Kontroversi Pekerja Asing DPR Tegur Pemerintah

Senin, 24 Agustus 2015 - 09:35 WIB
Kontroversi Pekerja Asing DPR Tegur Pemerintah
Kontroversi Pekerja Asing DPR Tegur Pemerintah
A A A
JAKARTA - Perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) terus menuai kontroversi. DPR akan menegur pemerintah lantaran langkah itu dinilai akan berdampak besar bagi bangsa dan negara.

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, kebijakan penghapusan uji kemampuan bahasa Indonesia bagi TKA semestinya dikonsultasikan terlebih dulu dengan DPR, akademisi, dan para ahli. “Saya pahami ini instruksi langsung presiden, tapi kita bisa diskusikan bersama,” ujar Dede Yusuf saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin malam.

Dede mengatakan, Komisi IX hari ini akan mengadakan rapat internal untuk menjadwalkan rapat kerja (raker) dengan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) M Hanif Dhakiri. Nantinya, Komisi IX akan mempertanyakan alasan penghapusan uji kompetensi bahasa Indonesia bagi TKA. “Tentu kita akan minta penjelasan, bisa juga meminta Permenaker ini agar direvisi,” tegasnya.

Seperti diberitakan, pekan lalu Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan bahwa rencana menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia sebagai persyaratan untuk TKA merupakan bagian dari deregulasi besar-besaran yang akan dilakukan pemerintah. Presiden Jokowi ingin semua regulasi yang menjadi barrier (pembatas) investasi direvisi, baik peraturan di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Tujuannya untuk mendorong datangnya para investor ke Tanah Air.

Dede berpandangan, untuk menggalang investasi tidak harus serta-merta membuka gerbang seluas-luasnya bagi pekerja asing. Kalau syarat kemampuan berbahasa Indonesia dihapus, yang terdampak bisa bermacam-macam, seperti budaya, politik, dan nilai-nilai moral. “Ini yang perlu diperhatikan, apakah kita sudah siap untuk menghadapi ini,” ujarnya.

Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka menuturkan, berdasarkan hasil advokasi di lapangan dan analisis empirik yang telah dilakukan, penghambat masuknya investasi di Indonesia bukanlah aturan tentang kewajiban berbahasa Indonesia. Justru persyaratan tersebut seharusnya dipertahankan. “Sebaiknya revisi tersebut ditinjau kembali. TKI saja sebelum berangkat ke negara tujuan wajib mendalami budaya dan bahasa negara penempatan,” tegasnya.

Menurut Rieke, bisa dibayangkan pada Desember nanti, seiring implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, seluruh tingkatan lapangan kerja di Indonesia bisa disesaki TKA. Bahkan termasuk pekerjaan menengah ke bawah, tanpa ada aturan yang memberi proteksi terhadap kesempatan kerja, alih ilmu dan teknologi bagi rakyat Indonesia sendiri.

“Pertanyaan yang saya titipkan, semoga menjadi perenungan bagi para penentu kebijakan, betulkah industrialisasi di Indonesia kendalanya adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing,” tanyanya.

Sementara itu, Menaker M Hanif Dhakiri mengatakan bahwa perintah presiden sudah diakomodasi dengan diterbitkannya Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA sebagai revisi dari Permenaker Nomor 12/2013. Khususnya pada pasal 38 tentang tata cara permohonan mempekerjakan tenaga kerja asing(TKA), yang tidak lagi mempersoalkan syarat bahasa tersebut.

“Arahan presiden itu sudah ditindaklanjuti dengan Permenaker No 16 yang disahkan oleh Menkumham 29 Juni. Dalam regulasi itu TKA tidak lagi dikenakan syarat berbahasa Indonesia,” ujarnya. Dia mengatakan, semestinya seluruh pihak tidak perlu khawatir bahwa penghapusan syarat kemampuan berbahasa Indonesia itu akan mengancam pekerja dalam negeri.

Menurutnya, masih banyak syarat wajib dalam Permenaker Nomor 16 tersebut yang menjadi instrumen perlindungan pekerja dalam negeri. “Pemerintah dalam hal ini hanya ingin mempermudah pelayanan bagi TKA dengan prosedur yang sederhana dan cepat,” paparnya.

Hanif menerangkan, permintaan presiden untuk menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia bagi TKA sebetulnya hanya contoh tentang deregulasi yang diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Layanan yang diberikan pun kini tidak manual lagi melainkan online.

Lantaran sistem pelayanan TKA sudah diperbaiki, dia meminta seluruh pemangku kepentingan untuk benar-benar mematuhi regulasi yang ada. “Jangan sampai ada TKA yang bekerja tanpa izin lagi. Kalau sudah dimudahkan tapi ada yang masih melanggar, itu kebangetan namanya,” ungkapnya.

Diketahui, awal tahun ini Menaker berniat memberlakukan tes uji bahasa Indonesia bagi pekerja asing. Tes bahasa ini layaknya TOEFL yang diberlakukan jika kita ingin studi atau bekerja di negara lain. Kala itu, rencana syarat wajib berbahasa Indonesia ini seiring dengan langkah Hanif ingin merevisi Permenakertrans No 12/2013. Meski kini gagasannya ditolak, Hanif tetap mendukung permintaan Presiden Jokowi.

Alasannya, saat ini Indonesia memang perlu investasi yang besar demi menggerakkan pembangunan di berbagai sektor dan menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu, dilakukan deregulasi agar iklim investasi semakin kondusif, termasuk aturan soal pekerja asing itu.

“Yang penting sistem kendali kita masih ada dan kuat. Ini bisa dilihat dari jumlah TKA di sini yang masih berkisar 70.000 orang. Bandingkan dengan Singapura maupun Malaysia yang besar sekali persentase TKA-nya,” imbuh Hanif.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, semestinya Menaker tidak menuruti begitu saja permintaan presiden lantaran persyaratan bisa berbahasa Indonesia bagi pekerja asing penting. Bila mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, pekerja asing akan sulit berkomunikasi dan akibatnya akan kontraproduktif.

“Bila tenaga kerja asing itu menjadi atasan yang punya anak buah, dan mereka sulit berkomunikasi, perintah kerja akan berpotensi menjadi bias dan kecenderungan yang akan disalahkan pekerja Indonesia. Ini tidak adil,” terangnya.

kiswondari/ neneng zubaidah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3848 seconds (0.1#10.140)