Proyek Listrik 35.000 MW Kembali Picu Kegaduhan
A
A
A
JAKARTA - Internal Kabinet Kerja kembali gaduh. Persoalan teranyar dipicu perbedaan pendapat perihal proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW).
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli berkeinginan memangkas target megaproyek tersebut, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bersikukuh mempertahankan.
Rizal pesimistis proyek listrik 35.000 MW bisa tercapai dalam tempo lima tahun ke depan. Menurut dia, target realistis yang mampu dicapai dalam kajian terbaru proyek pembangunan pembangkit listrik dalam lima tahun ke depan hanya mencapai 16.167 MW. Sikap Rizal tersebut merupakan penegasan apa yang telah diasampaikan saat serah terima jabatan menteri koordinator maritim dan sumber daya pada pertengahan Agustus lalu.
Saat itu dia langsung menarget akan merevisi proyek listrik 35.000 MW karena tidak realistis di tengah kondisi perekonomian yang sedang melemah. Untuk itu, dia meminta menteri ESDM dan Dewan Energi Nasional mengevaluasi ulang. ”Setelah kami kaji dan kami bahas 35.000 MW tidak mungkin dicapai dalam waktu lima tahun ke depan.
Mungkin sepuluh tahun baru bisa,” ujar Rizal seusai rapat koordinasi bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir, di Jakarta kemarin. Dalam rapat tersebut Sudirman Said tidak hadir. Selain mereka turut hadir sejumlah perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Bukan hanya itu, Rizal menilai proyek listrik 35.000 MW akan menjadi beban keuangan PLN karena beban puncak kelistrikan nasional pada 2019 sebesar 74.525 MW. Padahal, saat ini juga telah berlangsung pembangunan pembangkit listrik dari program percepatan (fast track program/ FTP) 10.000 MW tahap dua yang masih belum selesai sebesar 7.000 MW.
Apabila program listrik 35.000 MW dipaksakan ditambah 7.000 MW, ujar Rizal, jumlah kapasitas akan melebihi beban puncak sebesar 95.586 MW pada 2019. Padahal, kebutuhan sampai 2019 hanya 74.525 MW. Dengan begitu, akan ada kapasitas yang tidak terpakai sebesar 21.331 MW. ”Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan oleh swasta, membeli sekitar 72% dari nilainya. Kalau ini terjadi, PLN akan mengalami kesulitan keuangan,” tutur Rizal.
Dia memilih menggulirkan kebijakan program kelistrikan baru yang diberi nama Proyek Percepatan Dan Diversifikasi Listrik (PPD-Listrik). Kebijakan tersebut secara otomatis akan menggugurkan program megaproyek 35.000 MW dengan capaian target tuntas lima tahun ke depan. ”Jadi, kesimpulannya program itu tidak realistis sekaligus membahayakan keuangan PLN, yang bisa berujung pada kebangkrutan PLN,” katanya.
Rizal mengaku sudah menyampaikan rencana pemangkasan pencapaian target 35.000 MW kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, Presiden memahami kajian yang telah digulirkannya tersebut. Dia mengakui belum ada koordinasi dengan Menteri ESDM Sudirman Said karena dalam rakor Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya tersebut Sudirman Said berhalangan hadir, hanya diwakili oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman.
”Kami sudah undang dan kami harap menterinya datang, Pak Dirjen nanti yang melaporkan,” ujarnya. Jusuf Kalla (JK) kembali pasang badan terkait proyek tersebut. Dia menandaskan program pembangkit listrik 35.000 MW merupakan putusan Presiden Jokowi yang tidak bisa diubah secara tiba-tiba. JK lantas menegaskan, pemerintah telah siap untuk mendukung program listrik 35.000 MW itu.
”Kalau putusan Presiden siapa yang bisa mengubahnya,” kata JK saat dikonfirmasi di kantornya kemarin mengenai langkah Rizal Ramli. Di tempat terpisah, Sudirman Said kembali menegaskan tidak ada pemangkasan target megaproyek 35.000 MW. Bahkan pihaknya tetap optimistis tercapai dalam lima tahun ke depan.
