Koalisi Pilkada Masih Berlandas Pragmatisme Politik
A
A
A
JAKARTA - Koalisi yang dibangun partai politik (parpol) dalam pilkada serentak 2015 masih dilandasi pragmatisme. Hasil kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan parpol belum berubah dari paradigma lamanya yang mengusung calon hanya berdasarkan pertimbangan menang-kalah.
”Bersifat pragmatis dan hanya mengejar kemenangan. Hanya elektabilitas calon yang dipikirkan,” ujar Koordinator Nasional JPPR Masykuruddin Hafid saat memaparkan kajian ”Peta Koalisi dalam Pilkada Serentak” di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin. JPPR melakukan pemetaan terhadap 630 pasangan calon di seluruh Indonesia.
Dari situ tergambar bahwa koalisi yang dibangun parpol lebih cair dan tidak berdasarkan ideologi, visi, misi, dan program yang sama. Pengamatan terhadap parpol tersebut terlihat PDI Perjuangan paling banyak memberikan dukungan, yakni kepada 244 pasangan calon. Kemudian, Partai Gerindra 211 dan Partai Demokrat 205. Disusul Partai Nasdem 199 dan PAN 195. Berikutnya Partai Hanura 187 pasangan calon, PKB 174, dan PKS 162.
Partai Golkar mendukung 116 pasangan calon, PKPI 90, PBB 78, dan PPP 70. ”Dari temuan kami, PDIP dan PAN paling merata dalam membangun koalisi dengan partai lainnya,” ujarnya. JPPR juga menemukan bahwa PDIP paling banyak berkoalisi dengan Nasdem, yakni 88 pasangan calon. Gerindra paling banyak membangun koalisi dengan PAN, yaitu 76 pasangan calon.
Sementara PAN paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 77 pasangan calon. Adapun Demokrat paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 75 pasangan calon. Untuk Hanura paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yaitu dengan 71 pasangan calon. Sementara PKB paling banyak berkoalisi dengan NasDem dengan 66 pasangan calon, PKS dengan PAN 65 pasangan calon.
”Sedangkan Partai Golkar paling banyak berkoalisi dengan Gerindra, yaitu untuk 40 pasangan calon,” katanya memperincikan. Menanggapi temuan JPPR tersebut, pengamat dari Management Systems International (MSI) Ahsanul Minan menyebutkan koalisi yang terbentuk di pilkada sebagai koalisi pelangi.
Dia melihat kendati parpol memiliki warna ideologi ataupun visi-misi yang berbeda, mereka tetap dapat berkoalisi. ”Koalisi ini hanya bertahan jangka menengah. Jika dilakukan sampai jangka panjang akan merugikan mereka sendiri, karena dapat melunturkan identitas partai,” kata dia.
Ahsanul mengatakan, koalisi yang dibangun seperti dalam pilkada ini akan berdampak pada tidak loyalnya masyarakat pada partai. Pasalnya, ideologi partai sama sekali tidak tersampaikan kepada masyarakat. ”Masyarakat berpikir memilih partai apa pun sama. Bahkan, ada fenomena koalisi gemuk untuk calon petahana tidak bisa dihindari demi meraih kemenangan,” paparnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilih dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dengan peta koalisi seperti itu, masyarakat harus semakin aktif meneliti figur yang berkontestasi di pilkada. Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan kepercayaan pada pilihan partai.
”Karena cair koalisinya tidak bisa hanya menilai dari partai pengusung. Pemilih harus mendalami latar belakang dan rekam jejak calon, penting melihat apa visi-misinya. Masyarakat harus menjadi pemilih yang berdaya,” tuturnya.
Dita angga
”Bersifat pragmatis dan hanya mengejar kemenangan. Hanya elektabilitas calon yang dipikirkan,” ujar Koordinator Nasional JPPR Masykuruddin Hafid saat memaparkan kajian ”Peta Koalisi dalam Pilkada Serentak” di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin. JPPR melakukan pemetaan terhadap 630 pasangan calon di seluruh Indonesia.
Dari situ tergambar bahwa koalisi yang dibangun parpol lebih cair dan tidak berdasarkan ideologi, visi, misi, dan program yang sama. Pengamatan terhadap parpol tersebut terlihat PDI Perjuangan paling banyak memberikan dukungan, yakni kepada 244 pasangan calon. Kemudian, Partai Gerindra 211 dan Partai Demokrat 205. Disusul Partai Nasdem 199 dan PAN 195. Berikutnya Partai Hanura 187 pasangan calon, PKB 174, dan PKS 162.
Partai Golkar mendukung 116 pasangan calon, PKPI 90, PBB 78, dan PPP 70. ”Dari temuan kami, PDIP dan PAN paling merata dalam membangun koalisi dengan partai lainnya,” ujarnya. JPPR juga menemukan bahwa PDIP paling banyak berkoalisi dengan Nasdem, yakni 88 pasangan calon. Gerindra paling banyak membangun koalisi dengan PAN, yaitu 76 pasangan calon.
Sementara PAN paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 77 pasangan calon. Adapun Demokrat paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 75 pasangan calon. Untuk Hanura paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yaitu dengan 71 pasangan calon. Sementara PKB paling banyak berkoalisi dengan NasDem dengan 66 pasangan calon, PKS dengan PAN 65 pasangan calon.
”Sedangkan Partai Golkar paling banyak berkoalisi dengan Gerindra, yaitu untuk 40 pasangan calon,” katanya memperincikan. Menanggapi temuan JPPR tersebut, pengamat dari Management Systems International (MSI) Ahsanul Minan menyebutkan koalisi yang terbentuk di pilkada sebagai koalisi pelangi.
Dia melihat kendati parpol memiliki warna ideologi ataupun visi-misi yang berbeda, mereka tetap dapat berkoalisi. ”Koalisi ini hanya bertahan jangka menengah. Jika dilakukan sampai jangka panjang akan merugikan mereka sendiri, karena dapat melunturkan identitas partai,” kata dia.
Ahsanul mengatakan, koalisi yang dibangun seperti dalam pilkada ini akan berdampak pada tidak loyalnya masyarakat pada partai. Pasalnya, ideologi partai sama sekali tidak tersampaikan kepada masyarakat. ”Masyarakat berpikir memilih partai apa pun sama. Bahkan, ada fenomena koalisi gemuk untuk calon petahana tidak bisa dihindari demi meraih kemenangan,” paparnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilih dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dengan peta koalisi seperti itu, masyarakat harus semakin aktif meneliti figur yang berkontestasi di pilkada. Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan kepercayaan pada pilihan partai.
”Karena cair koalisinya tidak bisa hanya menilai dari partai pengusung. Pemilih harus mendalami latar belakang dan rekam jejak calon, penting melihat apa visi-misinya. Masyarakat harus menjadi pemilih yang berdaya,” tuturnya.
Dita angga
(bbg)