Din Syamsuddin Kritik Hari Santri Nasional
A
A
A
BANDUNG - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Kendati telah ditetapkan menjadi Hari Santri, Pemerintah menegaskan tanggal 22 Oktober bukan hari libur.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamadiyah Din Syamsuddin menilai keputusan Jokowi tidak berpengaruh besar apabila Hari Santri bukan hari libur nasional.
"Buat apa ada Keppres (Keputusan Presiden) kalau masih tidak jadi hari libur nasional? Toh tanpa ada Keppres juga banyak pihak yang memperingatinya," ujarnya saat ditemui wartawan pada acara di The Trans Luxury Hotel, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/10/2015).
Din menilai, peringatan Hari Santri tidak memiliki visi terkait perjalanan bangsa ke depan.
Menurut dia, momentum tersebut hanya sebatas mengenang peristiwa Resolusi Jihad yang dilakukan santri dan ulama pada masa pra kemerdekaan dulu.
"Hari nasional itu merupakan momentum untuk lompatan ke depan. Seperti memperingati hari kemerdekaan. Kalau (hari santri) ini agak romantis ke belakang, ke depannya enggak tahu," kata Din.
Din menilai Hari Santri ini karena dinilai sebagai langkah mundur. Menurut dia, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai definisi santri itu sendiri.
Terlebih, kata Din, selama ini terdapat pemahaman yang berbeda mengenai santri itu sendiri.
"Ada dua pemahaman yang selama ini dikristalisasikan oleh hasil penelitian antropolog. Itu menimbulkan masalah di kalangan umat Islam. Selama ini kita berjuang mencairkan dikotomi santri abangan, proses ini sudah berlanjut dengan baik," katanya.
Namun, dengan adanya peringatan Hari Santri ini, lanjut Din, sama dengan menonjolkan kembali dikotomi kesantrian tersebut.
"Akan membalikan dikotomi itu lagi," katanya.
Oleh karena itu, menurutnya istilah Hari Santri akan lebih baik jika diganti dengan hari pendidikan Islam.
"Saya lebih cenderung jika hari santri itu dikaitkan dengan lembaga pendidikan pesantren, lebih kepada menjadi hari pendidikan Islam. Itu lebih bermakna," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
"Hari santri bukan hari libur, ya kontra produktif. Peringatannya hanya di masing-masing pesantren kumpul-kumpul kayak istigasah, majelis talim, masjid. Saya rasa enggak cukup itu," sambung Din.
Dia juga menyayangkap sikap pemerintah yang tidak melibatkan banyak ulama dalam menetapkan Hari Santri ini.
"Sayangnya ini tidak dibicarakan dengan tokoh-tokoh lainnya, ormas Islam. Tidak sekadar menyetujui, tapi apa formatnya sehingga Hari Santri tidak sekedar mengingat hari Resolusi Jihad," tandasnya.
PILIHAN:
Kasus Capella dan Dewie Limpo Turunkan Citra Pendukung Jokowi-JK
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamadiyah Din Syamsuddin menilai keputusan Jokowi tidak berpengaruh besar apabila Hari Santri bukan hari libur nasional.
"Buat apa ada Keppres (Keputusan Presiden) kalau masih tidak jadi hari libur nasional? Toh tanpa ada Keppres juga banyak pihak yang memperingatinya," ujarnya saat ditemui wartawan pada acara di The Trans Luxury Hotel, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/10/2015).
Din menilai, peringatan Hari Santri tidak memiliki visi terkait perjalanan bangsa ke depan.
Menurut dia, momentum tersebut hanya sebatas mengenang peristiwa Resolusi Jihad yang dilakukan santri dan ulama pada masa pra kemerdekaan dulu.
"Hari nasional itu merupakan momentum untuk lompatan ke depan. Seperti memperingati hari kemerdekaan. Kalau (hari santri) ini agak romantis ke belakang, ke depannya enggak tahu," kata Din.
Din menilai Hari Santri ini karena dinilai sebagai langkah mundur. Menurut dia, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai definisi santri itu sendiri.
Terlebih, kata Din, selama ini terdapat pemahaman yang berbeda mengenai santri itu sendiri.
"Ada dua pemahaman yang selama ini dikristalisasikan oleh hasil penelitian antropolog. Itu menimbulkan masalah di kalangan umat Islam. Selama ini kita berjuang mencairkan dikotomi santri abangan, proses ini sudah berlanjut dengan baik," katanya.
Namun, dengan adanya peringatan Hari Santri ini, lanjut Din, sama dengan menonjolkan kembali dikotomi kesantrian tersebut.
"Akan membalikan dikotomi itu lagi," katanya.
Oleh karena itu, menurutnya istilah Hari Santri akan lebih baik jika diganti dengan hari pendidikan Islam.
"Saya lebih cenderung jika hari santri itu dikaitkan dengan lembaga pendidikan pesantren, lebih kepada menjadi hari pendidikan Islam. Itu lebih bermakna," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
"Hari santri bukan hari libur, ya kontra produktif. Peringatannya hanya di masing-masing pesantren kumpul-kumpul kayak istigasah, majelis talim, masjid. Saya rasa enggak cukup itu," sambung Din.
Dia juga menyayangkap sikap pemerintah yang tidak melibatkan banyak ulama dalam menetapkan Hari Santri ini.
"Sayangnya ini tidak dibicarakan dengan tokoh-tokoh lainnya, ormas Islam. Tidak sekadar menyetujui, tapi apa formatnya sehingga Hari Santri tidak sekedar mengingat hari Resolusi Jihad," tandasnya.
PILIHAN:
Kasus Capella dan Dewie Limpo Turunkan Citra Pendukung Jokowi-JK
(dam)