Upaya Memacu Kinerja Pemda
A
A
A
Arus demokratisasi pascareformasi di antaranya ditandai dengan munculnya berbagai regulasi berbasis agama yang mewarnai dinamika politik lokal. Di sejumlah daerah terbit peraturan daerah (perda) syariah yang mencerminkan agama mayoritas penduduk di negara ini. Bagaimana korelasinya dengan tingkat kualitas tata kelola dan pelayanan publik?
Hal inilah yang antara lain berupaya digali Maarif Institute melalui rancangan Indeks Kota Islami (IKI) di Indonesia. Menurut Manajer Program Islam dan Media Maarif Institute Khelmy K Pribadi, agenda ini merupakan upaya menyusun parameter untuk mengukur dan memeringkatkan kinerja pemerintah kota dalam mengelola daerahnya dan pelayanan masyarakat berbasis nilai-nilai Islam.
Variabel dan indikator tentu tidak hanya diukur dari kualitas perda syariah sebagaimana di Aceh dan 42 kota/kabupaten lainnya di Indonesia. Itu hanya salah satu objek yang diteliti. Terlebih, lanjut dia, pada dasarnya nilai-nilai Islam adalah universal. ”Ada nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan, akuntabilitas pelayanan publik dan nilai-nilai Islami lainnya yang akan kami ukur,” ujar Khelmy.
Untuk mendefinisikan kota Islami, studi pendahuluan yang dilakukan Maarif Institute diawali dari terminologi Islam. Islam adalah agama dan peradaban. Islam sebagai agama harus membawa perubahan nyata berupa keadaan baik bagi yang lain.
Semua itu akan dielaborasi ke dalam beberapa dimensi seperti aspek keagamaan (al-kitab ), kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan (al-hukma), peradaban (al-nubuwwah), kemakmuran, dan keunggulan suatu kota.
Untuk mengukurnya, metodologi untuk penelitian ini berpijakan pada enam prinsip maqosid syariah, yakni hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan).
Berdasarkan enam prinsip tujuan tersebut, disusunlah definisi kerja bahwa kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia. Ketiga komponen ini terbagi lagi dalam 9 variabel dan 41 indikator (lihat infografis ). Riset dalam proses penyusunan IKI akan mencakup 93 kota.
Untuk kota yang aman, variabelnya adalah adanya kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan. Kedua , adanya pemenuhan hak dasar warga kota seperti toleransi dan rasa aman di tempat tinggal. Kota sejahtera didasarkan pada beberapa variabel di antaranya akses pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kesehatan.
Adapun kota bahagia didasarkan pada variabel seperti regulasi, infrastruktur, perda pelindungan lingkungan, dan pengelolaan sampah yang baik. Dalam penyusunannya, IKI akan menggunakan komposit dua tipe data yaitu data objektif (secondary data ) dan data persepsi/subjektif (primer).
Data objektif terdiri atas berbagai dokumen resmi dan terpublikasi seperti data statistik di Badan Pusat Statistik (BPS), BPS daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), APBD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), catatan-catatan kegiatan, dan sebagainya.
Sementara itu, data persepsi akan diperoleh melalui narasumber yang dipilih melalui kriteria ketat yang berkenaan dengan keahlian maupun memiliki informasi yang luas terkait indikator-indikator yang diukur. Setelah itu, data akan diolah dengan melakukan pembobotan nilai untuk selanjutnya disusun ke dalam indeks.
Setelah menyolidkan variabel dan indikator indeksnya agar hasilnya valid, proses penelitian akan dilakukan selama lima bulan ke depan. Indeks Kota Islami rencananya dirilis pada Januari 2016.
”IKI sebagai perintis akan disusun secara komprehensif serta khas Indonesia,” Direktur Riset Maarif Institute yang juga Ketua Tim IKI Ahmad Imam Mujadid Rais memberikan jaminan dalam public expose di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, akhir Agustus lalu.
Dia menekankan bahwa kota Islami yang dimaksud di sini adalah kota yang mengusung nilai-nilai positif dalam Islam. IKI sebagai sebuah penelitian, lanjut Rais, akan mengevaluasi praktik formalisasi keagamaan dengan tetap menggunakan parameter pemerintah kota berbasis nilai-nilai keislaman yang universal.
