Tinggal di Kamp Hantu yang Mengerikan

Sabtu, 24 Desember 2016 - 10:49 WIB
Tinggal di Kamp Hantu yang Mengerikan
Tinggal di Kamp Hantu yang Mengerikan
A A A
MEMASUKI puasa hari keempat, kembali kamp GAM diserang TNI. “TNI menyerang kita,” teriak anggota GAM silih berganti. Seperti biasanya, saya dan adikku Soraya pun paham langsung berkemas dan siap lari bersama GAM. Rombongan masuk hutan lebat.

Dalam kondisi puasa Ramadan, jalan berkilo-kilometer sungguh menyiksa. Belum lagi banyak duri yang menusuk-nusuk tubuh saat diterjang. Rombongan baru berhenti jika situasi dianggap aman. Salat adalah prioritas utama saat berhenti.

Dalam situasi begini, tidur di alam terbuka sering dilakukan, atau beralas tikar, atau beralas kain yang dibawa. Sebab, mendirikan tenda tidak memungkinkan.
Tiba-tiba terdengar suara kontak senjata.”Ayo lari..Lari..,” pinta komando pasukan kecil GAM yang membawa kami. Rombongan terus berlari naik turun gunung. Tahu-tahu hari sudah gelap ketika sampai di tempat aman. Yakni, dataran mirip suangai yang diapit dua bukit.

Banyak lubang seperti, galian kuburan. Di situ lah kami dan anggota GAM beristirahat. “Lubang ini untuk menyelamatkan diri agar bebas tembakan TNI. Kita juga tidur di situ. Kalau pasang tenda akan ketahuan TNI,” ujar anggota GAM.

Saat tidur di lubang, bayanganku sudah mati. Selain sunyi, juga gelap. Hingga semalaman tidak bisa tidur. “Kita akan tinggal di sini, di kamp hantu,” tutur anggota GAM. “Memangnya ada hantu di kamp ini,” tanyaku. “Lihat saja nanti malam. Ada apa?” Soraya tampak ketakutan.

Malam hari suasana kamp hantu berubah mengerikan. Selain gelap, terdengar suara hantu berupa tangisan pilu perempuan. Tangisan itu sungguh menyayat hati, membuatku sulit tidur. Soraya yang ketakutan memeluku erat-erat.

Malam itu meski lapar kami tidak berani keluar tenda untuk sekadar sahur. Bahkan buang air kecil pun dilakukan di tenda. Saking takutnya. “Hantu yang menangis itu konon arwah perempuan yang bersedih karena kehilangan anaknya. Perempuan itu lalu bunuh diri,” seorang GAM menjelaskan.

Malam Hari berikutnya lengkingan hantu perempuan itu makin keras. Seakan–akan masuk ke tenda. Aku dan Soraya semakin ketakutan. Tapi, siang hari pemandangan kamp hantu begitu eloknya. Kamp diapit bukit-bukit, pepepohonan yang hijau, rambutan yang sedang berbuah. Wuh…indahnya

Malam berikutnya seisi kamp tegang. Sebab, terdengar kontak senjata. Dalam kegelapan malam semua bergerak pindah. Tapi, di tengah hutan yang lebat tanpa senter dan penerangan, anggota GAM pemandu gamang belok kanan atau kiri.

“Wah..kalau salah belok kita masuk sarang TNI dan ditembak,” ingat anggota GAM lainnya. Tiba-tiba Safrida melihat mata harimau bersinar di kegelapan ke arah belok kanan. Dia pun memberi tahu GAM. Tapi, tidak dipercaya. Tapi, anggota GAM penunjuk jalan membenarkan kalau belok kanan ada jalan. Klop! Seperti dilihat Safrida.

Rombongan terus berjalan hingga menjelang pagi baru menemukan lokasi yang dianggap aman. Di situ lah rombongan mendirikan tenda. Karena lelah aku tertidur.

Dalam tidur aku didatangi seorang nenek. Aku terbangun. Di luar kesadaranku aku berkata, “Hai..yang tidak berpuasa tidak boleh tinggal di sini,’ suaraku berubah jadi nenek-nenek. Itu dikatakan berulang-ulang. Aku sendiri baru tahu setelah adikku Soraya bercerita soal kejadian itu.

