Perlindungan Pengungsi

Rabu, 09 September 2015 - 10:57 WIB
Perlindungan Pengungsi
Perlindungan Pengungsi
A A A
Arus pengungsi yang besar tengah melanda Eropa dalam beberapa minggu terakhir. Data UNCHR menyebutkan bahwa Suriah pada 2014 adalah negara asal pengungsi terbanyak di dunia; menggantikan posisi Serbia pada tahun 2000.

Negara terbesar kedua dan seterusnya adalah Irak, Afganistan, Serbia, Pakistan, China hingga Meksiko. Masalah pengungsi di dunia sudah membuat pusing para kepala negara dunia, karena para pengungsi bukan hanya berasal dari Timur Tengah tetapi juga Asia, walaupun jumlah tidak sebanyakpengungsiTimurTengah. Kita masih ingat beberapa bulan lalu ribuan pengungsi dari etnis Rohingya juga mengadu nasib ke negara-negara sekitar untuk bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

UNHCR mencatat bahwa tahun 2013 ada 51 juta orang yang terpaksa pindah (forced diplaced person ) baik di dalam atau di luar wilayah hukum negara mereka sendiri. Sebagian besar pengungsi adalah korban dari konflik yang terjadi di dalam negeri mereka. Selain pengungsi dari wilayah Palestina yang telah terjadi sejak pendudukan Israel, pengungsipengungsi dari negara-negara lain adalah buah dari konflik geopolitik antarnegara.

Pertanyaan mengenai pengungsi yang paling mendesak untuk dijawab adalah bagaimana melindungi mereka ketika berhasil keluar dari wilayah yang telah mengancam hidup mereka. Masih banyak negara-negara di dunia ini yang belum sepakat untuk menampung pengungsi, apalagi memberikan jaminan hidup dan pekerjaan. Salah satu hal yang menghambat perlindungan pengungsi adalah definisi pengungsi itu sendiri.

Definisi pengungsi yang tercantum dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi berasal dari konteks masa pengungsian abad ke-19 akibat Perang Dunia I dan II. Pada saat Perang Dunia II berakhir, jumlah pengungsi yang ditangani United Nations Relief and Rehabilitation Administration, sebuah lembaga yang didirikan untuk mengelola masalah pengungsi, adalah 40 juta orang. Pengaturan pengungsi itu kemudian dituangkan menjadi Konvensi Jenewa 1951 terkait denganStatusPengungsi.

Dalam konvensi itu, pengungsi adalah mereka yang melarikan diri dari penganiayaan (persecution) atas dasar agama, ras, pendapat politik, kewarganegaraan, atau keanggotaan kelompok sosial tertentu dan harus berada di luar negaranya. Definisi ini terbatas hanya kepada para pengungsi yang di dalam Eropa. Definisi itu kemudian diperbarui dengan amandemen melalui Protokol tahun 1967 yang menghapuskan batas geografis sehubungan dengan fenomena baru pengungsi di luar negaranegara Eropa.

Meski demikian, definisi tersebut juga mulai dipertanyakan karena sebenarnya ada faktor lain yang mendorong terjadinya pengungsi, misalnya pemerintahan yang otoriter dan represif, melakukan pelanggaran HAM pada warganya, korup dan tidak stabil secara politik. Contohnya adalah kekerasan yang terjadi di Kenya tahun 2007 di mana lebih dari 600.000 orang meninggalkan tempat tinggalnya, juga fenomena Musim Semi di wilayah Arab yang menyebar mulai Libya hingga Suriah.

Selain konflik, pengungsi jugamunculakibatfaktor-faktor lingkungan seperti kekeringan, kelangkaan pangan, banjir, atau bencana alam lainnya. Faktorfaktor ini dapat menimbulkan masalah ketika bersinggungan dengan lemahnya pemerintahan dan korupsi. Perbedaan pemicu pengungsi tersebut membutuhkan sebuah solusi yang juga harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing.

