Tak Bisa Tidur, Terngiang-ngiang Akan Dipenggal

Rabu, 21 Desember 2016 - 15:31 WIB
Tak Bisa Tidur, Terngiang-ngiang...
Tak Bisa Tidur, Terngiang-ngiang Akan Dipenggal
A A A
BEGITU para sandera diserahkan pasukan Meja Hijau. Mereka pun digiring menuju hutan belantara, naik turun gunung selepas Magrib. Perjalanan dilakukan malam hari dan dikebut guna menghindari kejaran TNI.

Karena jalannya naik terjal melewati batu tajam, Safrida pun melepas sandalnya. Akibatnya, kakinya banyak luka gores dan tertusuk duri. Rasanya perih. Tapi, itu diabaikannya. Safrida lebih memikirkan nasibnya. Sebagai istri TNI aktif yang dianggap musuh, GAM bisa membunuhnya kapan saja.

Tengah malam mereka sampai di bukit, tempat Panglima Sago berada di gubuk paling tinggi. Saat diinterogasi sendirian, Panglima Sago didampingi ajudannya. Usianya 33 tahun wajahnya seram karena seluruh mukanya dipenuhi bulu cambang.

Dia terus memadangku tanpa berkedip. Jadinya, bengis. "Aku takut menatapnya". Sedangkan Panglima Sago berusia muda, 20 tahun. Nama sandinya Maneh atau Manis. Meski tak ramah tapi cukup sopan.

Dia lebih pantas jadi adikku atau anakku. "Engkau istri TNI," tanyanya dalam bahasa Aceh. Dia dengan sopan memangilku Kak Cut. Rupanya dia tahu aku orang Aceh.

"Benar," jawabku dengan bahasa Aceh. "Engkau juga mata-mata TNI ya," tanya Panglima Sago tegas. Lelaki brewok yang berada di samping Panglima terus mengawasiku. Kulirik, dari raut mukanya dan gerak gerik gesturnya, dia tampak amat membeciku. Aku paham karena sebagai istri TNI.

"Kamu jelas mata-mata TNI," tiba-tiba si brewok membentakku. "Kamu jangan dustai kami," sambungnya galak. Aku diam tak membalas. Panglima Sago membiarkan aku dibentak-bentak anak buahnya.

"Betul, kamu cuma ibu rumah tangga," tanya Panglima Sago lagi. Aku mengangguk sambil berkata," Ya, saya ibu rumah tangga. Bukan mata-mata. Lagi pula, suami saya bukan TNI yang berperang. Dia Angkatan Udara (AU) bagian teknisi,"

"Apa saja tugasnya," tanyanya menyela."Memperbaiki listrik,tv, radio dan mesin yang rusak," kujawab dengan khayalanku karena tugas sebenarnya suamiku tidak demikian.

Panglima Sago mengagguk-angguk. "Suamimu orang apa," tanyanya lagi. "Orang Bugis," kataku. "Orang Pertugis," dia menegaskan."Orang Bugis," kataku sambil mengeja biar lebih jelas. "Oh. Ya orang Portugis," katanya lagi.

Aku ingin tertawa. Tetapi, si Brewok yang sangar itu rupanya tahu kalau saya menahan tawa. "Kenapa kamu tertawa? Tidak sopan . Kamu memang mata-mata," bentaknya.

Dia lalu menendang Safrida, secara refleks Safrida berhasil menangkisnya. Panglima Sago terkejut aku bisa menangkisanya. Itu karena aku bergabung olahraga bela diri sejak SMP.

"Kamu benar-benar mata-mata TNI," seru si Brewok yang kian geram karena tendangnya berhasil kutepis. "Kamu tidak sopan. Lihat saja, jongkok kamu model laki-laki. Biasanya, perempuan baik-baik bersimpuh," tegas si Brewok penuh kebencian.

Aku tersadar jongok model laki-laki. Agar suasana tidak memanas aku berkata," Ya, maaf, maaf saya jongkok begini karena kaki saya sakit". Si Brewok tersenyum sinis.

Panglima Sago lalu menanyakan asal usulku? Kujelaskan, aku putri asli Aceh, tepatnya Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat remaja aku ikut bela diri, main teater dan sebagai biduan Sandy’s Band. Kuceritakan semua itu agar Panglima lebih mengenalku dengan harapan segera dilepas.

Karena interogasi dianggap cukup, Panglima menyuruh saya pergi sambil berkata akan menghadapkan aku ke Panglima GAM Tertinggi Aceh Timur, Ishak Daud. Bila aku bersalah akan mendapat hukuman potong leher.

Ancaman itu membuat diriku lemas, hilang gairah hidup dan sedih sekali. "Lehermu akan digorok besok pagi," teror si Brewok yang berjalan disampingku setelah meningalkan Panglima Sago.

Aku diam saja tengelam dalam kesedihan. "Kepalamu akan dipengal besok. Dinihari," ulang si Brewok. "Pisau untuk memanggalmu sudah tersedia," ujar si Brewok seraya tertawa lepas.

Tawa si Brewok membuat diriku oleng. Akhirnya, aku tahu si Brewok itu bernama Awang alias si algojo atau Tukang Potong leher musuh GAM.

Teror Awang kuceritakan pada adikku Soraya. Dia hanya diam sambil memelukku erat. Tampak di wajahnya kesedihan mendalam. Juga kuceritakan kepada Bang Ersa. Ersa bilang yang tabah.

"Ayo kita jalan lagi," perintah anggota GAM. Semua sandera mengikuti, saya, Soraya, Ersa, Fery, Rahmatsyah termasuk si Brewok.