Anggota GAM yang tidak puasa ketakutan. Sejak itu, selama tinggal di kamp mereka puasa semua. Juga rajin salat dan zikir dan sembayang taraweh. Di tempat itu bulu kudukkku selalu merinding. Seakan ada nenek berpakaian muslim yang terus mengawasiku.

Karena wilayah Aceh Timur dirasa tidak aman karena TNI terus memburu Ishak Daud dan anak buahnya, maka rombongan GAM yang membawa kami memutuskan pindah ke kawasan pegunungan Bagok, Aceh Utara.

Mereka mendirikan tenda. Lokasinya, tak jauh dari pemukiman warga. Hingga suplai makanan lancar. Bahkan anggota GAM bisa mengopi di warkop milik penduduk. Pulang ke kamp bawa kue Aceh. Kondisinya cukup nyaman.

Bahkan saat tiba hari Lebaran, anggota GAM bisa pulang kampung untuk berlebaran bersama keluarganya secara bergiliran. Mereka berpakaian rapi layaknya pemuda kota

Soraya pun bisa pergi berbelanja ke warung di kampung. Mendadak ada kontak senjata “TNI menyerang kita,” teriak anggota GAM. Tak terkira ketakutan Safrida dan Soraya. Beruntung kontak senjata tidak lama.

Tapi, lokasi kamp hanya aman dua minggu. Di pagi hari terdengar kontak senjata saat Safrida dan Soraya sedang mandi. Mereka pun cepat berkemas lari bersama anggota GAM. Kali ini kembali ke wilayah Aceh Timur. Tepatnya, di Simpangngulim-Kutabinjai. “Kita berada di wilayah Simpangulin Kutabinjai,” papar anggota GAM yang menjaga kami. Tapi, dia berpesan agar merahasiakan lokasinya. Karena sandera tidak boleh tahu lokasinya. Alasannya, demi keamanan.

Lokasi kamp semua dekat bukit dan sungai. Tapi, tiap hari terus berpindah tempat. Berjalan berkilo-kilo meter. Baru setelah dianggap aman mendirikan tenda. Kalau dekat kampung, kami bisa mendapatkan makanan hangat yang dibeli GAM di warung.

Bahkan pernah dikasih oleh-oleh cendol segala. Wah… segarnya. Sudah lama tidak minum es cendol sejak disandera.

Dalam situasi aman kadang aku berbincang dengan anggota GAM. Salah satunya si wajah karet yang memberi lukisan ketiga anakku hasil imajinasinya. Saya juga punya kenangan terhadap anggota GAM blesteran Jawa Aceh.

Sebut saja namanya Kunto yang suka mengantar makanan ke tendaku. Pemuda berperawakan tinggi, tampan dan baru lulus SMA. “Kalau kamu repot, biar lah jatah makan kami nati kuambil,” kataku pada Kunto.

Setahuku, Kunto bukan petugas dapur tapi anggota pasukan tempur. “Aku tidak repot Kak. Aku memang suka mengantar makanan ke Kak Cut,” jawab Kunto serius.
Rupanya Kunto ingin dekat denganku. Dia biasanya mengajak anggota GAM muda lainnya. Sebut saja John, anak muda GAM yang ingin melanjutkan studi ke akademi maritim. Bila dua anak muda ini ngobrol denganku yang diomongkan seputar ibunya.

Pada suatu hari mereka kusindir. ‘’Hai..kalian rindu sama ibu kalian ya? Terus kalian dekat-dekat denganku,” Keduanya tertawa tanda mengiyakan.
Bahkan Kunto pernah berterus terang. “Ibu saya pasti sedih kalau melihat hidup sengsara di hutan,” ujar Kunto. “Ibu saya juga,” timpal John. ”Ibu kalian sudah tahu bagaimana kerasnya hidup menjadi GAM. Tentunya, ibu kalian tidak sedih lagi,” tanggapku.

“Saya bilang sama ibu, bahwa saya sengsara hanya sebentar. Kenyataannya, tidak demikian,” Kunto berterus terang.

