Aturan Selisih Suara Picu Politik Transaksional di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Pengajuan perselisihan sengketa hasil suara pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibatasi yakni maksimal selisih suara 2 persen sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pilkada.
Aturan ini dinilai dapat memperparah terjadinya politik transaksional penyelenggara pilkada, dalam hal KPUD dengan pasangan calon kepala daerah (paslonkada).
"Pasangan calon bisa saja 'kongkalingkong' dengan KPUD untuk membuat margin," kata pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef saat dihubungi wartawan, Jakarta,
"Atau selisih suaranya dengan suara lawannya lebih besar melebihi 2 persen, sehingga kemenangan calon tersebut nantinya tidak bisa disengketakan ke MK," imbuhnya.
(Baca juga: Tiga Daerah Calon Tunggal Minta Anggarannya Dikoreksi)
Menurut Nasef, potensi ini terjadi karena pasangan calon kepala daerah (paslonkada) maupun pendukungnya akan menempuh berbagai cara, agar dapat memenangkan pilkada.
Terlebih transaksi politik uang dalam pilkada merupakan yang biasa terjadi dan bukan hal yang tabu. "Jadi, kongkalikong antara penyelenggaran dan peserta ini sangat potensial terjadi," imbuhnya.
Nasef dapat memahami, sebenarnya pembatasan di MK itu untuk mengantisipasi membludaknya penanganan sengketa hasil pilkada di MK dengan adanya Pilkada Serentak 2015.
Karena diakuinya, akan ada lebih dari 800 paslonkada yang akan berkompetisi pada 9 Desember 2015 mendatang. "Namun demikian, mengingat MK telah menyatakan ketentuan tersebut konstitusional, maka suka tidak suka itulah hukum positif yang saat ini berlaku," ujarnya.
Guna mengantisipasi terjadinya 'kongkalikong' tersebut, dirinya meminta agar peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dimaksimalkan.
Jajaranya hingga ke daerah harus mampu bekerja secara lebih profesional dan tidak pandang bulu. "Ketika menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan KPUD khususnya soal utak-atik perolehan suara, hendaknya Panwaslu dan DKPP bertindak lebih tegas," harapnya.
Pilihan:
Rachmawati: Kenapa Tak di Era Mega Tuntut Minta Maaf ke Soekarno
Argumen Pemerintah Terkait Kabut Asap Sulit Diatasi
Aturan ini dinilai dapat memperparah terjadinya politik transaksional penyelenggara pilkada, dalam hal KPUD dengan pasangan calon kepala daerah (paslonkada).
"Pasangan calon bisa saja 'kongkalingkong' dengan KPUD untuk membuat margin," kata pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef saat dihubungi wartawan, Jakarta,
"Atau selisih suaranya dengan suara lawannya lebih besar melebihi 2 persen, sehingga kemenangan calon tersebut nantinya tidak bisa disengketakan ke MK," imbuhnya.
(Baca juga: Tiga Daerah Calon Tunggal Minta Anggarannya Dikoreksi)
Menurut Nasef, potensi ini terjadi karena pasangan calon kepala daerah (paslonkada) maupun pendukungnya akan menempuh berbagai cara, agar dapat memenangkan pilkada.
Terlebih transaksi politik uang dalam pilkada merupakan yang biasa terjadi dan bukan hal yang tabu. "Jadi, kongkalikong antara penyelenggaran dan peserta ini sangat potensial terjadi," imbuhnya.
Nasef dapat memahami, sebenarnya pembatasan di MK itu untuk mengantisipasi membludaknya penanganan sengketa hasil pilkada di MK dengan adanya Pilkada Serentak 2015.
Karena diakuinya, akan ada lebih dari 800 paslonkada yang akan berkompetisi pada 9 Desember 2015 mendatang. "Namun demikian, mengingat MK telah menyatakan ketentuan tersebut konstitusional, maka suka tidak suka itulah hukum positif yang saat ini berlaku," ujarnya.
Guna mengantisipasi terjadinya 'kongkalikong' tersebut, dirinya meminta agar peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dimaksimalkan.
Jajaranya hingga ke daerah harus mampu bekerja secara lebih profesional dan tidak pandang bulu. "Ketika menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan KPUD khususnya soal utak-atik perolehan suara, hendaknya Panwaslu dan DKPP bertindak lebih tegas," harapnya.
Pilihan:
Rachmawati: Kenapa Tak di Era Mega Tuntut Minta Maaf ke Soekarno
Argumen Pemerintah Terkait Kabut Asap Sulit Diatasi
(maf)