KPK Temukan Ribuan Transaksi Kasus e-KTP
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ribuan transaksi uang hasil dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri tahun anggaran 2011-2012.
Penegasan itu disampaikan tiga Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Laode Muhamad Syarif, dan Basaria Panjaitan saat diskusi di Auditorium Gedung KPK, Jakarta, Selasa 15 November 2016 malam.
Alexander Marwata mengatakan, sebagaimana dalam pengadaan barang/jasa (PBJ) lainnya, pengusutan e-KTP terkait dengan proses perencanaan, lelang atau tender, penganggaran, hingga eksekusi atau pelaksanaan di lapangan.
Alexander mencontohkan, untuk penganggaran, KPK sudah memeriksa anggota Komisi II saat penganggaran proyek terjadi dan Agus Dermawan Wintarto Martowardojo selaku menteri keuangan periode 2010-2013.
Dari proses penganggaran, KPK menelusuri dan berupaya membuat terang kebenaran adanya permainan dan kongkalikong. “Untuk kerugian negara Rp2,3 triliun itu karena ada mark up. Kontrak kan antara Kemendagri dengan konsorsium," kata Alexander seperti dikutip dari KORAN SINDO, Rabu (16/11/2016).
"Uang kontrak ditransfer dari Kemendagri ke rekening konsorsium. Dari rekening konsorsium ke siapa saja, itu yang sedang kita telusuri. Itu tidak mudah dan gampang, karena menyangkut ribuan transaksi. Bahkan sangat mungkin ada transaksi-transaksi tunai. Penyidik sedang dalami termasuk transaksi tunai,” imbuhnya.
Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu membeberkan, total anggaran sebagaimana dalam kontrak lebih dari Rp5,9 triliun sudah dibayarkan 100% oleh pemerintah ke konsorsium.
Pihak konsorsium sudah memberikan hasil e-KTP, termasuk peralatannya ke pemerintah dalam hal ini Kemendagri. Menurut Alexander, saat pembayaran lunas tersebut, KPK memang tidak merekomendasikan agar proyek e-KTP dihentikan.
“Kalau kita hentikan sebelum itu, akan ada total lost. Kenapa tidak dibekukan? Karena kita butuhkan. Tidak mungkin dihentikan karena e-KTP dibutuhkan dan berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Jadi, sedang kita telusuri siapa saja yang menikmati uang Rp2,3 triliun itu,” tandasnya.
Laode Muhamad Syarif mengatakan, jumlah kerugian negara Rp2,3triliunitumerupakan hasil hampir akhir dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari temuan KPK berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi dan dua tersangka, ada saksi yang mengaku bahwa sebagian uang proyek e-KTP belum dibayarkan Kemendagri.
Di sisi lain, ada master key yang belumdiberikansubkontraktorpenyedia layanan dari luar negeri. Dia membenarkan, uang hasil korupsi berupa kerugian negara Rp2,3 triliun tidak dinikmati oleh dua tersangka yang sudah ditetapkan.
Dari dugaan dan temuan KPK, ada pihak lain baik perorangan maupun korporasi yang turut menikmati uang hasil korupsi itu. Namun, Syarif tidak mengungkapkan siapa pihak-pihak yang menerima dan menikmati uang tersebut.
“Rp2,3 triliun tidak hanya pergi ke dua orang tersangka itu. Ke orangorang lain itu akan dijawab pada waktunya,” tandas Syarif.
Dua tersangka yang sudah ditetapkan dalam kasus ini adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan e-KTP yang juga Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Sugiharto serta mantan Dirjen Dukcapil yang kini menjabat sebagai staf ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik Irman.
Basaria Panjaitan mengatakan, kemarinpenyidikmemeriksa delapan saksi untuk tersangka Irman maupun Sugiharto. Para saksi itu adalah Anny Ratnawati (mantan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Juni2008-Januari 2011 sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan).
Kemudian Afdal Noverman (wiraswasta), Adres Ginting (swasta/Ketua Bersama Konsorsium PNRI), Budi Zuniarta (Kepala Departemen Akuntansi Keuangan Umum Perum PNRI), Yuniarto (Direktur Produksi Perum PNRI), Haryoto (Staf Direktur Bidang Pengembangan Usaha Perum PNRI), dan Aslinah (swasta).
“Proyek e-KTP sudah dibicarakan sejak 2008, waktu Anny Ratnawati masih dirjen anggaran. Menurut penyidik, beliau banyak tahu. Apakah yang bersangkutan terima uang? belum ada kesimpulan,” ungkap Basaria.
Anny Ratnawati kemarin menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam. Saat keluar ruang steril pukul 13.28 WIB, Anny langsung berjalan cepat menuju mobil yang menjemputnya. Anny tidak memberikan komentar apa pun.
