Tiga Karya untuk Satu Semangat

Minggu, 13 September 2015 - 10:42 WIB
Tiga Karya untuk Satu...
Tiga Karya untuk Satu Semangat
A A A
Gelaran kedua Process in Progress menghadirkan tiga koreografer muda terpilih dalam karya tari Pintu Manusia , Ndemi Ku Kita , dan Ghulur , Jumat (11/9), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Ketiga karya dari koreografer muda terpilih-Ari Ersandi, Gintar Pramana Ginting, dan Mohammad Hariyanto-menyingkap satu semangat, yaitu modernisme yang bertumpu pada tradisi.

Dalam tiga karya tari yang dipertunjukkan, terlihat sentuhan seni tari tradisional dipadukan dengan tari kontemporer sebagai ciri gaya muda representatif ketiga koreografer muda. Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Sukarji Sriman menyatakan, program Process in Progress merupakan program unggulan Komite Tari DKJ. Hal tersebut berdasarkan hasil evaluasi Process in Progress #1 tahun lalu.

Menurutnya, program itu tidak hanya berbentuk pementasan, melainkan juga dalam bentuk proses pengembangan dan pembelajaran dari konsep ide, gagasan, dan pola pikir penciptaan tari serta kreativitas bagi para penata tari muda yang sedang mencari identitas diri. Tari yang dihasilkan dari ketiga koreografer pun dinilai kaya dan berjiwa muda.

Maka, program Process in Progress dinilai penting dan perlu dikerjakan secara berkelanjutan agar dapat memperkaya khazanah tari Indonesia serta mendapatkan pola pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan hasil karya penciptaan tari di Indonesia. ”Program ini perlu dikerjakan secara terus-menerus untuk memperkaya khazanah tari Indonesia serta dapat meningkatkan penciptaan tari,” kata Sukarji.

Sementara, Ketua DKJ Irawan Karseno menilai, dalam membuat karya tari, ketiga koreografer muda tersebut berangkat dari disiplin-disiplin ilmu yang berbeda sehingga dapat menemukan ruang yang baru dan menginterpretasikannya ke dalam tari. Dengan begitu, ketiga koreografer dapat memberikan sumbangsih dan memperkaya seni tari dengan jiwa yang bebas dan lebih besar tanpa melewati pakempakem yang berlaku di dalam seni tari.

Seni tari menurut Irawan bukanlah jenis kesenian yang hanya sibuk dengan jagat kecil seperti lekuk dan gerakan tubuh. Lebih dari itu, seni tari menjemput suatu hal yang lebih besar. Dari lekukan dan gerakan tubuh itulah tari dapat berbicara, berdialog, dan menyalurkan emosi yang beragam terhadap penonton. Suatu hal yang boleh dikatakan cukup besar untuk sebuah hasil.

”Tari bukanlah perihal jagat kecil. Melebihi itu, tari menjemput suatu hal yang lebih besar,” kata Irawan. Pendamping tari Ndemi Ku Kita Zen Hae menilai, karya Gintar Pramana Ginting, merupakan karya koreografi yang tidak berprestasi mengejar kebaruan. Menurutnya, Gintar justru memaksimalkan kosagerak tari tradisional demi mencapai nilai baru untuk dirinya.

Secara gamblang Gintar, melalui Ndemi Ku Kita berlatar Karo, Sumatera Utara mencoba menafsir ulang khazanah tari tradisional yang berkembang di daerah tersebut. Pemahaman Ginting tentang tari Karo dinilai cukup dikuasai sehingga nilai pembaruan yang coba dimasukkan ke dalam Ndemi Ku Kita tidak nampak asalasalan. Singkatnya, Gintar mencoba memaksimalkan apaapa yang dikuasai dari khazanah tari tradisional untuk melahirkan dan menelurkan karya tari kontemporer.

”Gintar sangat memahami tari tradisional Karo, sehingga pembaruan yang coba dimasukkan tidak asal-asalan,” kata Zen. Ndemi Ku Kita merupakan karya tari kontemporer yang bersumber pada tari tradisional. Sisi naratif karya tersebut menurutnya mencoba memberi satu problematika umum yang merundung para perantau tak terkecuali Gintar sebagai anak perantauan.

Zen menilai, dengan kata lain Gintar merupakan koreografer modern sebagai manusia perbatasan yang mencoba merefleksikan hal tersebut ke dalam tariannya. Sementara, karya Hariyanto Ghulur, menurut pendamping tari Hanafi, adalah bentuk tari yang menarik penonton dalam keprihatinan terhadap alam. Tari Ghulur mencoba mempertanyakan ulang tentang keadaan tanah yang retak apakah dapat menghasilkan tumbuhtumbuhan untuk dimakan manusia.

Dari hal itu Hanafi berkesimpulan bahwa gerakan dalam Ghulur adalah bentuk gerak keprihatinan yang begitu kuat tertancap. ”Ghulur adalah sebuah tari yang mencoba menyampaikan tentang keprihatinan,” kata Hanafi. Kekeringan menurutnya adalah kata yang identik dengan desa. Pertanian dan tanah retak adalah petakanya. Namun sialnya, kota berada di pihak lain dengan membangun diri di balik seng-seng sehingga tidak tahu lagi di mana keberadaan diri.

Koreografi Hariyanto dalam Ghuluh menurutnya adalah tari yang mencoba masuk dan menusuk relung emosi penonton. Dengan menghentak-hentakkan seng, si penari solo seolah mencoba merangsang pertanyaan ulang tentang kesuburan dan tanah retak.

Imas damayanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6588 seconds (0.1#10.140)