”Tidak ada penurunan target pembangunan 35.000 MW. Kami masih tetap optimistis untuk mengejar target tersebut,” ujarnya di sela-sela media briefing di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kuningan, Jakarta, kemarin. Sudirman menegaskan, megaproyek 35.000 MW harus diteruskan karena masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik. Pencapaian rasio elektrifikasi (RE) dari Indonesia merdeka sampai saat ini baru mencapai 86,39%.
”Listrik adalah jendela dunia. Saat saya memaparkan kepada Presiden terkait pembangunan pembangkit ini sampai di pulau-pulau terluar. Pak Menteri Pariwisata langsung terbayang akan tumbuh banyaknya potensi wisata baru yang muncul,” katanya. Sudirman lebih jauh menuturkan, megaproyek kelistrikan yang telah diresmikan dan diluncurkan Presiden di Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu ini membutuhkan investasi USD72,942 miliar atau sekitar Rp1.021 triliun.
Investasi sebesar itu akan menyerap Tingkat Komponen Dalam Negeri sebesar USD29,2 miliar atau Rp408 triliun. ”Selama lima tahun kita akan kebagian USD29,2 miliar,” ujarnya. Selain menggairahkan industri dalam negeri, program tersebut juga akan membuka dan menyerap tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung sebesar 3,65 juta orang.
Rencananya, investasi lebih dari Rp1.000 triliun itu untuk membangun 291 pembangkit listrik, 732 jaringan transmisi, 1.275 gardu induk, 301.300 konduktor aluminium, 2.600 set trafo, dan menggunakan 3,5 juta ton baja. ”Untuk kebutuhan baja akan didukung penuh oleh perusahaan BUMN Krakatau Steel (KS). PLN sudah menjalin kerja sama dengan KS sebagai bentuk konsolidasi BUMN,” katanya.
Bisa Tidak Terealisasi
Direktur Indonesia Resources Studi (IRES) Marwan Batubara mengkhawatirkan kegaduhan yang terjadi di kabinet antara Rizal, JK, dan Sudirman justru akan membuat pembangunan pembangkit tidak terealisasi. Menurut dia, jika pemerintah ingin mengubah capaian target seharusnya peraturan presiden atau peraturan menteri ESDM diubah dulu.
”Tidak perlu gaduh ributribut di ruang publik. Justru ini menjadi sebuah ketakutan investor untuk berinvestasi di Indonesia,” tandasnya kemarin. Adapun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengkritik langkah Rizal Ramli yang memangkas proyek 35.000 MW, karena proyek tersebut merupakan proyek prioritas Presiden Jokowi dan telah masuk dalam RJPMN 2015-2019.
Sebagai pembantu Presiden, seharusnya Rizal memastikan bahwa proyek dapat terlaksana, bukan justru memasang langkah-langkah kuda mengurangi target pencapaian proyek 35.000 MW. ”Presiden sudah mengatakan tidak akan mengurangi target 35.000 MW. Jadi, agenda apa kok kemudian targetnya dipangkas,” katanya kemarin.
Fabby meyakini pemerintah punya dasar mengapa program 35.000 MW dibuat dan mempunyai dasar tertentu atau tidak asal-asalan. Secara kebutuhan, konsumsi listrik juga mengalami pertumbuhan secara terus- menerus. Karena itu, dibutuhkan pasokan listrik yang tersedia harus mampu memenuhi kebutuhan listrik nasional.
”Kita lihat, untuk memenuhi kebutuhan listrik masih lambat. Pabrik-pabrik saja harus antre kalau mau mendapatkan pasokan listrik,” ujarnya. Dia menilai proyek 35.000 MW harus dilaksanakan saat ini seacara bertahap, walaupun targetnya secara keseluruhan tidak harus produksi dalam kurun waktu 2015-2019 mengingat proses pembangunan pembangkit tidak sekejap bisa dilakukan.
