Bebaskan Buruh dari Jeratan Utang
A
A
A
Ini cerita memilukan tentang orang-orang yang diperbudak untuk melunasi utang yang kian melilit. Atau, bahkan kepahlawanan yang tak terbayangkan dari seorang perempuan yang bekerja keras untuk membebaskan mereka.
Di sisi lain, dalam beberapa hari terakhir, puluhan ribu orang telah menyumbangkan uang yang sekarang mencapai lebih dari USD2 juta pada Fron Pembebasan Pekerja Paksa (BLLF). Ini organisasi kecil di Lahore yang bekerja untuk mengakhiri kerja paksa di Pakistan. Ini dimulai dengan foto pendiri BLLF Syeda Ghulam Fatima yang mengenakan baju kuning di tengah pabrik pembakaran bata berwarna merah.
Foto itu diunggap di halaman Facebook ”Humans of New York” (HONY) yakni proyek yang dimulai oleh fotografer Brandon Stanton untuk mendokumentasikan kehidupan warga New York. ”Digambarkan sebagai Harriet Tubman di era modern, Fatima membaktikan hidupnya untuk mengakhiri kerja paksa.
Dia sudah pernah ditembak, disengat aliran listrik, dan dipukuli berkali-kali karena aktivitasnya tersebut,” ujar Stanton di halaman Facebook HONY. Selain mengenalkan publik pada Fatima, Stanton mengunggah sejumlah pernyataan para buruh yang bekerja keras hari demi hari di pabrik pembakaran bata di Pakistan. Mereka bekerja untuk membayar utang yang tidak pernah ada harapan akan lunas.
”Ini seperti pasir hisap. Mereka hanya membayar Anda 200 rupee per 1.000 bata dan semuanya untuk mereka dan utang tetap bertambah. Para pemilik pabrik pembakaran bata saling bekerja sama dan mereka menjual kami pada masingmasing antarpemilik. Baru 10 hari lalu seluruh keluarga saya dijual senilai 2,2 juta rupee,” papar seorang buruh pabrik bata dari Lahore, dikutip CNN.
Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), jutaan warga miskin Pakistan bekerja tanpa dibayar atau hanya dibayar sedikit untuk melunasi utang mereka pada majikannya. Stanton menjelaskan, kerja paksa ini dipicu oleh para pemilik pabrik bata yang kaya raya. Mereka menjalankan aktivitasnya dengan kekebalan dari hukum meski ada undang-undang di Pakistan yang melarang kerja paksa.
”Industri batu bata menyumbangkan 3% produk domestik bruto (PDB) di Pakistan. Orang yang memiliki pabrik bata itu sangat kaya. Mereka memengaruhi parlemen dengan cara yang benar-benar sulit dibayangkan,” papar Stanton. Seorang petani menunjukkan bagaimana dia bisa menjadi korban kerja paksa tersebut.
”Ginjal adik perempuan saya rusak. Kami mencoba mengumpulkan uang untuk menyelamatkannya. Saat kami kehabisan pilihan, saya pinjam USD50 dari pabrik bata. Saya pikir saya dapat membayarnya dengan bekerja selama 15 atau 20 hari,” tutur petani itu. Dalam beberapa pekan, utang itu menjadi USD108, kemudian USD294. Sekarang utangnya menjadi sama dengan USD3.400.
”Adik perempuannya sudah lama meninggal. Tidak ada jalan keluar. Utang saya akan diwariskan pada generasi selanjutnya,” ujarnya. Fatima dan suaminya telah berusaha membebaskan para pekerja paksa itu dari lilitan utang. Setelah kisah ini diunggah di halaman Facebook, terkumpul donasi USD1 juta dalam waktu 12 jam. Dalam 72 jam, jumlah sumbangan naik dua kali lipat.
Ananda Nararya
Di sisi lain, dalam beberapa hari terakhir, puluhan ribu orang telah menyumbangkan uang yang sekarang mencapai lebih dari USD2 juta pada Fron Pembebasan Pekerja Paksa (BLLF). Ini organisasi kecil di Lahore yang bekerja untuk mengakhiri kerja paksa di Pakistan. Ini dimulai dengan foto pendiri BLLF Syeda Ghulam Fatima yang mengenakan baju kuning di tengah pabrik pembakaran bata berwarna merah.
Foto itu diunggap di halaman Facebook ”Humans of New York” (HONY) yakni proyek yang dimulai oleh fotografer Brandon Stanton untuk mendokumentasikan kehidupan warga New York. ”Digambarkan sebagai Harriet Tubman di era modern, Fatima membaktikan hidupnya untuk mengakhiri kerja paksa.
Dia sudah pernah ditembak, disengat aliran listrik, dan dipukuli berkali-kali karena aktivitasnya tersebut,” ujar Stanton di halaman Facebook HONY. Selain mengenalkan publik pada Fatima, Stanton mengunggah sejumlah pernyataan para buruh yang bekerja keras hari demi hari di pabrik pembakaran bata di Pakistan. Mereka bekerja untuk membayar utang yang tidak pernah ada harapan akan lunas.
”Ini seperti pasir hisap. Mereka hanya membayar Anda 200 rupee per 1.000 bata dan semuanya untuk mereka dan utang tetap bertambah. Para pemilik pabrik pembakaran bata saling bekerja sama dan mereka menjual kami pada masingmasing antarpemilik. Baru 10 hari lalu seluruh keluarga saya dijual senilai 2,2 juta rupee,” papar seorang buruh pabrik bata dari Lahore, dikutip CNN.
Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), jutaan warga miskin Pakistan bekerja tanpa dibayar atau hanya dibayar sedikit untuk melunasi utang mereka pada majikannya. Stanton menjelaskan, kerja paksa ini dipicu oleh para pemilik pabrik bata yang kaya raya. Mereka menjalankan aktivitasnya dengan kekebalan dari hukum meski ada undang-undang di Pakistan yang melarang kerja paksa.
”Industri batu bata menyumbangkan 3% produk domestik bruto (PDB) di Pakistan. Orang yang memiliki pabrik bata itu sangat kaya. Mereka memengaruhi parlemen dengan cara yang benar-benar sulit dibayangkan,” papar Stanton. Seorang petani menunjukkan bagaimana dia bisa menjadi korban kerja paksa tersebut.
”Ginjal adik perempuan saya rusak. Kami mencoba mengumpulkan uang untuk menyelamatkannya. Saat kami kehabisan pilihan, saya pinjam USD50 dari pabrik bata. Saya pikir saya dapat membayarnya dengan bekerja selama 15 atau 20 hari,” tutur petani itu. Dalam beberapa pekan, utang itu menjadi USD108, kemudian USD294. Sekarang utangnya menjadi sama dengan USD3.400.
”Adik perempuannya sudah lama meninggal. Tidak ada jalan keluar. Utang saya akan diwariskan pada generasi selanjutnya,” ujarnya. Fatima dan suaminya telah berusaha membebaskan para pekerja paksa itu dari lilitan utang. Setelah kisah ini diunggah di halaman Facebook, terkumpul donasi USD1 juta dalam waktu 12 jam. Dalam 72 jam, jumlah sumbangan naik dua kali lipat.
Ananda Nararya
(bbg)