MPR: Pilkada Serentak Perkuat Sistem Presidensial
A
A
A
SIANTAR - Pilkada serentak yang akan digelar di 265 daerah pada 9 Desember 2015 mendatang dinilai MPR dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut oleh pemerintahan Indonesia selama ini. Pilkada serentak merupakan langkah awal memperkuat sistem presidensial untuk kemudian dilanjutkan lewat pemilu serentak 2019.
"MPR menganggap pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 nanti sebagai syarat utama demokrasi secara universal sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan," kata Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono kepada wartawan usai dialog kenegaraan yang bertajuk "Pemilu Serentak Guna Memperkuat Sistem Presidensial" di Hotel Sapadia, Pematangsiantar, Sumatera Utara, Jumat (21/8/2015).
Bambang berpandangan, selain untuk efektivitas sistem presidensial dalam suatu tatanan sistem pemerintahan, keserentakan dalam penyelenggaraan pilkada dan juga Pileg dan Pilpres dapat mengefisiensi waktu dan biaya dari penyelenggaraannya itu sendiri.
"Kita lakukan ini dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan ingin diberi masukan. Maka MPR turun untuk melakukan sosialiasi dan membuka ruang pemikiran masyarakat khususnya tentang pilkada serentak," jelas Senator asal Jawa Tengah itu.
Menurut Bambang, hal ini perlu dilakukan karena sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Maka sudah seharusnya sistem demokrasi di Indonesia yakni lewat pilkada dan pemilu dapat melahirkan sistem presidensial yang kuat untuk pemerntahan yang kuat juga.
"Tentu MPR bersama dengan DPR yang berperan melakukan fungsi kontrol itu," tegasnya.
Lebih dari itu, lanjut Bambang, pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Tapi, perlu diingat bahwa sistem pemilu yang ada di Indonesia tidak boleh sama dengan pemilu di negara barat. Maka, perlu membawa kultur ke-Indonesiaan di dalamnya.
"Kita menghadirkan cara dan mekanisme tapi tidak bisa menghadirkan kultur," ujarnya.
Bambang mencontohkan, ketika calon disajikan tidak ada konsep calon yang dipertanyakan, bagaimana si calon dapat membangun daerah atau negaranya itu.
"Tidak ada kontrak politik ketika calon itu dipilih," tandasnya.
PILIHAN:
SBY Klaim Belanda Sudah Akui Kemerdekaan RI
SBY Ungkap Delapan PR Indonesia, Ini Reaksi Istana
"MPR menganggap pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 nanti sebagai syarat utama demokrasi secara universal sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan," kata Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono kepada wartawan usai dialog kenegaraan yang bertajuk "Pemilu Serentak Guna Memperkuat Sistem Presidensial" di Hotel Sapadia, Pematangsiantar, Sumatera Utara, Jumat (21/8/2015).
Bambang berpandangan, selain untuk efektivitas sistem presidensial dalam suatu tatanan sistem pemerintahan, keserentakan dalam penyelenggaraan pilkada dan juga Pileg dan Pilpres dapat mengefisiensi waktu dan biaya dari penyelenggaraannya itu sendiri.
"Kita lakukan ini dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan ingin diberi masukan. Maka MPR turun untuk melakukan sosialiasi dan membuka ruang pemikiran masyarakat khususnya tentang pilkada serentak," jelas Senator asal Jawa Tengah itu.
Menurut Bambang, hal ini perlu dilakukan karena sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Maka sudah seharusnya sistem demokrasi di Indonesia yakni lewat pilkada dan pemilu dapat melahirkan sistem presidensial yang kuat untuk pemerntahan yang kuat juga.
"Tentu MPR bersama dengan DPR yang berperan melakukan fungsi kontrol itu," tegasnya.
Lebih dari itu, lanjut Bambang, pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Tapi, perlu diingat bahwa sistem pemilu yang ada di Indonesia tidak boleh sama dengan pemilu di negara barat. Maka, perlu membawa kultur ke-Indonesiaan di dalamnya.
"Kita menghadirkan cara dan mekanisme tapi tidak bisa menghadirkan kultur," ujarnya.
Bambang mencontohkan, ketika calon disajikan tidak ada konsep calon yang dipertanyakan, bagaimana si calon dapat membangun daerah atau negaranya itu.
"Tidak ada kontrak politik ketika calon itu dipilih," tandasnya.
PILIHAN:
SBY Klaim Belanda Sudah Akui Kemerdekaan RI
SBY Ungkap Delapan PR Indonesia, Ini Reaksi Istana
(kri)