Dilihat dari power purchase agreement (PPA) saja sampai pada pembangunan pembangkit membutuhkan waktu 2-3 tahun.
Nanang wijayanto/ant
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli berkeinginan memangkas target megaproyek tersebut, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bersikukuh mempertahankan.
Rizal pesimistis proyek listrik 35.000 MW bisa tercapai dalam tempo lima tahun ke depan. Menurut dia, target realistis yang mampu dicapai dalam kajian terbaru proyek pembangunan pembangkit listrik dalam lima tahun ke depan hanya mencapai 16.167 MW. Sikap Rizal tersebut merupakan penegasan apa yang telah diasampaikan saat serah terima jabatan menteri koordinator maritim dan sumber daya pada pertengahan Agustus lalu.
Saat itu dia langsung menarget akan merevisi proyek listrik 35.000 MW karena tidak realistis di tengah kondisi perekonomian yang sedang melemah. Untuk itu, dia meminta menteri ESDM dan Dewan Energi Nasional mengevaluasi ulang. ”Setelah kami kaji dan kami bahas 35.000 MW tidak mungkin dicapai dalam waktu lima tahun ke depan.
Mungkin sepuluh tahun baru bisa,” ujar Rizal seusai rapat koordinasi bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir, di Jakarta kemarin. Dalam rapat tersebut Sudirman Said tidak hadir. Selain mereka turut hadir sejumlah perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Bukan hanya itu, Rizal menilai proyek listrik 35.000 MW akan menjadi beban keuangan PLN karena beban puncak kelistrikan nasional pada 2019 sebesar 74.525 MW. Padahal, saat ini juga telah berlangsung pembangunan pembangkit listrik dari program percepatan (fast track program/ FTP) 10.000 MW tahap dua yang masih belum selesai sebesar 7.000 MW.
Apabila program listrik 35.000 MW dipaksakan ditambah 7.000 MW, ujar Rizal, jumlah kapasitas akan melebihi beban puncak sebesar 95.586 MW pada 2019. Padahal, kebutuhan sampai 2019 hanya 74.525 MW. Dengan begitu, akan ada kapasitas yang tidak terpakai sebesar 21.331 MW. ”Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan oleh swasta, membeli sekitar 72% dari nilainya. Kalau ini terjadi, PLN akan mengalami kesulitan keuangan,” tutur Rizal.
Dia memilih menggulirkan kebijakan program kelistrikan baru yang diberi nama Proyek Percepatan Dan Diversifikasi Listrik (PPD-Listrik). Kebijakan tersebut secara otomatis akan menggugurkan program megaproyek 35.000 MW dengan capaian target tuntas lima tahun ke depan. ”Jadi, kesimpulannya program itu tidak realistis sekaligus membahayakan keuangan PLN, yang bisa berujung pada kebangkrutan PLN,” katanya.
Rizal mengaku sudah menyampaikan rencana pemangkasan pencapaian target 35.000 MW kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, Presiden memahami kajian yang telah digulirkannya tersebut. Dia mengakui belum ada koordinasi dengan Menteri ESDM Sudirman Said karena dalam rakor Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya tersebut Sudirman Said berhalangan hadir, hanya diwakili oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman.
”Kami sudah undang dan kami harap menterinya datang, Pak Dirjen nanti yang melaporkan,” ujarnya. Jusuf Kalla (JK) kembali pasang badan terkait proyek tersebut. Dia menandaskan program pembangkit listrik 35.000 MW merupakan putusan Presiden Jokowi yang tidak bisa diubah secara tiba-tiba. JK lantas menegaskan, pemerintah telah siap untuk mendukung program listrik 35.000 MW itu.
”Kalau putusan Presiden siapa yang bisa mengubahnya,” kata JK saat dikonfirmasi di kantornya kemarin mengenai langkah Rizal Ramli. Di tempat terpisah, Sudirman Said kembali menegaskan tidak ada pemangkasan target megaproyek 35.000 MW. Bahkan pihaknya tetap optimistis tercapai dalam lima tahun ke depan.
