Remisi Lemahkan Semangat Antikorupsi
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah memberikan remisi kepada 1.938 narapidana korupsi pada perayaan HUT ke-70 RI dinilai melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerangi korupsi mulai dipertanyakan.
Koordinator Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, hukuman koruptor yang ringan, diperkuat lagi dengan pemberian remisi yang seolah diobral pemerintahan Jokowi, itu tentu akan melemahkan semangat perang melawan korupsi.
Menurutnya, hakim dan jaksa justru harus menambahkan hukuman dengan mencabut hak politik dan hak remisi khusus bagi koruptor yang berstatus pejabat publik. ”ICW sudah dua tahun terakhir mengimbau agar para koruptor tidak diberi hak remisi. Kecenderungan bermurah hati kepada koruptor akan meminimkan terobosan pencegahan antikorupsi di Indonesia,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Kalau hukuman yang diberikankepada koruptorringan, itu akan menjadi preseden buruk di mana para koruptor sudah memikirkan bahwa hakim akan memutuskan hukuman ringan baginya di pengadilan. Anggota Komisi Hukum dan Peradilan ICW Lola Easter menambahkan, selain 1.938 napi koruptor yang mendapat remisi tersebut, masih ada 848 kasus dalam tahap pendalaman.
Menurut Lola, jika remisi 2-3 kali diberikan dalam satu tahun, masing-masing 1-2 bulan setiap pemberian remisi, vonis penjara yang diberikan kepada koruptor tidak akan menimbulkan efek jera. ”Pasalnya akan banyak terdakwa kasus korupsi yang menjalani hukuman separuh dari jumlah vonis yang ditetapkan,” kata Lola kemarin.
Pengamat hukum UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, mengatakan ke depan pemerintah perlu membuat peninjauan ulang terhadap dasar hukum pemberian remisi kepada narapidana korupsi. Sebab, bila landasan yang ada tetap dipergunakan, hasil dari perang terhadap kejahatan korupsi yang dilakukan selama ini tidak tercapai. ”Menteri perlu melihat kondisi psikologis publik. Jangan hanya menjalankan amanah, tapi membiarkan rakyat terluka,” ujarnya.
Lebih jauh Andi mengatakan, dampak dari tindak pidana korupsi ini memang tidak langsung dirasakan korban, tapi secara pelan-pelan jutaan masyarakat akan merasakan efek dari kejahatan tersebut. Dia mencontohkan kerugian negara senilai miliaran hingga triliunan rupiah yang semestinya dapat dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, perekonomian ataupun sumber daya manusia (SDM).
Diberitakan, salah satu narapidana koruptor yang mendapat remisi dalam rangka HUT ke-70 RI itu adalah terpidana kasus korupsi pembangunan wisma atlet yang juga mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni.
Selain itu, Kemenkumham juga memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, terpidana kasus percobaan penyuapan Anggodo Widjojo, serta terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Deviardi dan Kosasih Abbas, mantan pejabat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan, jumlah total narapidana tipikor mencapai 2.786 orang. Dari jumlah itu, hanya 1.938 orang yang dikabulkan remisinya oleh Kemenkumham. Pemberian remisi tersebut, menurut Yasonna, didasarkan pada dua ketentuan. Pertama, untuk 517 orang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) 28/2006. Kedua, untuk 1.421 terpidana menggunakan dasar hukum PP 99/2012.
Mereka mendapatkan remisi karena telah membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan selaku justice collaborator (JC). ”Ada 16 narapidana tipikor yang ditolak remisinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujar Yasonna di Jakarta, Senin (17/8).
Ilham safutra/ okezone
Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerangi korupsi mulai dipertanyakan.
Koordinator Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, hukuman koruptor yang ringan, diperkuat lagi dengan pemberian remisi yang seolah diobral pemerintahan Jokowi, itu tentu akan melemahkan semangat perang melawan korupsi.
Menurutnya, hakim dan jaksa justru harus menambahkan hukuman dengan mencabut hak politik dan hak remisi khusus bagi koruptor yang berstatus pejabat publik. ”ICW sudah dua tahun terakhir mengimbau agar para koruptor tidak diberi hak remisi. Kecenderungan bermurah hati kepada koruptor akan meminimkan terobosan pencegahan antikorupsi di Indonesia,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Kalau hukuman yang diberikankepada koruptorringan, itu akan menjadi preseden buruk di mana para koruptor sudah memikirkan bahwa hakim akan memutuskan hukuman ringan baginya di pengadilan. Anggota Komisi Hukum dan Peradilan ICW Lola Easter menambahkan, selain 1.938 napi koruptor yang mendapat remisi tersebut, masih ada 848 kasus dalam tahap pendalaman.
Menurut Lola, jika remisi 2-3 kali diberikan dalam satu tahun, masing-masing 1-2 bulan setiap pemberian remisi, vonis penjara yang diberikan kepada koruptor tidak akan menimbulkan efek jera. ”Pasalnya akan banyak terdakwa kasus korupsi yang menjalani hukuman separuh dari jumlah vonis yang ditetapkan,” kata Lola kemarin.
Pengamat hukum UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, mengatakan ke depan pemerintah perlu membuat peninjauan ulang terhadap dasar hukum pemberian remisi kepada narapidana korupsi. Sebab, bila landasan yang ada tetap dipergunakan, hasil dari perang terhadap kejahatan korupsi yang dilakukan selama ini tidak tercapai. ”Menteri perlu melihat kondisi psikologis publik. Jangan hanya menjalankan amanah, tapi membiarkan rakyat terluka,” ujarnya.
Lebih jauh Andi mengatakan, dampak dari tindak pidana korupsi ini memang tidak langsung dirasakan korban, tapi secara pelan-pelan jutaan masyarakat akan merasakan efek dari kejahatan tersebut. Dia mencontohkan kerugian negara senilai miliaran hingga triliunan rupiah yang semestinya dapat dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, perekonomian ataupun sumber daya manusia (SDM).
Diberitakan, salah satu narapidana koruptor yang mendapat remisi dalam rangka HUT ke-70 RI itu adalah terpidana kasus korupsi pembangunan wisma atlet yang juga mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni.
Selain itu, Kemenkumham juga memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, terpidana kasus percobaan penyuapan Anggodo Widjojo, serta terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Deviardi dan Kosasih Abbas, mantan pejabat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan, jumlah total narapidana tipikor mencapai 2.786 orang. Dari jumlah itu, hanya 1.938 orang yang dikabulkan remisinya oleh Kemenkumham. Pemberian remisi tersebut, menurut Yasonna, didasarkan pada dua ketentuan. Pertama, untuk 517 orang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) 28/2006. Kedua, untuk 1.421 terpidana menggunakan dasar hukum PP 99/2012.
Mereka mendapatkan remisi karena telah membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan selaku justice collaborator (JC). ”Ada 16 narapidana tipikor yang ditolak remisinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujar Yasonna di Jakarta, Senin (17/8).
Ilham safutra/ okezone
(ars)