Hakim Sesat
A
A
A
Jangan dikira hakim-hakim yang membuat putusan sesat dan menusuk rasa keadilan itu disebabkan suap semata.
Salah satu penyebab yang bisa menjadikan hakim membuat vonis sesat adalah karena ingin menyelamatkan diri dari kesalahan dirinya di masa lalu. Kesalahan masa lalu sang hakim dijadikan alat menekan dan meneror oleh orang yang terkait dengan perkara yang ditangani pada masa kini.
Sang hakim, misalnya, pernah melakukan kesalahan seperti menerima suap dari kasus yang ditanganinya pada masa lalu saat menjadi hakim di suatu daerah. Kemudian perbuatan korupsi pada masa lalunya itu dijadikan alat untuk menyandera, bahkan menerornya oleh orang yang mempunyai kepentingan atas suatu perkara yang ditanganinya sekarang. Untuk membuat putusan sesat, hakim tersebut tak perlu disuap, tetapi cukup diancam.
”Jika Anda tak memutus sesuai dengan kehendak kami atau mengalahkan kami, maka kasus Anda akan dibongkar dan Anda bisa segera ditangkap karena bukti-bukti sudah lengkap di tangan kami.” Dengan mendengar itu saja sang hakim kemudian bisa membuat putusan yang sesat karena takut kasus dirinya pada masa lalu benarbenar dibongkar.
Jadi kesesatan hakim dalam memutus perkara jangan dipahami karena penyebab tunggal seperti karena suap. Mungkin dia membuat vonis sesat karena takut pada masa lalunya sendiri meskipun mungkin juga karena penyuapan atau pembuktian palsu di persidangan. Kesalahan vonis hakim yang lahir karena salah dalam menilai buktibukti bisa saja terjadi, misalnya karena rekayasa sejak penyidikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Gerhart Hermann Mostar, penulis asal Jerman yang menulis buku Peradilan yang Sesat, menyebut bahwa lahirnya vonis- vonis sesat bisa terjadi bukan karena alasan tunggal, melainkan bisa lahir dari berbagai penyebab. Misalnya karena kesaksian palsu, tekanan opini publik, penyuapan, penyelamatan karier sang hakim, dan sebagainya. Kalau hakim membuat vonis karena penyanderaan atau ancaman pembongkaran atas korupsinya di masa lalu, vonisnya bisa dikategorikan sebagai vonis sesat untuk menyelamatkan diri dan kariernya.
Lahirnya vonis-vonis sesat yang disebabkan penyanderaan dan motif menyelamatkan diri bisa terjadi di mana-mana dan bukan hanya terjadi pada hakim. Ia bisa terjadi di negara mana pun dan terhadap pejabat penegak hukum yang lain seperti polisi atau jaksa.
Kita sering mendengar riuhnya gunjingan masyarakat yang menyorot adanya penegak hukum yang getol mau mengadili kasus ”orang kuat”, tetapi yang bersangkutan kemudian masuk penjara baik karena rekayasa maupun karena korupsi masa lalunya yang dibongkar secara kasar. Bisa juga terjadi seorang penegak hukum dicopot dari jabatannya karena sangat bersemangat akan mengadili orang kuat yang terlibat korupsi atau kejahatan lain.
Tanpa harus menunjuk siapa yang terjerat dan menjerat dalam dunia penegakan hukum sehingga melahirkan putusanputusan sesat, perlulah kita menjadikan pandangan yang dinukil dari Hermann Mostar tersebut sebagai cara memahami persoalan penegakan hukum di Indonesia. Artinya bisa dipahami bahwa sulitnya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, di Indonesia disebabkan banyaknya pejabat dan penegak hukum yang tersandera oleh masa lalunya sendiri sehingga ingin berbuat baik pun menjadi sulit.