Penegasan itu disampaikan tiga Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Laode Muhamad Syarif, dan Basaria Panjaitan saat diskusi di Auditorium Gedung KPK, Jakarta, Selasa 15 November 2016 malam.
Alexander Marwata mengatakan, sebagaimana dalam pengadaan barang/jasa (PBJ) lainnya, pengusutan e-KTP terkait dengan proses perencanaan, lelang atau tender, penganggaran, hingga eksekusi atau pelaksanaan di lapangan.
Alexander mencontohkan, untuk penganggaran, KPK sudah memeriksa anggota Komisi II saat penganggaran proyek terjadi dan Agus Dermawan Wintarto Martowardojo selaku menteri keuangan periode 2010-2013.
Dari proses penganggaran, KPK menelusuri dan berupaya membuat terang kebenaran adanya permainan dan kongkalikong. “Untuk kerugian negara Rp2,3 triliun itu karena ada mark up. Kontrak kan antara Kemendagri dengan konsorsium," kata Alexander seperti dikutip dari KORAN SINDO, Rabu (16/11/2016).
"Uang kontrak ditransfer dari Kemendagri ke rekening konsorsium. Dari rekening konsorsium ke siapa saja, itu yang sedang kita telusuri. Itu tidak mudah dan gampang, karena menyangkut ribuan transaksi. Bahkan sangat mungkin ada transaksi-transaksi tunai. Penyidik sedang dalami termasuk transaksi tunai,” imbuhnya.
Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu membeberkan, total anggaran sebagaimana dalam kontrak lebih dari Rp5,9 triliun sudah dibayarkan 100% oleh pemerintah ke konsorsium.
Pihak konsorsium sudah memberikan hasil e-KTP, termasuk peralatannya ke pemerintah dalam hal ini Kemendagri. Menurut Alexander, saat pembayaran lunas tersebut, KPK memang tidak merekomendasikan agar proyek e-KTP dihentikan.
“Kalau kita hentikan sebelum itu, akan ada total lost. Kenapa tidak dibekukan? Karena kita butuhkan. Tidak mungkin dihentikan karena e-KTP dibutuhkan dan berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Jadi, sedang kita telusuri siapa saja yang menikmati uang Rp2,3 triliun itu,” tandasnya.
Laode Muhamad Syarif mengatakan, jumlah kerugian negara Rp2,3triliunitumerupakan hasil hampir akhir dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari temuan KPK berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi dan dua tersangka, ada saksi yang mengaku bahwa sebagian uang proyek e-KTP belum dibayarkan Kemendagri.
Di sisi lain, ada master key yang belumdiberikansubkontraktorpenyedia layanan dari luar negeri. Dia membenarkan, uang hasil korupsi berupa kerugian negara Rp2,3 triliun tidak dinikmati oleh dua tersangka yang sudah ditetapkan.
Dari dugaan dan temuan KPK, ada pihak lain baik perorangan maupun korporasi yang turut menikmati uang hasil korupsi itu. Namun, Syarif tidak mengungkapkan siapa pihak-pihak yang menerima dan menikmati uang tersebut.
“Rp2,3 triliun tidak hanya pergi ke dua orang tersangka itu. Ke orangorang lain itu akan dijawab pada waktunya,” tandas Syarif.
Dua tersangka yang sudah ditetapkan dalam kasus ini adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan e-KTP yang juga Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Sugiharto serta mantan Dirjen Dukcapil yang kini menjabat sebagai staf ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik Irman.
Basaria Panjaitan mengatakan, kemarinpenyidikmemeriksa delapan saksi untuk tersangka Irman maupun Sugiharto. Para saksi itu adalah Anny Ratnawati (mantan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Juni2008-Januari 2011 sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan).
Kemudian Afdal Noverman (wiraswasta), Adres Ginting (swasta/Ketua Bersama Konsorsium PNRI), Budi Zuniarta (Kepala Departemen Akuntansi Keuangan Umum Perum PNRI), Yuniarto (Direktur Produksi Perum PNRI), Haryoto (Staf Direktur Bidang Pengembangan Usaha Perum PNRI), dan Aslinah (swasta).
“Proyek e-KTP sudah dibicarakan sejak 2008, waktu Anny Ratnawati masih dirjen anggaran. Menurut penyidik, beliau banyak tahu. Apakah yang bersangkutan terima uang? belum ada kesimpulan,” ungkap Basaria.
Anny Ratnawati kemarin menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam. Saat keluar ruang steril pukul 13.28 WIB, Anny langsung berjalan cepat menuju mobil yang menjemputnya. Anny tidak memberikan komentar apa pun.
(maf)