Penetapan Calon Tunggal
A
A
A
Persoalan pilkada yang hanya mengajukan calon tunggal nyatanya masih menjadi perdebatan hangat hingga sekarang. Perdebatan yang muncul terjadi dalam dua hal pokok.
Apakah daerah dengan calon tunggal ”harus benar- benar” ditunda pilkadanya hingga 2017, yang itu berarti berkonsekuensi terhadap lamanya jarak pelaksanaan pilkada dan kedudukan bupati yang nondefinitif. Atau, tetap melaksanakan pilkada sesuai waktu melalui penetapan langsung calon tunggal kepala daerah.
Terdapat problem paling mendasar sebetulnya mengenai daerah yang hanya mengajukan calon tunggal dalam pilkada yakni sejauh mana kepentingan pilkada itu sendiri terhadap pengejawantahan partisipasi politik rakyat dan sejauh mana implikasi pilkada tersebut terhadap agregasi kepentingan rakyat.
Fungsi penting pilkada adalah bagaimana rakyat bisa mengekspresikan harapannya terhadap diri dan daerahnya dengan memilih mereka yang dipercaya bisa memenuhi harapan tersebut. Calon tunggal itu hanya ”memaksa” rakyat untuk tidak memiliki pilihan atas hak politiknya sendiri dan di sisi lain pula menutup partisipasi politik rakyat yang lebih luas.
Calon tunggal berarti pula ”memaksa” rakyat menerima begitu saja program yang sudah ditentukan sang calon, tanpa bisa memilih alternatif program lain dari calon lainnya. Padahal, pilkada merupakan entry point bagi pemimpin daerah dalam mengagresikan kepentingan rakyat.
Calon tunggal dengan kata lain menegasikan hak politik rakyat untuk memilih calon pemimpin yang dipercaya mampu memimpin daerah secara langsung, bebas, dan independen. Mengingat demokrasi Indonesia berbasis pada pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang diimplementasikan pada partisipasi politik rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung pada pemilu maupun pilkada.
Karena itu, di sini rakyat mendapatkan haknya untuk memilih atau tidak memilih, atau memilih di antara beberapa pilihan. Jika pilkada dilakukan dalam mekanisme penetapan, itu berarti penyelenggara negara telah dengan sengaja mereduksi hak rakyat dalam menentukan pilihan.
Perlukah Revisi UU?
Apa yang menjadi dasar ”penetapan” itu? Jika hanya berupa Peraturan KPU (PKPU), tentu tidak bisa sebab UU tidak mengatur mengenai hal itu. Bisa saja Presiden mengeluarkan perppu sebagai dasar hukumnya, tapi apakah kondisi perlu dan pentingnya perppu itu dikeluarkan memenuhi syarat?
Contohnya, apakah ada ihwal genting dan mendesak yang akan berlaku nasional (berdampak luas) sehingga perppu menjadi layak dan harus dikeluarkan? Pemerintah dan DPR bisa juga melakukan revisi terbatas terhadap UU Pilkada. Hanya, akan berapa lama revisi itu diselesaikan?
Bisakah diselesaikan dalam waktu singkat? Lalu, apakah pemberlakuan UU hasil revisi tersebut bisa berlaku surut? Baik revisi terbatas terhadap UU Pilkada maupun perppu nanti, jika pun tetap dipaksakan, akan sangat mungkin digugat ke MK. Kenapa? Karena UU sudah menegaskan bahwa mekanisme rakyat ”menentukan” kepala daerahnya adalah melalui pemilihan langsung, dan bukan melalui penetapan langsung.
Itu berarti bukan hanya persoalan calon tunggal yang harus mendapat tambahan pasal di dalam UU, namun juga berpotensi mengubah mekanisme di dalam melaksanakan pilkada itu sendiri secara keseluruhan.
Dengan demikian, kaitan revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi daerah yang hanya mengajukan calon tunggal dapat bersifat rangkaian. Tak cukup hanya terbatas pada bagaimana menyikapi calon tunggal ini, namun pilihan mekanisme dan cara harus pula diatur secara jelas sehingga tidak membuka potensi masalah yang lebih substantif di kemudian hari.
Bagaimana Sebaiknya?