Asumsi yang demikian adalah wajar karena pada masa lalu negara kita tumbuh dan berkembang bersama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan era kita yang kita sering sebut sebagai era Reformasi sekarang ini adalah suatu orde yang dibangun untuk memerangi dan memberantas KKN. Namun perjalanan reformasi kita tampak tersendat bahkan dalam batas tertentu tampak seperti terjadi arus balik dalam perang melawan korupsi.
Banyak yang berpendapat telah terjadi saling sandera antarpara penegak hukum dan atau antarkoruptor. Upaya memberantas korupsi menjadi sangat sulit dan pegiat-pegiatanya sering ada dalam tekanan dan ancaman. Tepatnya, korupsi dan koruptor masa lalu telah menyerimpung kita di masa kini dalam memerangi korupsi. Saling sandera menjadi keniscayaan.
”Kalau Anda mempersoalkan ini, kami bongkar yang itu; kalau Anda membongkar yang itu, yang lain lagi akan membongkar yang satunya lagi,” demikian kira-kira situasi yang kita hadapi kalau digambarkan dengan cara debat. Oleh sebab itu kita perlu membuat terobosan, yakni membuat kesepakatan untuk memutuskan hubungan dengan kasus-kasus masa lalu. Kita perlu melakukan langkah berani untuk menyatakan bahwa masa lalu sudah dianggap selesai dan tak boleh membelenggu kita seperti sekarang ini, yakni situasi yang kalau mau maju tak bisa, mau mundur juga susah.
Perlu dibuat kebijakan melalui pembentukan undang-undang yang berisi pencarian kebenaran untuk kemudian dilakukan pemutihan dengan kriteria-kriteria tertentu. Ungkap kebenaran, lalu putihkan, kemudian rekonsiliasi untuk selanjutnya bersama-sama membangun negara yang bersih dan tegas terhadap korupsi.
Memutus hubungan dengan kasus-kasus masa lalu memang perlu keberanian karena akan banyak yang menentang dengan alasan mengkhianati amanat reformasi untuk menegakkan hukum terhadap korupsi-korupsi masa lalu. Kita memang ditantang untuk berani melakukan tindakan itu, kecuali kita mau terus-terusan terserimpung seperti sekarang.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Salah satu penyebab yang bisa menjadikan hakim membuat vonis sesat adalah karena ingin menyelamatkan diri dari kesalahan dirinya di masa lalu. Kesalahan masa lalu sang hakim dijadikan alat menekan dan meneror oleh orang yang terkait dengan perkara yang ditangani pada masa kini.
Sang hakim, misalnya, pernah melakukan kesalahan seperti menerima suap dari kasus yang ditanganinya pada masa lalu saat menjadi hakim di suatu daerah. Kemudian perbuatan korupsi pada masa lalunya itu dijadikan alat untuk menyandera, bahkan menerornya oleh orang yang mempunyai kepentingan atas suatu perkara yang ditanganinya sekarang. Untuk membuat putusan sesat, hakim tersebut tak perlu disuap, tetapi cukup diancam.
”Jika Anda tak memutus sesuai dengan kehendak kami atau mengalahkan kami, maka kasus Anda akan dibongkar dan Anda bisa segera ditangkap karena bukti-bukti sudah lengkap di tangan kami.” Dengan mendengar itu saja sang hakim kemudian bisa membuat putusan yang sesat karena takut kasus dirinya pada masa lalu benarbenar dibongkar.
Jadi kesesatan hakim dalam memutus perkara jangan dipahami karena penyebab tunggal seperti karena suap. Mungkin dia membuat vonis sesat karena takut pada masa lalunya sendiri meskipun mungkin juga karena penyuapan atau pembuktian palsu di persidangan. Kesalahan vonis hakim yang lahir karena salah dalam menilai buktibukti bisa saja terjadi, misalnya karena rekayasa sejak penyidikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Gerhart Hermann Mostar, penulis asal Jerman yang menulis buku Peradilan yang Sesat, menyebut bahwa lahirnya vonis- vonis sesat bisa terjadi bukan karena alasan tunggal, melainkan bisa lahir dari berbagai penyebab. Misalnya karena kesaksian palsu, tekanan opini publik, penyuapan, penyelamatan karier sang hakim, dan sebagainya. Kalau hakim membuat vonis karena penyanderaan atau ancaman pembongkaran atas korupsinya di masa lalu, vonisnya bisa dikategorikan sebagai vonis sesat untuk menyelamatkan diri dan kariernya.