“Saya juga bilang begitu sama Ibu saya. Kami hanya berjuang sebentar. Itu yang dikatakan para pemimpin kami,” potong John. “Kata mereka perjuangan kami hanya sebentar bak orang menghisap sebatang rokok. Nyatanya, yang diisap bukan sembarang rokok tapi tiang listrik..haaa..haaa..jadi perjuangan tidak selesai-selesai,” sambung John dengan mimik lucu. Aku tertawa, Kunto tersenyum tipis.

“Jadi, menghisap sebatang rokok itu hanya mitos! Kenyataannya, yang diisap tiang listrik ha…ha…,” John terbahak-bahak. “Jadi, tidak habis—habis..!”

Kuperhatikan John dan Kunto dalam kebimbangan. John lebih bersikap netral. Tapi, untuk menyerah atau kembali ke keluarga takut. Begitu juga Kunto. Kunto rajin salat lima waktu, John pintar mengaji. Makanya, Kunto sering belajar ngaji sama John.

Saat perang berkecamuk keduanya maju ke garis depan. John kabarnya tewas, sedangkan Kunto tidak ada kabar beritanya lagi.

Karena serangan gencar TNI khususnya di Aceh Timur berpengaruh terhadap anggota GAM yang menjaga kami. Mereka gampang emosi dan sensitif. Tak jarang sesama anggota GAM kerap bersitegang. Seperti persitiwa terjadi persis di depanku. Tahu-tahu ada anggota GAM mengokang senjata diarahkan ke temannya yang lewat.

“Kamu jangan kurang ajar ya. Kutembak kau,” teriak yang mengokang senjata. “Aku salah apa mau kau tembak,” Tanya temannya tidak kalah terkejut. “Jangan ditembak,” teriak rekan-rekan GAM lainnya.

“Turunkan senapanmu,” pinta yang lain. Tiba-tiba terdengar suara dorr.dor..dor. Suasana jadi gaduh. Aku pingsan.

Di lain waktu, aku pingsan lagi setelah seorang GAM menembak rekannya tanpa tahu salah apa. Sejak itu, aku tidak mau dekat-dekat anggota GAM yang membawa senjata.

Dalam situasi aman, semua anggota GAM nyantai bahkan tidak membawa senjata. Kecuali yang piket. “Siapa yang mau ke restoran,” ajak anggota GAM ceria.

Akhirnya kuputuskan ikut. Agar tidak mencolok, kami naik motor satu per satu, tidak beriringan. Sepanjang perjalanan aman, terlihat penduduk beraktivitas normal. Ada yang kongkow-kongkow. Tiba di kota kecamatan langsung menuju restoran atau warung besar yang menjual mie Aceh dan nasi goreng.

Kami memesan nasi goreng ada mie aceh. Yang bayari anggota GAM karena menolak aku bayari. Saking lezatnya, ada angota GAM yang nambah dua kali. “Kak Cut, mau lihat-lihat toko, boleh kok,” tawar anggota GAM.

“Iya Kak, lihat sana biar Kak Cut dan Soraya tidak suntuk,” anggota GAM yang lain mendukung. Saya dan adikku berpandang-pandangan. Dalam hatiku mungkin ada kesempatan kabur. Aku dan Soraya masuk toko untuk melihat-lihat. Yang penting bisa kabur. Tapi, baru tanya tentang arah pada pemilik toko, tiba-tiba terdengar suara tembakan.

“Ada seorang anggota GAM tertembak,” ujar pemilik toko. “Siapa yang menembak,” tanya pengunjung. “TNI,” bisik seseorang dengan ketakutan. Kudengarkan pembicaraan mereka dengan rasa ketakutan pula.

“Rupanya anggota GAM yang ditembak itu sedang tidur atau ketiduran,” kata seorang yang baru datang. “Ketiduran di mana?” tanya semua pengujung toko ingin tahu. Di Warung mie itu. Rupanya dia ketiduran karena kekenyangan sehabis makan mie terus mengantuk, tidur.

Nah, datanglah TNI menggeledah anggota GAM yang tidur itu. TNI menemukan pistol di saku celana anak muda yang sedang tidur tadi. Anggota GAM yang ada di kota kecamatan itu turun semua. Maka, terjadilah kontak senjata hebat.

Tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri kami berdua dalam toko. “Mari, kita pergi,” bisiknya. Pemuda itu tidak kami kenal sebelumnya. Jadi, kami menolak.

