Rumah Publik, Rumah Intelektual
A
A
A
Berada di salah satu kawasan permukiman elite Kota Malang bukan berarti rumah dan sang penghuni yang notabene adalah sosok populer Ahmad Erani Yustika harus terisolasi dari lingkungan di sekitarnya. Hunian yang selesai dibangun pada 2010 ini tumbuh dan hidup berkat interaksi dengan lingkungan sekitar tanpa mengenal batasan.
Hunian bertema minimalis milik Erani terletak di kawasan perumahan Permata Jingga, Kota Malang. Kehangatan plus keramah-tamahan langsung menyapa KORAN SINDO saat memasuki rumah ini. Si empunya rumah mampu menciptakan atmosfer itu, termasuk melalui desain rumahnya yang terbuka. Menurut Erani, proses pembangunan rumah yang kini ditempatinya berangkat bukan dari perencanaan yang kaku.
Semuanya mengalir begitu saja. Pria yang gemar menulis artikel ilmiah dan sejak 2010 didapuk menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia ini mengaku tak pernah menyangka lingkungan rumahnya akan menjadi kawasan elite. Pada 2007, Erani lebih dulu membeli kaveling di kawasan tersebut. Luasnya mencapai 300 meter persegi. Sejak tanah dibeli, tidak langsung dibangun rumah.
Melainkan dibiarkan begitu saja karena sang pemilik belum memiliki rencana untuk segera membangun hunian di sana. ”Kegiatan pembangunan rumah baru terjadi sekitar 2009. Pembangunan kami lakukan karena rumah lama yang kami tempati terpaksa dijual karena lingkungannya tidak aman,” ujar Erani.
Erani yang sejak 2008 diberi amanah menjadi direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta mengaku, saat membangun rumah ini, dirinya hanya merancang garis besarnya. Sementara soal teknis pembangunannya, ia serahkan kepada sang adik yang kebetulan memiliki usaha konstruksi.
Adapun mengenai detail penataan di dalam rumah, termasuk pemilihan furnitur, dilakukan oleh istrinya, Rukavina Baskh. Rumah seluas 250 meter persegi ini dibangun dua lantai. Lantai satu terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, dapur, ruang makan, dan ruang asisten rumah tangga.
Sementara lantai dua ”berisi” empat kamar tidur serta balkon yang sekaligus difungsikan sebagai ruang kerja dan perpustakaan. Rumah pria yang pernah menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di University of Gottingen, Jerman, ini memiliki keunikan tersendiri. Tiap bagian ruangan di rumah ini tidak ada yang terputus. ”Antarruangan di dalam rumah selalu terhubung.
Hal ini untuk memudahkan mobilitas kami yang tinggal di dalamnya,” ujar Erani. Selain itu, rumah ini juga memiliki ruang tengah yang sangat luas. Ruang tengah ini difungsikan sebagai ruang keluarga sekaligus ruang makan. Ruangan tersebut juga terhubung dengan ruang tamu yang lagi-lagi berukuran cukup luas. Erani mengaku, sengaja mendesain rumahnya demikian agar lebih banyak memberikan ruang untuk berinteraksi sosial.
”Rumah ini dibangun bukan untuk mengisolasi penghuninya dari lingkungan sekitar. Sebagai tempat perlindungan bagi penghuninya, memang iya. Tetapi, rumah ini juga menjadi ruang sosial para penghuninya untuk berinteraksi dengan lingkungan,” tuturnya. Rumah, menurut Erani, memiliki fungsi interaksi sosial dan intelektual.
Tak ayal, rumah ini acapkali menjadi ruang diskusi untuk mengasah kepekaan intelektual dan sosial serta menjadi ruang interaksi untuk mengasah keimanan bersama masyarakat di sekitarnya. ”Kami sering membuat acara diskusi ilmiah yang diikuti oleh 30-an orang. Selain itu, rumah ini juga sering digunakan untuk pengajian,” ungkapnya.
Diskusi untuk mengasah ketajaman intelektual bukan hanya dilakukan di ruang tengah, melainkan juga di balkon yang ada di lantai dua. Ribuan buku tersedia di ruangan tersebut. Erani tidak kaku dalam mengatur ruang kerjanya. Malah meja kerjanya seringkali dipindah-pindahkan demi mendukung aktivitasnya.
Alumni Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya pada 1996 ini menilai rumah memiliki fungsi sangat vital bagi kehidupannya. ”Bagi saya, rumah adalah sumber energi. Rumah menjadi titik berangkat dan titik pulang. Kita berangkat dengan penuh energi dari rumah. Kita pulang dengan kondisi energi yang berkurang dan harus kembali diisi di rumah.
Kegiatan sosial, diskusi intelektual, dan interaksi dengan masyarakat di rumah juga menjadi sumber energi yang besar untuk kehidupan,” ungkap ayah dua putri, Amartya Iqra Akhlaqi dan Nayaka Iqra Aufklara. Pria kelahiran Ponorogo yang sudah menerbitkan 30 judul buku dan pada 2015 bakal menerbitkan lima buku lagi ini menganggap, rumahnya sudah memiliki kesempurnaan untuk mendukung aktivitas dia dan keluarga.
