Pengamat: Pilkada Serentak 2015 Terkesan Dipaksakan
A
A
A
JAKARTA - Pilkada serentak yang akan digelar pada 9 Desember 2015 dinilai terkesan dipaksakan. Hal itu dapat dilihat undang-Undang (UU) yang baru sekali diputuskan namun harus langsung menjadi tahapan-tahapan pilkada.
Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, dalam keadaan tahapan yang dijalani, judicial review terhadap UU seharusnya digunakan untuk mereview jika ada politik dinasti dan calon tunggal.
"Belum lagi kesiapan KPU dan Bawaslu. Menghadapi perubahan perubahan seperti ini. Jauh dari ideal," ujar Siti usai mengisi diskusi Polemik Sindo Trijaya bertajuk Bansos! Bancakan Sosial di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2015).
Menurut Siti, pelaksanaan pilkada serentak ini terlalu nekat. Pasalnya, calon tunggal di pilkada ini terbilang banyak.
"Dan ini juga animo dari masyarakat dan parpol. Terhadap parpol menurut saya ini catatan yang serius terhadap pelaksanaan pilkada serentak, tapi kita terlalu nekat," ucapnya.
Dia menilai, masih banyak yang harus direvisi terkait UU Pilkada. Belum lagi dengan adanya peraturan dibolehkannya mantan napi atau tahanan yang statusnya bebas bersyarat dibolehkan untuk mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada.
Menurutnya, hal tersebut terlihat seperti demokrasi Indonesia minus moral politik dan etika. Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menyelenggarakan lantaran hanya mengacu pada UU.
Sementara itu, tugas Bawaslu menjadi jauh lebih berat daripada KPU, karena harus menunnjukkan bahwa lembaganya berfungsi mengatasi penyimpangan pilkada.
"Panwaslu dan Bawaslu harus bertugas sungguh-sungguh mencegah mengawasi secara proaktif, mencegah potensi pelanggaran dan semua pelanggaran.
PILIHAN:
Kemendagri: Parpol Mandiri Bisa Minimalisir Penyelewengan Bansos
Indonesia Mengutuk Teror Bersenjata di Paris
Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, dalam keadaan tahapan yang dijalani, judicial review terhadap UU seharusnya digunakan untuk mereview jika ada politik dinasti dan calon tunggal.
"Belum lagi kesiapan KPU dan Bawaslu. Menghadapi perubahan perubahan seperti ini. Jauh dari ideal," ujar Siti usai mengisi diskusi Polemik Sindo Trijaya bertajuk Bansos! Bancakan Sosial di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2015).
Menurut Siti, pelaksanaan pilkada serentak ini terlalu nekat. Pasalnya, calon tunggal di pilkada ini terbilang banyak.
"Dan ini juga animo dari masyarakat dan parpol. Terhadap parpol menurut saya ini catatan yang serius terhadap pelaksanaan pilkada serentak, tapi kita terlalu nekat," ucapnya.
Dia menilai, masih banyak yang harus direvisi terkait UU Pilkada. Belum lagi dengan adanya peraturan dibolehkannya mantan napi atau tahanan yang statusnya bebas bersyarat dibolehkan untuk mencalonkan diri dalam perhelatan pilkada.
Menurutnya, hal tersebut terlihat seperti demokrasi Indonesia minus moral politik dan etika. Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menyelenggarakan lantaran hanya mengacu pada UU.
Sementara itu, tugas Bawaslu menjadi jauh lebih berat daripada KPU, karena harus menunnjukkan bahwa lembaganya berfungsi mengatasi penyimpangan pilkada.
"Panwaslu dan Bawaslu harus bertugas sungguh-sungguh mencegah mengawasi secara proaktif, mencegah potensi pelanggaran dan semua pelanggaran.
PILIHAN:
Kemendagri: Parpol Mandiri Bisa Minimalisir Penyelewengan Bansos
Indonesia Mengutuk Teror Bersenjata di Paris
(kri)