Sebetulnya, terkait calon tunggal itu sendiri sudah cukup jelas pengaturannya dalam UU dan alangkah baiknya klausal tersebut dijalankan (menunda pilkada hingga 2017). Namun, jika dikhawatirkan terlalu lama rentang waktu penundaan pilkada, bisa juga dengan melakukan revisi terbatas, dengan memberi ”pemberlakuan khusus” terhadap KPU untuk bisa membuat keputusan menunda pelaksanaan pilkada maksimal enam bulan sejak pelaksanaan pilkada pada tahun berjalan terhadap daerah dengan calon tunggal.
Harapannya, ada parpol atau gabungan parpol dan calon perseorangan bisa kembali ikut bagian. Waktu enam bulan yang diberikan UU kepada KPU merupakan waktu yang ideal, baik bagi penyelenggara pilkada maupun partai politik di dalam menyiapkan kader terbaik untuk diajukan sebagai calon kepada daerah.
Hal ini juga untuk menyikapi agar daerah tidak terlalu lama tanpa dipimpin oleh bupati definitif hasil pilihan rakyat daerah setempat. Waktu ini juga cukup ideal bagi calon perseorangan untuk menyiapkan diri agar bisa maju menjadi calon kepada daerah. Faktanya, daerah yang hanya mengajukan calon tunggal mengindikasikan bahwa parpol telah gagal melaksanakan pengaderan.
Parpol tidak siap mengajukan kader terbaiknya dan hanya berupa mencari aman dengan hanya ikut mendukung mereka yang berpotensi unggul. Sikap pragmatisme parpol ini sebetulnya bisa menjadi preseden negatif bagi rakyat, dan akan berpotensi memunculkan dinasti politik di kemudian hari.
Karena itu pula, aturan ini nanti tidak hanya menyangkut penundaan waktu pilkada selama enam bulan, tetapi juga mengatur aspek keterlibatan parpol untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah dan mengantisipasi ada parpol yang mungkin hanya mengajukan calon boneka semata.
Dengan begitu, aturanini dapat memberi ruang bagi semua pihak untuk bisa menyukseskan pilkada sesuai dengan kepentingan rakyat.
IDIL AKBAR
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
Apakah daerah dengan calon tunggal ”harus benar- benar” ditunda pilkadanya hingga 2017, yang itu berarti berkonsekuensi terhadap lamanya jarak pelaksanaan pilkada dan kedudukan bupati yang nondefinitif. Atau, tetap melaksanakan pilkada sesuai waktu melalui penetapan langsung calon tunggal kepala daerah.
Terdapat problem paling mendasar sebetulnya mengenai daerah yang hanya mengajukan calon tunggal dalam pilkada yakni sejauh mana kepentingan pilkada itu sendiri terhadap pengejawantahan partisipasi politik rakyat dan sejauh mana implikasi pilkada tersebut terhadap agregasi kepentingan rakyat.
Fungsi penting pilkada adalah bagaimana rakyat bisa mengekspresikan harapannya terhadap diri dan daerahnya dengan memilih mereka yang dipercaya bisa memenuhi harapan tersebut. Calon tunggal itu hanya ”memaksa” rakyat untuk tidak memiliki pilihan atas hak politiknya sendiri dan di sisi lain pula menutup partisipasi politik rakyat yang lebih luas.
Calon tunggal berarti pula ”memaksa” rakyat menerima begitu saja program yang sudah ditentukan sang calon, tanpa bisa memilih alternatif program lain dari calon lainnya. Padahal, pilkada merupakan entry point bagi pemimpin daerah dalam mengagresikan kepentingan rakyat.
Calon tunggal dengan kata lain menegasikan hak politik rakyat untuk memilih calon pemimpin yang dipercaya mampu memimpin daerah secara langsung, bebas, dan independen. Mengingat demokrasi Indonesia berbasis pada pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang diimplementasikan pada partisipasi politik rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung pada pemilu maupun pilkada.
Karena itu, di sini rakyat mendapatkan haknya untuk memilih atau tidak memilih, atau memilih di antara beberapa pilihan. Jika pilkada dilakukan dalam mekanisme penetapan, itu berarti penyelenggara negara telah dengan sengaja mereduksi hak rakyat dalam menentukan pilihan.
