. “Terserah sandera mati. Tidak peduli,” kata Kelly. Akhirnya, Herman Moninghof dkk mengundurkan diri sebagai negosiator karena tidak sanggup menghadapi tuntutan OPM.
Kembali ke Wakil Panglima OPM. Orangnya nyinyir. Itu berbeda dengan Kely Kwalik yang irit bicara dan ngomong seperlunya. Si Wakil Panglima terus menekan sandera dengan menyuruh membuat surat yang ditujukan kepada berbagai organisasi. Baik lokal maupun internasional termasuk Pemkab Irian Jaya. Navy dan Adinda menjadi langganan membuat surat. Isinya beragam, minta kiriman sembako, rokok.
Suatu ketika, Yudas Kogoya mengumpulkan para sandera. Dia berdiri di tengah sandera seraya menyandang senjata M 16. “Kamu (sandera-red) itu masuk jebakan pertama, jebakan kedua dan jebakan ketiga,” ujar Yudas dengan nada mengejek. “Apa maksudnya masuk jebakan,” tanya sandera bersamaan. “Saya sudah tahu bulan Oktober 1995 kamu mau datang ke Irian Jaya. Saya sandera kamu rencana November,” ujar Yudas.
Kami para sandera terkejut dari mana mereka tahu. Sebab, mereka umumnya tinggal di hutan. Hubungan para peneliti pun terbatas pada instansi resmi. Navy mengajukan pertanyaan. “Bagaimana kamu tahu kami akan ke sini (Irian-red),” tanyanya. “Kami baca proposal kamu,” kata Yudas tertawa penuh kemenangan.
Proposal? Proposal pengajuan penelitian memang sudah masuk sejak bulan Agustus 1995 pada beberapa instansi resmi Pemkab Irian Jaya. Bagaimana bisa jatuh ke tangan OPM? Ini yang tidak terjawab.
“Kamu tidak pergi karena surat belum jadi, batal waktunya,” Yudas juga mengaku tahu. “Waktu kamu masuk Jayapura itu jebakan pertama. Kamu sampai hari pertama, saya juga tahu,” aku Yudas.
Tidak heran Yudas langsung mengenali kami, pikirku, sebab empat WNI dan warga asing kulit putih itu rombongan besar. Cukup mencolok. “Kamu masuk jebakan kedua setelah tiba di Wamena. Kamu itu bodoh. Saya tahu kamu di Wamena, saya terbang ke Wamema, kantor SPAT LIPI,” aku Yudas bangga.
Para sandera kaget. Kantor SPAT LIPI? Ada siapa di situ. “Kamu masuk Mapnduma, lebih bodoh lagi, masuk jebakan ketiga,” tambah Yudas. Dengan bangga Yudas bilang,” ini rencana dan strategi saya susun bersama Kelly Kwalik.
Sebelumnya, tidak ada rencana. Ada proposal baru ada rencana penyenderaan,” tukas Yudas. Jadi, kami para sandera sudah dimata-matai sejak awal kedatangan ke Irian Jaya. Mereka sudah berada di sekeling sandera sejak Desember 1995 dengan menyamar sebagai porter, guide local para peneliti tanpa disadari, dicurigai, kehadirannya.
Kami jadi terpukul dipecundangi sedemikian rupa. Padahal, selama ini para peneliti memperlakukan mereka (anggota OPM-red) dengan baik. Tapi, sekarang para peneliti dijadikan tameng untuk menuntut kemerdekaan.
“Kenapa kamu menyandera kami, para peneliti,” tanya Matheis. “Karena tim kamu ada warga asing tambah tim WWF, ada warga Belanda, Jerman. Jadi, sandera ada empat negara. Jerman, Belanda, Inggris dan Indonesia.
Kami sandera tiga warga asing pasti ada perhatian tiga negara. Saya pikir pasti ada berita. Publikasi besar,” ujar Yudas tertawa. Para sandera terhenyak. “Kami sandera orang Indonesia tidak ada berita. Berkali-kali tidak ada hasil. Sekarang tunggu dari Paus, dari PBB dari John Mayor (PM Inggris saat itu) Bill Clinton (Presiden Amerika saat itu). Dan, kami mau Marta (sandera dari UNESCO) punya anak lahir di sini (Irian-red),” ucap Yudas.
Kami, para sandera geleng-geleng kepala mendengar ocehan Yudas. Dan mimpi-mimpinya. Para sandera adalah korban mimpi OPM di siang bolong itu.
(kur)