Para sandera tidak bertanya kemana mereka hendak dibawa. Rombongan turun gunung lalu makan di rumah seorang penduduk. Rumah sederhana kalau tidak mau dikatakan gubuk. Berlantai semen, hanya ada satu ruangan. Ya, untuk makan, tidur, ruang tamu. Ada sudut kecil untuk dapur.

Di atas tikar sudah tersedia satu bakul nasi dingin, tiga helai ikan cakalang gulai. Ada empunya rumah, seorang nenek duduk di kursi reyot berwajah sedih. Tak satu pun keluar kata dari mulutnya.

Ersa makan dengan lesu mengambil nasi dan ikan sedikit. Juga Fery. Hanya Rahmatsyah yang tampak rileks. Saya dan adikku Soraya tak punya nafsu makan karena memikirkan nasib akan dipenggal.

Anggota GAM dengan berang memerintahkan para sandera makan cepat. "Makannya harus cepat. Kalau tidak, keburu ketahuan TNI," ingatnya.
GAM pun mendesak para sandera berkemas meninggalkan rumah singgah. Aku salami perempuan tua tadi untuk pamit.

Dia hanya menatap dingin, sedingin tangannya. Ia benar-benar tampak hidup merana. Hidupnya sebatang kara, tidak tampak ada suami, anak maupun cucu. Aku jadi iba. "Hati-hati," bisik perempuan itu lirih. Perasaanku jadi makin sedih.

Enam anggota GAM termasuk Awang, menggiring para sandera melintas persawahan yang padinya mulai menguning. Sayang air merendamnya termasuk pematangnya. Jadi, jalanya licin.

Aku berjalan telanjang karena sandal berhak tinggi ditinggalkan Safrida di ujung desa saat naik bukit kemarin. Akibatnya telapak kakinya sakit, yakni kuku jempol kaki yang kejatuhan rolling door sebelum disandera. Aku khawatir jempol kakiku akan infeksi terkena air sawah. Maka, kuberanikan diri meminjam sandal pada anggota GAM.

Tak kuduga, ternyata Awang si Brewok mau memijamkan sandalnya meski terus memaki-maki diriku. "Oh, dasar perempuan kurang ajar, tak tahu diri. Rewel. Minta sandal segala. O,dasar perempuan manja," makinya dengan kalimat panjang.

Dia memang lelaki kasar. Karena paham akhirnya aku pilih diam saja. Adikku, Soraya kehilangan sebelah sepatunya karena terperosok pematang berlumpur. Akhirnya sepatu satunya ditinggalkan. Jadilah, Soraya berjalan dengan kaki telanjang. Setelah berjalan tiga jam, sampailah pada gunung di tengah malam.

Selama perjalanan tak hanya tersiksa, juga jengkel atas perlakuan anggota GAM. Selain sombong juga kasar. Kalau jalan kami lambat, mereka membentak-bentak bahkan mengancam memukul dengan popor senjata.

Ersa, Fery dan Rahmatsyah bisa berjalan cepat mengikuti langkah GAM. Tapi, aku dan adikku Soraya tidak bisa karena tidak biasa berjalan jauh. Rasanya, kami berdua tak sangup berjalan di pematang amat luas, naik gunung berudara dingin. Tubuhku pun mengggigil akibat cemas ketakutan juga lelah.

Saat masuk hutan di gunung para sandera bertemu puluhan anggota GAM yang menatap tajam para sandera. Saya sendiri dibawa menghadap Panglima GAM. Namanya, Pawang yang memberlakukan baik.

Setelah itu, saya dibawa kembali ke rombongan. Di antara anggota GAM tahu aku istri TNI aktif. Mereka berbisik-bisik memberitahuku bahwa besok pagi jadi dibunuh.

Tubuhku langsung menggigil mendengar bisikan maut itu. Tahu itu, anggota GAM tertawa-tawa sepertinya mengejekku. Sakit hati ini, ingin rasanya meninju mereka. Tapi, apa daya sebagai sandera. Para sandera tidur bersama puluhan anggota GAM di hamparan tikar yang digelar di lapangan datar. Tiap orang diberi selembar tikar tanpa bantal.

Kulihat banyak anggota GAM sudah tidur pulas di sekitarku beralas ransel. Untuk menghangatkan tubuh mereka tidur meringkuk dalam gulungan sarung, atau berselimut.

Anggota GAM yang piket membalut kepalanya dengan topi hangat dengan senjata api siap di tangan. Kulihat Ersa tidur bersama anggota GAM. Tapi, Fery dan Rahmatsyah tidak tahu. Saya dan adikku Soraya tidur di seberang Ersa. Udara pegunungan sangat dingin.

Saya sendiri tidak bisa tidur karena terus terngiang-ngiang teror GAM. Besok pagi akan dipenggal. Perutku jadi kejang. Soraya yang tahu aku tidak bisa tidur ikut gelisah. Berkali-kali dia buang air kecil di sekitar lokasi tidur.

Aku yang tidak bisa tidur buang air kecil dekat tebing sambil berselimut agar tetap hangat. Tapi, saat tidur ada benda bergerak di sekitar kakiku. Alamak! Ternyata ular dari tebing yang masuk selimut. Reflek, ular kulempar dan jatuh mengenai anggota GAM yang tidur.

Giliran mereka yang ribut akibat kejatuhan ular. Saya sendiri pura-pura tidur. Tapi, mataku tak bisa dipejamkan. Pikiraanku selalu teringat akan dipenggal GAM. Aku jadi teringat keluargaku di Surabaya. Suami, dan ketiga anakku. Ria Safana yang beranjak remaja, Oki, memasuki 10 tahun dan si bungsu Raja, limna tahun.

Juga teringat ibuku, biasa kami panggil mami yang sudah sepuh, 70 tahun dengan kondisi sakit-sakitan. Aku berada di Lhokseumawe karena kondisi mami sakit-sakitan.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7007 seconds (0.1#10.140)