Penanganan Kasus Hotel Indonesia oleh Kejagung Kental Nuansa Politis
A
A
A
JAKARTA - Kasus Build, Operate, and Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia yang merupakan BUMN dengan PT Grand Indonesia (GI) yang sedang ditangani Kejagung mengundang banyak tanda tanya.
Salah satunya dari Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Fahrul Muzzaki yang menilai Kejagung sedang memanfaatkan momentum tertentu dalam kasus tersebut.
“Kalau dilihat memang Kejagung tidak berwewenang menangani kasus ini. Tapi saya melihat justru Kejagung memanfaatkannya karena sekarang-sekarang ini adalah waktu yang kritis bagi Kejagung di tengah isu reshuffle. Jadi mereka harus menunjukkan kinerja tapi sayangnya tidak menangani kasus yang sesuai dengan wewenangnya,” ujar Fahrul di Jakarta, Selasa (30/3/2016).
Dia pun menyarankan, Kejagung jangan sampai ditunggangi kepentingan yang bersifat politis dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menegakkan hukum. Karena, lanjutnya, jika melihat kasus BOT ini seperti ada skenario lain di samping kasus hukum.
“Saya melihat ini ada skenario lain dimana PT HIN tidak melakukan apapun sebagai pihak yang dirugikan tapi malah Kejagung yang ngotot ingin menangani kasusnya,” katanya.
Menurutnya, jika melihat kasusnya, baik oknum-oknum tertentu di PT HIN maupun oknum Kejagung sedang mengincar kepentingan tertentu, bukan semata persoalan hukum.
“Kalau kita lihat permainannya lebih mengarah pada target politik dan bisnis tertentu, Kejagung dan PT HIN bukan semata mempermasalahkan PT GI,” imbuhnya.
Sebelumnya, Komisaris PT HIN yang baru ditempatkan oleh Meneg BUMN yang juga mantan relawan Jokowi-JK bicara kepada media bahwa PT GI telah melanggar perjanjian BOT dengan membangun dua gedung yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Setelah itu Kejagung langsung menyidik kasus tersebut karena menduga ada kerugian negara yang disebabkan pembangunan dua gedung tersebut.
Salah satunya dari Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Fahrul Muzzaki yang menilai Kejagung sedang memanfaatkan momentum tertentu dalam kasus tersebut.
“Kalau dilihat memang Kejagung tidak berwewenang menangani kasus ini. Tapi saya melihat justru Kejagung memanfaatkannya karena sekarang-sekarang ini adalah waktu yang kritis bagi Kejagung di tengah isu reshuffle. Jadi mereka harus menunjukkan kinerja tapi sayangnya tidak menangani kasus yang sesuai dengan wewenangnya,” ujar Fahrul di Jakarta, Selasa (30/3/2016).
Dia pun menyarankan, Kejagung jangan sampai ditunggangi kepentingan yang bersifat politis dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menegakkan hukum. Karena, lanjutnya, jika melihat kasus BOT ini seperti ada skenario lain di samping kasus hukum.
“Saya melihat ini ada skenario lain dimana PT HIN tidak melakukan apapun sebagai pihak yang dirugikan tapi malah Kejagung yang ngotot ingin menangani kasusnya,” katanya.
Menurutnya, jika melihat kasusnya, baik oknum-oknum tertentu di PT HIN maupun oknum Kejagung sedang mengincar kepentingan tertentu, bukan semata persoalan hukum.
“Kalau kita lihat permainannya lebih mengarah pada target politik dan bisnis tertentu, Kejagung dan PT HIN bukan semata mempermasalahkan PT GI,” imbuhnya.
Sebelumnya, Komisaris PT HIN yang baru ditempatkan oleh Meneg BUMN yang juga mantan relawan Jokowi-JK bicara kepada media bahwa PT GI telah melanggar perjanjian BOT dengan membangun dua gedung yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Setelah itu Kejagung langsung menyidik kasus tersebut karena menduga ada kerugian negara yang disebabkan pembangunan dua gedung tersebut.
(kri)