“Saya tahu siapa kakak dan adik kakak,” ujarnya seraya menyebut nama-nama anggota GAM yang mengajak mereka ke kota. “Kita kembali ke gunung. Teman-teman lain mengurusi yang tertembak. Jangan takut. Suasana sudah aman,” ujarnya yakin.

Lalu, dua sepede motor menghampiri kami untuk membawa kemebali ke gunung. Di lokasi kamp terlihat beberapa anggota GAM terluka. Ada yang tertembak kakinya, tangan dan bahunya. “Tolong Kak, kami dibantu merawat teman-teman ini,” pinta seorang anggota GAM.

Demi kemanusiaan aku membantu mengeluarkan peluru yang bersarang di bahu pemuda GAM yang kekar dengan peralatan seadanya. ”Sedot-sedot darahnya!” kata seorang GAM meminta temannya menyedot darah rekanya yang tertembak. Dengan cekatan pemuda tadi menyedot darah yang berceceran.

“Jangan takut Kak, kami sudah terbiasa menghadapi situasi ini,” ujar anggota GAM tadi. “Kalau darah sudah disedot dia akan membaik,” Tak lama rombongan GAM bergeser masuk hutan lagi karena tempat persembunyian mereka sudah tercium TNI. Setelah membereskan tenda, kami bergeser tengah malam ke kamp baru.

Pada 30 Desember 2003, menjelang Magrib, Garuda selaku Panglima Pasukan Jenewa memberitahukan, Ersa tertembak saat terjadi baku tembak TNI dan GAM. “Apa Ersa meninggal,” tanyaku.

Garuda menggeleng. Lalu dengan ketus berucap,”Itu lah kalau pembebasan lewat TNI, jadi tertembak. Apa kamu juga mau tertembak”.

Setelah itu aku salat magrib sambil menangis. Harapan semula bebas berganti kengerian. Perasaanku benar-benar terpukul hingga jatuh pingsan. Entah berapa lama aku pingsan. Setelah sadar, malam sudah larut.

Ketakutan itu menimbulkan konflik dalam diriku. Antara dibebaskan Palang Merah Internasional atau TNI. Akhirnya, aku pilih TNI. Itu kusampaikan pada Garuda, Penglima Pasukan GAM Jenewa yang menjaga saya dan Soraya.

“Kamu juga akan tertembak jika dibebaskan TNI,” teror Garuda. “TNI tidak akan menembakku,” kataku tegas. “Mungkin juga tidak menembakmu. Tapi, bagaimana kalau tertembak?” tanya Garuda balik.

“Kalau harus tertembak ya pasrah saja. Toh, TNI tidak berniat menembak. Aku yakin,” tegasku. “Sungguh kamu berani mati?” Garuda bertanya seraya tersenyum sinis. “Berani saja kalau sudah waktunya mati!” kataku yakin.

“Bagus,” kata Garuda seraya tertawa, “Tapi, kami tidak mau menyerahkan kalian sama TNI. Kami tidak percaya,” tegas Garuda. “Aku percaya TNI,” tegasku lagi.
Untunglah Garuda tidak marah dengan sikap ngototku. Tapi, Garuda menerorku dengan sengit.

“TNI tidak percaya lagi sama kamu. Kamu sudah dicap membelot ke GAM. Coba, kamu bisa berbuat apa,” ujar Garuda tidak kalah sengit. “Allah tahu apa yang aku lakukan dan Allah akan membukakan hati pimpinan TNI sehingga mereka akan tahu siapa aku juga adikku Soraya. Kamu percaya bahwa Allah itu maha adil,” sebutku. Garuda diam.

Dia lalu meninggalkanku. Wajahnya keras menahan amarah. Aku sendiri heran mengapa berani berbicara seperti itu. Padahal, Garuda bisa melakukan apa saja.Termasuk menyiksaku.

Tidak lama terdengar kontak senjata dekat kamp. Makan, sandera dan rombongan GAM bergeser mencari tempat yang lebih aman. Baru 1 Januari 2004 aku dapat kabar dari seorang anggota GAM bahwa Ersa mati tertembak saat terjadi kontak senjata. “Ternyata Ersa mati tertembak. Dia pulang ke Jakarta dalam keadaan mati,” jelas anggota GAM tadi.