Tapi, seiring perkembangan ilmu dan intelektualitas, rumah ini menurutnya masih akan terus dikembangkan. Utamanya dengan memperluas perpustakaan agar mampu menampung lebih banyak bahan bacaan.
Yuswantoro
Hunian bertema minimalis milik Erani terletak di kawasan perumahan Permata Jingga, Kota Malang. Kehangatan plus keramah-tamahan langsung menyapa KORAN SINDO saat memasuki rumah ini. Si empunya rumah mampu menciptakan atmosfer itu, termasuk melalui desain rumahnya yang terbuka. Menurut Erani, proses pembangunan rumah yang kini ditempatinya berangkat bukan dari perencanaan yang kaku.
Semuanya mengalir begitu saja. Pria yang gemar menulis artikel ilmiah dan sejak 2010 didapuk menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia ini mengaku tak pernah menyangka lingkungan rumahnya akan menjadi kawasan elite. Pada 2007, Erani lebih dulu membeli kaveling di kawasan tersebut. Luasnya mencapai 300 meter persegi. Sejak tanah dibeli, tidak langsung dibangun rumah.
Melainkan dibiarkan begitu saja karena sang pemilik belum memiliki rencana untuk segera membangun hunian di sana. ”Kegiatan pembangunan rumah baru terjadi sekitar 2009. Pembangunan kami lakukan karena rumah lama yang kami tempati terpaksa dijual karena lingkungannya tidak aman,” ujar Erani.
Erani yang sejak 2008 diberi amanah menjadi direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta mengaku, saat membangun rumah ini, dirinya hanya merancang garis besarnya. Sementara soal teknis pembangunannya, ia serahkan kepada sang adik yang kebetulan memiliki usaha konstruksi.
Adapun mengenai detail penataan di dalam rumah, termasuk pemilihan furnitur, dilakukan oleh istrinya, Rukavina Baskh. Rumah seluas 250 meter persegi ini dibangun dua lantai. Lantai satu terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, dapur, ruang makan, dan ruang asisten rumah tangga.
Sementara lantai dua ”berisi” empat kamar tidur serta balkon yang sekaligus difungsikan sebagai ruang kerja dan perpustakaan. Rumah pria yang pernah menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di University of Gottingen, Jerman, ini memiliki keunikan tersendiri. Tiap bagian ruangan di rumah ini tidak ada yang terputus. ”Antarruangan di dalam rumah selalu terhubung.
Hal ini untuk memudahkan mobilitas kami yang tinggal di dalamnya,” ujar Erani. Selain itu, rumah ini juga memiliki ruang tengah yang sangat luas. Ruang tengah ini difungsikan sebagai ruang keluarga sekaligus ruang makan. Ruangan tersebut juga terhubung dengan ruang tamu yang lagi-lagi berukuran cukup luas. Erani mengaku, sengaja mendesain rumahnya demikian agar lebih banyak memberikan ruang untuk berinteraksi sosial.
”Rumah ini dibangun bukan untuk mengisolasi penghuninya dari lingkungan sekitar. Sebagai tempat perlindungan bagi penghuninya, memang iya. Tetapi, rumah ini juga menjadi ruang sosial para penghuninya untuk berinteraksi dengan lingkungan,” tuturnya. Rumah, menurut Erani, memiliki fungsi interaksi sosial dan intelektual.
Tak ayal, rumah ini acapkali menjadi ruang diskusi untuk mengasah kepekaan intelektual dan sosial serta menjadi ruang interaksi untuk mengasah keimanan bersama masyarakat di sekitarnya. ”Kami sering membuat acara diskusi ilmiah yang diikuti oleh 30-an orang. Selain itu, rumah ini juga sering digunakan untuk pengajian,” ungkapnya.
Diskusi untuk mengasah ketajaman intelektual bukan hanya dilakukan di ruang tengah, melainkan juga di balkon yang ada di lantai dua. Ribuan buku tersedia di ruangan tersebut. Erani tidak kaku dalam mengatur ruang kerjanya. Malah meja kerjanya seringkali dipindah-pindahkan demi mendukung aktivitasnya.
Alumni Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya pada 1996 ini menilai rumah memiliki fungsi sangat vital bagi kehidupannya. ”Bagi saya, rumah adalah sumber energi. Rumah menjadi titik berangkat dan titik pulang. Kita berangkat dengan penuh energi dari rumah. Kita pulang dengan kondisi energi yang berkurang dan harus kembali diisi di rumah.
Kegiatan sosial, diskusi intelektual, dan interaksi dengan masyarakat di rumah juga menjadi sumber energi yang besar untuk kehidupan,” ungkap ayah dua putri, Amartya Iqra Akhlaqi dan Nayaka Iqra Aufklara. Pria kelahiran Ponorogo yang sudah menerbitkan 30 judul buku dan pada 2015 bakal menerbitkan lima buku lagi ini menganggap, rumahnya sudah memiliki kesempurnaan untuk mendukung aktivitas dia dan keluarga.
Tapi, seiring perkembangan ilmu dan intelektualitas, rumah ini menurutnya masih akan terus dikembangkan. Utamanya dengan memperluas perpustakaan agar mampu menampung lebih banyak bahan bacaan.
Yuswantoro
(bbg)