Perlukah Revisi UU?
Apa yang menjadi dasar ”penetapan” itu? Jika hanya berupa Peraturan KPU (PKPU), tentu tidak bisa sebab UU tidak mengatur mengenai hal itu. Bisa saja Presiden mengeluarkan perppu sebagai dasar hukumnya, tapi apakah kondisi perlu dan pentingnya perppu itu dikeluarkan memenuhi syarat?
Contohnya, apakah ada ihwal genting dan mendesak yang akan berlaku nasional (berdampak luas) sehingga perppu menjadi layak dan harus dikeluarkan? Pemerintah dan DPR bisa juga melakukan revisi terbatas terhadap UU Pilkada. Hanya, akan berapa lama revisi itu diselesaikan?
Bisakah diselesaikan dalam waktu singkat? Lalu, apakah pemberlakuan UU hasil revisi tersebut bisa berlaku surut? Baik revisi terbatas terhadap UU Pilkada maupun perppu nanti, jika pun tetap dipaksakan, akan sangat mungkin digugat ke MK. Kenapa? Karena UU sudah menegaskan bahwa mekanisme rakyat ”menentukan” kepala daerahnya adalah melalui pemilihan langsung, dan bukan melalui penetapan langsung.
Itu berarti bukan hanya persoalan calon tunggal yang harus mendapat tambahan pasal di dalam UU, namun juga berpotensi mengubah mekanisme di dalam melaksanakan pilkada itu sendiri secara keseluruhan.
Dengan demikian, kaitan revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi daerah yang hanya mengajukan calon tunggal dapat bersifat rangkaian. Tak cukup hanya terbatas pada bagaimana menyikapi calon tunggal ini, namun pilihan mekanisme dan cara harus pula diatur secara jelas sehingga tidak membuka potensi masalah yang lebih substantif di kemudian hari.
Bagaimana Sebaiknya?
Sebetulnya, terkait calon tunggal itu sendiri sudah cukup jelas pengaturannya dalam UU dan alangkah baiknya klausal tersebut dijalankan (menunda pilkada hingga 2017). Namun, jika dikhawatirkan terlalu lama rentang waktu penundaan pilkada, bisa juga dengan melakukan revisi terbatas, dengan memberi ”pemberlakuan khusus” terhadap KPU untuk bisa membuat keputusan menunda pelaksanaan pilkada maksimal enam bulan sejak pelaksanaan pilkada pada tahun berjalan terhadap daerah dengan calon tunggal.
Harapannya, ada parpol atau gabungan parpol dan calon perseorangan bisa kembali ikut bagian. Waktu enam bulan yang diberikan UU kepada KPU merupakan waktu yang ideal, baik bagi penyelenggara pilkada maupun partai politik di dalam menyiapkan kader terbaik untuk diajukan sebagai calon kepada daerah.
Hal ini juga untuk menyikapi agar daerah tidak terlalu lama tanpa dipimpin oleh bupati definitif hasil pilihan rakyat daerah setempat. Waktu ini juga cukup ideal bagi calon perseorangan untuk menyiapkan diri agar bisa maju menjadi calon kepada daerah. Faktanya, daerah yang hanya mengajukan calon tunggal mengindikasikan bahwa parpol telah gagal melaksanakan pengaderan.
Parpol tidak siap mengajukan kader terbaiknya dan hanya berupa mencari aman dengan hanya ikut mendukung mereka yang berpotensi unggul. Sikap pragmatisme parpol ini sebetulnya bisa menjadi preseden negatif bagi rakyat, dan akan berpotensi memunculkan dinasti politik di kemudian hari.
Karena itu pula, aturan ini nanti tidak hanya menyangkut penundaan waktu pilkada selama enam bulan, tetapi juga mengatur aspek keterlibatan parpol untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah dan mengantisipasi ada parpol yang mungkin hanya mengajukan calon boneka semata.
Dengan begitu, aturanini dapat memberi ruang bagi semua pihak untuk bisa menyukseskan pilkada sesuai dengan kepentingan rakyat.
IDIL AKBAR
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
(ftr)