Kasus pengungsian dari Suriah dan Timur Tengah tidak dapat diselesaikan dengan cara yang serupa dengan pengungsian etnis Rohingya di Myanmar. Data UNHCR juga menunjukkan walaupun banyak pengungsi yang berhasil mencapai negara-negara yang ramah terhadap mereka, sebagian besar masih terjebak dalam wilayah yang dekat dengan sumber konflik.

Negara-negara yang menampung pengungsi itu sebagian besar adalah negaranegara berkembang yang tidak memiliki kapasitas keuangan untuk menyokong kehidupan para pengungsi dengan layak. Contoh adalah Etiopia yang menampung 404 pengungsi untuk setiap USD1 per kapita GDP di negeri itu. Para pengungsi di Etiopia kebanyakan berasal dari konflik etnik di Sudan Selatan dan Sudan. Pakistan menempati urutan kedua dengan tanggungan 334 pengungsi per USD1 kapita.

Bandingkan dengan Jerman yang mampu menyokong 17 pengungsi per USD1 per kapita GDP. Masalahnya sebagian besar negara-negara tersebut tidak terikat dalam Konvensi 1951 yang wajib menerima para pengungsi sesuai dengan kriteria yang dijabarkan. Karena itu, tidak ada kebersamaan dalam mengatasi gelombang pengungsi. Mereka juga tidak memiliki forum yang intensif membahas masalah pengungsi karena permusuhan yang masih terasa kental.

Dalam hal ini, negara-negara anggota ASEAN relatif lebih baik karena bersama dengan UNHCR memiliki pertemuan tahunan regional tingkat menteri tentang penyelundupan manusia, trafficking, dan kejahatan transnasional. Dalam pertemuan Maret 2011 disepakatidisusunnya kerangkakerja inklusif yang tidak mengikat: Regional Cooperation Framework (RCF) untuk mengatasi masalah migrasi yang sifatnya tidak teratur di wilayah Asia-Pasifik.

Melalui forum tersebut, sebagai contoh, sedikit demi sedikit masalah pengungsi Rohingya dapat dicarikan jalan keluarnya. Di Uni Eropa, ada upaya kolektif untuk menerima pengungsi. Hal ini telah ditegaskan melaluiDewanHakAsasiManusia Eropa di mana para anggotanya harus menaati keputusan mengenai pengungsi yang bersifat mengikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa sudah menampung kira-kira 15% dari total jumlah pengungsi dunia.

Sayangnya, perkembangan yang relatif baik ini menemukan tantangan besar saat arus gelombang pengungsi terjadi bersamaan dengan perlambatan ekonomi dunia pada 2015. Eropa termasuk yang tercekik akibat inflasi dan tingginya pengangguran. Tak heran Hungaria, Austria, dan Yunani menjadi gerah dan menolak arus masuknya pengungsi ke negerinya. Dari pengalaman tersebut dapat dipetik hikmah bahwa penanganan pengungsi tidak lepas dari kalkulasi ekonomi, politik, serta sosial.

Dalam batas-batas tertentu, suatu negara dapat secara sendirian membuka diri bagi arus pengungsi, khususnya bila kedatangan para pengungsi itu masih bisa ditanggung oleh anggaran pemerintah dan tidak dianggap mengganggu hajat hidup para warga negara, khususnya pembayar pajak. Namun bila jumlah pengungsi meningkat tajam, negaranegara yang ditopang oleh kerja sama regional akan memiliki rasa percaya diri yang relatif lebih baik untuk menyambut pengungsi.

Negara yang relatif lebih besar dan penduduknya majemuk akan lebih mudah pula menerima pengungsi, karena keseimbangan sosialnya tidak otomatis mengubah komposisi mayoritas etnis atau kelompok tertentu.

Untuk itu perlu dipertimbangkan agar UNHCR membuat terobosanterobosan dalam menggalang dukungan dari organisasi kawasan dan forum-forum kerja sama antarnegara.

Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3563 seconds (0.1#10.140)