Rais berharap penelitian IKI bisa memacu para kepala daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahannya dan bisa memberikan kontribusi dalam perbaikan bangsa secara keseluruhan. Menurut dia, yang terjadi saat ini dengan gejala formalisasi perda syariah, belum ada bukti korelasi terhadap pelayanan dan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.
Dia juga menyayangkan kecenderungan saat ini di mana semangat pemerintah dan pengusaha dalam melakukan revitalisasi sering kali kalah dengan semangat kapitalis dan pragmatis. Ahli sejarah dari University of California, Riverside, AS, Prof Muhammad Ali, mengatakan bahwa parameter keislaman penelitian IKI sama dengan nilai-nilai universal. Nilai-nilai itu adalah rasa aman, sejahtera, dan bahagia. ”Semua orang ingin hidup seperti itu,” ujarnya.
Bisa saja, menurut dia, kota yang selama ini dikenal dengan label kota syariah tidak masuk dalam kriteria IKI atau sebaliknya. ”Dengan parameter dan indikator IKI ini, yang akan masuk adalah yang memiliki sistem tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang cukup baik,” jelasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al- Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, KH Hussein Muhammad memberi ilustrasi beberapa pertanyaan sederhana terkait kota yang aman, sejahtera, dan bahagia sebagai berikut. – Seberapa sibuk polisi bekerja? –
Seberapa sering kita mendengarkan orang mengucapkan ”selamat pagi”, ”terima kasih”, dan ”apa yang bisa saya bantu?” – Seberapa aman perempuan melakukan aktivitas atau berjalan sendirian pada malam hari? – Berapa banyak perempuan yang menjadi pengambil kebijakan? Yang menjabat posisi-posisi strategis di pemerintahan?
Di negara-negara makmur seperti Skandinavia, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan/ politik mencapai 50%. – Berapa banyak orang yang bersedekah? – Berapa banyak pedagang kaki lima (PKL)? Kalau banyak PKL, berarti kota itu masih punya banyak rakyat miskin. – Berapa banyak kertas yang digunakan untuk ilmu pengetahuan, koran, dan sastra? – Seberapa banyak orang menanam bunga?
”Pertanyaan-pertanyaan tadi mewakili kondisi aman, sejahtera, dan bahagia masyarakat sebuah kota. Kalau sudah banyak yang menanam bunga sebagai kebutuhan tersier, artinya orang-orang di kota itu sudah tidak lagi pusing memikirkan kebutuhan makan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan,” tegasnya.
Hunaifi mas’oed
Hal inilah yang antara lain berupaya digali Maarif Institute melalui rancangan Indeks Kota Islami (IKI) di Indonesia. Menurut Manajer Program Islam dan Media Maarif Institute Khelmy K Pribadi, agenda ini merupakan upaya menyusun parameter untuk mengukur dan memeringkatkan kinerja pemerintah kota dalam mengelola daerahnya dan pelayanan masyarakat berbasis nilai-nilai Islam.
Variabel dan indikator tentu tidak hanya diukur dari kualitas perda syariah sebagaimana di Aceh dan 42 kota/kabupaten lainnya di Indonesia. Itu hanya salah satu objek yang diteliti. Terlebih, lanjut dia, pada dasarnya nilai-nilai Islam adalah universal. ”Ada nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan, akuntabilitas pelayanan publik dan nilai-nilai Islami lainnya yang akan kami ukur,” ujar Khelmy.
Untuk mendefinisikan kota Islami, studi pendahuluan yang dilakukan Maarif Institute diawali dari terminologi Islam. Islam adalah agama dan peradaban. Islam sebagai agama harus membawa perubahan nyata berupa keadaan baik bagi yang lain.
Semua itu akan dielaborasi ke dalam beberapa dimensi seperti aspek keagamaan (al-kitab ), kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan (al-hukma), peradaban (al-nubuwwah), kemakmuran, dan keunggulan suatu kota.
Untuk mengukurnya, metodologi untuk penelitian ini berpijakan pada enam prinsip maqosid syariah, yakni hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan).
Berdasarkan enam prinsip tujuan tersebut, disusunlah definisi kerja bahwa kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia. Ketiga komponen ini terbagi lagi dalam 9 variabel dan 41 indikator (lihat infografis ). Riset dalam proses penyusunan IKI akan mencakup 93 kota.
Untuk kota yang aman, variabelnya adalah adanya kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan. Kedua , adanya pemenuhan hak dasar warga kota seperti toleransi dan rasa aman di tempat tinggal. Kota sejahtera didasarkan pada beberapa variabel di antaranya akses pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kesehatan.
