Damn, I Love Rupiah!

Sabtu, 22 Agustus 2015 - 10:28 WIB
Damn, I Love Rupiah!
Damn, I Love Rupiah!
A A A
LIRIK daripada sebuah lagu kerap kali mengundang pemaknaan gelitik dan nakal. Sebuah tembang berjudul Ada Uang Abang Sayang (AWAS) yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Lusy Rahmawaty pada 2007 silam, bisa terbilang merupakan salah satunya.

Pada bagian reff ditegaskan, ada uang abang sayang, tak ada uang abang ku tendang. Duh, merana banget kalau jadi abangnya ya sobat GEN. Eitstunggu sebentar, kita di sini gaklagi ngomongin soal lagu kok. Nah betul, fokus dari penggalan reff dalam lirik lagu, tadi sebetulnya ingin diarahkan pada uangnya, bukan soal abangnya, apalagi biduannya, he-he-he.

Lantas, hal apa sih yang menarik ketika berbicara mengenai uang? Yuk disimak! Disiplin ilmu ekonomi telah mengisahkan bahwa uang diciptakan dalam rangka menggantikan aktivitas pertukaran barang. Kala itu, istilah yang disebut sistem barter dilakukan dengan asumsi agar kebu tuh an antarmanusia bisa tercu kupi.

Sebab dalam kenyataannya, apa yang diproduksi dan dikonsumsi adalah milik sendiri sehingga dibutuhkan sistem pertukaran barang, semisal beras ditukar dengan daging. Namun rupanya, praktik barter rentan menimbulkan kesulitan dalam bertransaksi.

Contoh yang paling nyata terlihat adalah sulitnya menentukan nilai keseimbangan antarkedua barang, paling banter nilainya harus hampir sama dengan barang yang dipertukarkan. Mengatasi hal tersebut, diinisiasikanlah sesuatu yang dianggap indah dan bernilai sebagai alat pembayaran seperti kerang dan mutiara.

Tapi lagi-lagi, alasan belum ada kepastian soal takaran barang yang tepat untuk menentukan nilai uang, akhirnya mematikan pentransaksian itu. Hingga akhirnya logam ditemukan, dan tercetuslah penggunaan uang dengan berbahan dasar logam—menyusul kertas—yang sampai kini masih dipergunakan.

BIJAK PERLAKUKAN UANG

Alih-alih kemunculan uang kertas yang mudah dibawa, justru nyatanya menjadi ironis tatkala kita asal-asalan ketika ingin menyimpannya. Gak usah jauh-jauh, coba deh sekarang dirogoh saku baju atau celana kamu masingmasing dan juga dompet, lalu temukan bagaimana keadaan uang kertasmu.

Lecek, terlipat, atau malah sobek? Duh! Usahakan jangan sampai terjadi ya. “Karena butuh anggaran sekitar Rp70 triliun dalam setahun untuk membuat uang,” kata Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Andiwiana Septonarwanto memapar hal tersebut di acara GENSINDO Journalism Camp pada 13-15 Agustus lalu di Pusdiklat Indofood, Cibodas, Jawa Barat.

Biaya sedemikian besar itu mencakup proses yang panjang, dimulai dari produksi uang hingga akhirnya jatuh di kepalan tangan kita. Karena itu, Andi langsung geram jika melihat ada orang yang seenaknya memperlakukan uang. Semisal distapler, diisolasi, dilipat-lipat atau dicoret.

Bahkan, paling parahnya, dicelupkan ke dalam air. Lucunya di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dia menemukan kebiasaan nakal itu ditransaksikan oleh para pedagang di pasar terapung. Alasan sederhananya, biar gak bisa terbang ketika spontan disambar angin.

Itu berarti, masih ada segelintir orang Indonesia yang kurang bijak memperlakukan mata uang kita sendiri. Perilaku latah semacam itu justru kalau dibiarkan akan menjadi penyakit yang selama ini menggerogoti mentalitas bangsa. Padahal sepele? Memang! Tapi kamu harus tahu sobat GEN, “Kalau membuat uang itu mahal dan beracun. Bahan uang diimpor, mesin cetaknya juga,” ujar Andi.

RUPIAH SEBAGAI JATI DIRI BANGSA

Menurut Andi, rupiah sebagai salah satu simbol kedaulatan negara harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Baik tunai maupun nontunai, dalam kegiatan perekonomian harus sangat dianjurkan untuk menggunakan rupiah.

Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa masih banyak pelaku ekonomi di pasar domestik yang transaksinya menggunakan mata uang selain rupiah (valas). Terka dang mereka melontarkan alasan sepele, seperti pencan tuman harga dolar bagi barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Dengan begitu, merepotkan bila harus menukarnya ke rupiah dahulu dengan memakai kurs jual maupun beli.

Nah yang terjadi kemudian adalah meningkatnya tekanan permintaan valas sehingga menimbulkan adanya depresiasi nilai tukar rupiah. Depresiasi atau menyusutnya nilai rupiah otomatis akan mengganggu kestabilan ekonomi. Tingkat inflasi menjadi naik sehingga nantinya perekonomian negara kita bisa terpuruk. Mengerikan ya? Namun, kita masih bisa bernapas lega.

Hasil riset Bank Indonesia seperti yang dipaparkan Andi, menunjukkan adanya dampak positif ketika transaksi yang dilakukan individu maupun korporasi menggunakan rupiah ketimbang valas. Di antaranya, stabilitas sistem keuangan menjadi lebih tetap terjaga. Meski tak bisa dimungkiri, bakal terjadi penurunan kinerja korporasi dan peningkatan risiko kredit bank.

Jadi, kembali lagi, semua bergantung kepada diri kamu nih sobat GEN. Merealisasikannya memang sulit, tapi melalui cara yang begitu dianjurkan itu, rupiah kita akan menjadi berdaulat.

Karena itu, lakukanlah aktivitas jual dan beli barang atau jasa dengan memakai rupiah. Untuk yang berjenis tunai, cintailah dan jaga baik-baik keindahan uangmu karena seperti yang kala itu Andi tuturkan, “Rupiah adalah jati diri kita!”

RAHMAT MUSTAKIM Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7379 seconds (0.1#10.140)