“Darimana kamu tahu Ersa meninggal,” tanyaku. “Dari tv. Aku baru saja nonton tv di rumah penduduk. Beritanya ya begitu Ersa mati,” katanya lalu meninggalkanku. Dadaku rasanya mau pecah. Nyeri..mendengar berita itu. Tangisku meledak.

Aku ingat bermimpi Ersa tanggal 28 Desember 2003 saat tertembaknya Ersa. Dalam mimpiku Ersa naik gunung, bercelana pendek putih, melambaikan tangan ke arahku. Wajah Ersa tampak putih. Rupanya, mimpi itu pertanda Ersa meninggal. Dia melambaikan tangan ke arahku seakan hendak pamit.

Usai makan siang sekitar pukul 14,00 WIB siang, 5 Januari 2004, seorang anggota GAM menghampiriku. “Kita akan ke Bagok. Sebentar lagi berangkat,” ujarnya.
“Palang Merah Internasional jadi menjemput kalian,” tambahnya.

Kabar itu segera kusampaikan ke Soraya. Kami berkemas dengan perasaan riang. Kami meningalkan wilayah Simpangulim –Kutabinjai menuju Bakok.
Belum sampai sepertiga perjalanan GAM diberi komando agar berhenti. “TNI menghadang kita,” ujar anggota kepada sesama anggota GAM berbisik.

Mereka belok kanan menghindari TNI. Ketika menemukan tempat aman kami bermalam dua hari di situ. Sepertinya berita yang dijanjikan GAM soal pejemputan Palang Merah Internasional terhadap para sandera tidak jadi kenyataan. Kabarnya, Abu Ci menuntut jumpa pers sebelum pembebasan. Tapi PMI tidak mau. Menolak ada wartawan ikut saat pembebasan sandera.

Rombongan GAM terus melanjutkan perjalanan. Kali ini masuk pedesaan. Mereka mendirikan tenda. Pada 16 Januari 2004 ada jumpa pers. Aku bertemu wartawan tapi sudah tidak bergairah lagi karena tidak ada titik terang pembebasan. Aku tidak bicara banyak. Percuma saja toh nyatanya tidak bebas.

Sementara posisi Ishak Daud terpojok karena dikepung ribuan TNI. Ishak Daud minta pasukan yang mengawal kami ikut merapat membebaskan kepungan dari TNI. Lokasinya hanya enam kilometer dari tempat kami berada. Maka, Pasukan GAM Jenewa bergerak mendekati posisi Ishak Daud dan pasukannya yang terkepung.

Malam, 28 januari 2004, rombongan keluar desa menuju pegunungan tandus. Suasana makin panas karena sering terjadi kontak senjata. “Dik, keadaan makin panas. Jangan jauh-jauh dari Kakak, ya,” ingatku. “Iya,” sahut Soraya.

Pada 29 Januari 2004 sampai di pegunungan tandus. Ada sungai jernih. Maka, kami berdua mandi bergantian. Beberapa menit setelah mandi terdengar kontak senjata. Anggota GAM menghampiri minta kami segera berkemas untuk lari.

Rombongan kami berjumlah sekitar 20 anggota GAM. Setelah lari-lari enam jam sampailah di Desa Tungkah Gajah, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Kudengar bisik-bisik anggota GAM, kami hanya berada sekitar 200 meter dari posisi TNI.

Waktu itu sekitar pukul 11.00 WIB siang. Aku terkejut begitu banyak anggota TNI menyerang posisi GAM . Aku tiarap berlindung di balik gubuk, menghindari tembakan bertubi-tubi dari arah TNI. Suasananya benar-benar mencekam akibat desingan peluru tiada henti.

“Kak, kalau mati aku titip salam buat Mas Agung, Mami dan semua kakak-kakak,” bisik Soraya ketakutan. “Kau selamat Dik,” hiburku. “Tapi, kalau aku mati tertembak, titip anak-anakku ya ..tolong mereka diasuh,” bisikku spontan.

Bersamaan itu, terdengar sura tembakan. Pasukan GAM yang bersama kami mulai kocar kacir. Diantara mereka yang tinggal, ada yang memaksa kami agar ikut lari bersama mereka. Tapi, beberapa anggota GAM justru memarahi teman-temannya yang mengajak kami.