Adapun kota bahagia didasarkan pada variabel seperti regulasi, infrastruktur, perda pelindungan lingkungan, dan pengelolaan sampah yang baik. Dalam penyusunannya, IKI akan menggunakan komposit dua tipe data yaitu data objektif (secondary data ) dan data persepsi/subjektif (primer).
Data objektif terdiri atas berbagai dokumen resmi dan terpublikasi seperti data statistik di Badan Pusat Statistik (BPS), BPS daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), APBD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), catatan-catatan kegiatan, dan sebagainya.
Sementara itu, data persepsi akan diperoleh melalui narasumber yang dipilih melalui kriteria ketat yang berkenaan dengan keahlian maupun memiliki informasi yang luas terkait indikator-indikator yang diukur. Setelah itu, data akan diolah dengan melakukan pembobotan nilai untuk selanjutnya disusun ke dalam indeks.
Setelah menyolidkan variabel dan indikator indeksnya agar hasilnya valid, proses penelitian akan dilakukan selama lima bulan ke depan. Indeks Kota Islami rencananya dirilis pada Januari 2016.
”IKI sebagai perintis akan disusun secara komprehensif serta khas Indonesia,” Direktur Riset Maarif Institute yang juga Ketua Tim IKI Ahmad Imam Mujadid Rais memberikan jaminan dalam public expose di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, akhir Agustus lalu.
Dia menekankan bahwa kota Islami yang dimaksud di sini adalah kota yang mengusung nilai-nilai positif dalam Islam. IKI sebagai sebuah penelitian, lanjut Rais, akan mengevaluasi praktik formalisasi keagamaan dengan tetap menggunakan parameter pemerintah kota berbasis nilai-nilai keislaman yang universal.
Rais berharap penelitian IKI bisa memacu para kepala daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahannya dan bisa memberikan kontribusi dalam perbaikan bangsa secara keseluruhan. Menurut dia, yang terjadi saat ini dengan gejala formalisasi perda syariah, belum ada bukti korelasi terhadap pelayanan dan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.
Dia juga menyayangkan kecenderungan saat ini di mana semangat pemerintah dan pengusaha dalam melakukan revitalisasi sering kali kalah dengan semangat kapitalis dan pragmatis. Ahli sejarah dari University of California, Riverside, AS, Prof Muhammad Ali, mengatakan bahwa parameter keislaman penelitian IKI sama dengan nilai-nilai universal. Nilai-nilai itu adalah rasa aman, sejahtera, dan bahagia. ”Semua orang ingin hidup seperti itu,” ujarnya.
Bisa saja, menurut dia, kota yang selama ini dikenal dengan label kota syariah tidak masuk dalam kriteria IKI atau sebaliknya. ”Dengan parameter dan indikator IKI ini, yang akan masuk adalah yang memiliki sistem tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang cukup baik,” jelasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al- Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, KH Hussein Muhammad memberi ilustrasi beberapa pertanyaan sederhana terkait kota yang aman, sejahtera, dan bahagia sebagai berikut. – Seberapa sibuk polisi bekerja? –
Seberapa sering kita mendengarkan orang mengucapkan ”selamat pagi”, ”terima kasih”, dan ”apa yang bisa saya bantu?” – Seberapa aman perempuan melakukan aktivitas atau berjalan sendirian pada malam hari? – Berapa banyak perempuan yang menjadi pengambil kebijakan? Yang menjabat posisi-posisi strategis di pemerintahan?
Di negara-negara makmur seperti Skandinavia, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan/ politik mencapai 50%. – Berapa banyak orang yang bersedekah? – Berapa banyak pedagang kaki lima (PKL)? Kalau banyak PKL, berarti kota itu masih punya banyak rakyat miskin. – Berapa banyak kertas yang digunakan untuk ilmu pengetahuan, koran, dan sastra? – Seberapa banyak orang menanam bunga?
”Pertanyaan-pertanyaan tadi mewakili kondisi aman, sejahtera, dan bahagia masyarakat sebuah kota. Kalau sudah banyak yang menanam bunga sebagai kebutuhan tersier, artinya orang-orang di kota itu sudah tidak lagi pusing memikirkan kebutuhan makan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan,” tegasnya.
Hunaifi mas’oed
(bbg)