”Tidak ada penurunan target pembangunan 35.000 MW. Kami masih tetap optimistis untuk mengejar target tersebut,” ujarnya di sela-sela media briefing di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kuningan, Jakarta, kemarin. Sudirman menegaskan, megaproyek 35.000 MW harus diteruskan karena masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik. Pencapaian rasio elektrifikasi (RE) dari Indonesia merdeka sampai saat ini baru mencapai 86,39%.
”Listrik adalah jendela dunia. Saat saya memaparkan kepada Presiden terkait pembangunan pembangkit ini sampai di pulau-pulau terluar. Pak Menteri Pariwisata langsung terbayang akan tumbuh banyaknya potensi wisata baru yang muncul,” katanya. Sudirman lebih jauh menuturkan, megaproyek kelistrikan yang telah diresmikan dan diluncurkan Presiden di Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu ini membutuhkan investasi USD72,942 miliar atau sekitar Rp1.021 triliun.
Investasi sebesar itu akan menyerap Tingkat Komponen Dalam Negeri sebesar USD29,2 miliar atau Rp408 triliun. ”Selama lima tahun kita akan kebagian USD29,2 miliar,” ujarnya. Selain menggairahkan industri dalam negeri, program tersebut juga akan membuka dan menyerap tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung sebesar 3,65 juta orang.
Rencananya, investasi lebih dari Rp1.000 triliun itu untuk membangun 291 pembangkit listrik, 732 jaringan transmisi, 1.275 gardu induk, 301.300 konduktor aluminium, 2.600 set trafo, dan menggunakan 3,5 juta ton baja. ”Untuk kebutuhan baja akan didukung penuh oleh perusahaan BUMN Krakatau Steel (KS). PLN sudah menjalin kerja sama dengan KS sebagai bentuk konsolidasi BUMN,” katanya.
Bisa Tidak Terealisasi
Direktur Indonesia Resources Studi (IRES) Marwan Batubara mengkhawatirkan kegaduhan yang terjadi di kabinet antara Rizal, JK, dan Sudirman justru akan membuat pembangunan pembangkit tidak terealisasi. Menurut dia, jika pemerintah ingin mengubah capaian target seharusnya peraturan presiden atau peraturan menteri ESDM diubah dulu.
”Tidak perlu gaduh ributribut di ruang publik. Justru ini menjadi sebuah ketakutan investor untuk berinvestasi di Indonesia,” tandasnya kemarin. Adapun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengkritik langkah Rizal Ramli yang memangkas proyek 35.000 MW, karena proyek tersebut merupakan proyek prioritas Presiden Jokowi dan telah masuk dalam RJPMN 2015-2019.
Sebagai pembantu Presiden, seharusnya Rizal memastikan bahwa proyek dapat terlaksana, bukan justru memasang langkah-langkah kuda mengurangi target pencapaian proyek 35.000 MW. ”Presiden sudah mengatakan tidak akan mengurangi target 35.000 MW. Jadi, agenda apa kok kemudian targetnya dipangkas,” katanya kemarin.
Fabby meyakini pemerintah punya dasar mengapa program 35.000 MW dibuat dan mempunyai dasar tertentu atau tidak asal-asalan. Secara kebutuhan, konsumsi listrik juga mengalami pertumbuhan secara terus- menerus. Karena itu, dibutuhkan pasokan listrik yang tersedia harus mampu memenuhi kebutuhan listrik nasional.
”Kita lihat, untuk memenuhi kebutuhan listrik masih lambat. Pabrik-pabrik saja harus antre kalau mau mendapatkan pasokan listrik,” ujarnya. Dia menilai proyek 35.000 MW harus dilaksanakan saat ini seacara bertahap, walaupun targetnya secara keseluruhan tidak harus produksi dalam kurun waktu 2015-2019 mengingat proses pembangunan pembangkit tidak sekejap bisa dilakukan.
Dilihat dari power purchase agreement (PPA) saja sampai pada pembangunan pembangkit membutuhkan waktu 2-3 tahun.
Nanang wijayanto/ant
(ars)