“Biarkan saja dua perempuan itu. Yang penting kita harus menyelamatkan diri,”. Lega aku mendengarnya. Suasana makin panas, suara tembakan kian gencar. Desingan peluru di atas kepala kami yang tiarap tidak terhitung jumlahnya. Sungguh mengerikan. Aku tidak berani bergerak.

Kudengar nafas Soraya tiba-tiba sesak. Asmanya kambuh karena dicekam rasa ketakutan luar biasa. Di sekitar kami bersembunyi makin banyak jumlah TNI.
Soraya pun mendadak pingsan melihat banyaknya TNI. Tapi, aku justru senang. Batinku, ini lah saatnya hari pembebasanku. Maka, aku bangun dari posisi tiarap untuk mengendong adikku. Tubuhku lemas hampir aku tak kuat menggendong Soraya.

Akhirnya, denagan susah payah aku berhasil mengendongnya. Tas Soraya kubuang. Maksudku, agar tas ditemukan TNI dan dibuka isinya. TNI akan tahu pemiliknya Soraya, istri anggota TNI. Aku tetap bertiarap, jaraknya dekat dengan TNI.

Tasku juga kubuang. Harapanku TNI menemukannya dan tahu bahwa ada perempuan disandera GAM yang juga seorang istri TNI. Kontak senjata terus berlangsung dan dahsyat. Kudengar teriakan anggota pasukan TNI bercampur suara desingan peluru.

Kulihat anggota GAM berlarian tungang langgang, mereka sudah tidak lagi memmerhatikan kami, sanderanya. Mereka sibuk menyelamatkan diri amsing-masing. Kulihat beberapa anggota GAM tertembak.

Peluru terus berterbangan di atas kepala kami ditambah teriakan-teriakan TNI kian menggema yang gagah dan patriotik. Aku berdoa agar TNI segera menemukan kami.

Agar Soraya terlindungi, kubenamkan kepalanya ke dalam lumpur. Setelah itu, tubuhku juga kubenamkan dalam lumpur. Tak memperdulikan pacet dan lintah. Yang penting selamat. Ketika desingan peluru mulai mereda, kuangkat kepalaku untuk melihat Soraya. Alhamdulillah masih bernafas meski kondisinya pingsan.

Begitu desingan peluru reda kubalikkan tubuh adikku. Ternyata masih pingsan. Soraya masih diam saja. Kutungu sampai siuman. Begitu dia membuka matanya, langsung kupeluk dan kutatap wajahnya yang pucat.

“Dik, kita selamat. Di sini dekat TNI,” bisikku. Soraya malah gemetar. Sekujur tubuhnya menggigil akibat ketakutan. Itu karena selama dalam penyanderaran, GAM selalu mencekoki bahwa TNI akan menembak kita. ”Jangan takut Dik. TNI tidak akan menembak kita,” kuyakinkan Soraya. Tangis Soraya pun pecah.

Lalu, aku berteriak sekuat tenagaku, ”Toloooong… kami istri TNI yang disandera GAM! Saya Safrida dan ini adik saya Soraya!” teriakku kuat-kuat.
Aku mendengar suara seorang TNI agar menghentikan tembak-menembak karena tas Soraya ditemukan. Para pasukan TNI itu lalu menghampiri dan menolong kami. Aku dan Soraya telah diselamatkan TNI.

Mereka membebaskan kami melalui kontak senjata. Mendadak Soraya kembali pingsan begitu melihat TNI kembali menembakkan senapannya. Aku dan Soraya langsung tiarap.

Para anggota TNI di sekitarku terkejut melihat aku dan Soraya tiarap dengan mimik ketakutan. Ya. Waktu itu kami masih ketakutan dan belum yakin apa pulang dengan selamat. Karena senapan senapan masih terus ditembakkan.

Kami lalu dibimbing TNI menuju tempat yang aman. Mereka memberi makan. Nasinya panas dengan lauk rendang. Aku dan Soraya makan lahap sebab , sudah dua hari tidak makan.

Belakangan aku tahu, bahwa TNI yang menolong kebebasan kami adalah Kompi Bonang Yonif 700/Raiders yang waktu itu sedang berpatroli di wilayah Desa Tungkah Gajah, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3857 seconds (0.1#10.140)