Lahirnya vonis-vonis sesat yang disebabkan penyanderaan dan motif menyelamatkan diri bisa terjadi di mana-mana dan bukan hanya terjadi pada hakim. Ia bisa terjadi di negara mana pun dan terhadap pejabat penegak hukum yang lain seperti polisi atau jaksa.
Kita sering mendengar riuhnya gunjingan masyarakat yang menyorot adanya penegak hukum yang getol mau mengadili kasus ”orang kuat”, tetapi yang bersangkutan kemudian masuk penjara baik karena rekayasa maupun karena korupsi masa lalunya yang dibongkar secara kasar. Bisa juga terjadi seorang penegak hukum dicopot dari jabatannya karena sangat bersemangat akan mengadili orang kuat yang terlibat korupsi atau kejahatan lain.
Tanpa harus menunjuk siapa yang terjerat dan menjerat dalam dunia penegakan hukum sehingga melahirkan putusanputusan sesat, perlulah kita menjadikan pandangan yang dinukil dari Hermann Mostar tersebut sebagai cara memahami persoalan penegakan hukum di Indonesia. Artinya bisa dipahami bahwa sulitnya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, di Indonesia disebabkan banyaknya pejabat dan penegak hukum yang tersandera oleh masa lalunya sendiri sehingga ingin berbuat baik pun menjadi sulit.
Asumsi yang demikian adalah wajar karena pada masa lalu negara kita tumbuh dan berkembang bersama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan era kita yang kita sering sebut sebagai era Reformasi sekarang ini adalah suatu orde yang dibangun untuk memerangi dan memberantas KKN. Namun perjalanan reformasi kita tampak tersendat bahkan dalam batas tertentu tampak seperti terjadi arus balik dalam perang melawan korupsi.
Banyak yang berpendapat telah terjadi saling sandera antarpara penegak hukum dan atau antarkoruptor. Upaya memberantas korupsi menjadi sangat sulit dan pegiat-pegiatanya sering ada dalam tekanan dan ancaman. Tepatnya, korupsi dan koruptor masa lalu telah menyerimpung kita di masa kini dalam memerangi korupsi. Saling sandera menjadi keniscayaan.
”Kalau Anda mempersoalkan ini, kami bongkar yang itu; kalau Anda membongkar yang itu, yang lain lagi akan membongkar yang satunya lagi,” demikian kira-kira situasi yang kita hadapi kalau digambarkan dengan cara debat. Oleh sebab itu kita perlu membuat terobosan, yakni membuat kesepakatan untuk memutuskan hubungan dengan kasus-kasus masa lalu. Kita perlu melakukan langkah berani untuk menyatakan bahwa masa lalu sudah dianggap selesai dan tak boleh membelenggu kita seperti sekarang ini, yakni situasi yang kalau mau maju tak bisa, mau mundur juga susah.
Perlu dibuat kebijakan melalui pembentukan undang-undang yang berisi pencarian kebenaran untuk kemudian dilakukan pemutihan dengan kriteria-kriteria tertentu. Ungkap kebenaran, lalu putihkan, kemudian rekonsiliasi untuk selanjutnya bersama-sama membangun negara yang bersih dan tegas terhadap korupsi.
Memutus hubungan dengan kasus-kasus masa lalu memang perlu keberanian karena akan banyak yang menentang dengan alasan mengkhianati amanat reformasi untuk menegakkan hukum terhadap korupsi-korupsi masa lalu. Kita memang ditantang untuk berani melakukan tindakan itu, kecuali kita mau terus-terusan terserimpung seperti sekarang.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ars)