Nasionalisme Tak Sekadar Bangga

Minggu, 16 Agustus 2015 - 08:55 WIB
Nasionalisme Tak Sekadar Bangga
Nasionalisme Tak Sekadar Bangga
A A A
Di sana tempat lahir beta Dibuai dibesarkan bunda Tempat berlindung di hari tua Tempat akhir menutup mata

Lantunan lagu Indonesia Pusaka membahana di pelataran depan Museum Fatahillah kawasan Kota Tua, Jakarta, Kamis (13/8). Jelang peringatan HUT Ke-70 RI, nuansa merah-putih di kawasan wisata tersebut kian mengental.

Saat itu juga rupanya tengah berlangsung pengambilan gambar iklan televisi HUT Kemerdekaan yang disutradarai Dimas Djayadiningrat, dengan melibatkan ratusan talent anak-anak hingga lanjut usia. Unik lantaran para talent datang dari berbagai komunitas seperti sepeda ontel, pengamen, dan hipster. Beberapa orang juga mengenakan kostum ala pejuang tempo dulu, lengkap dengan bayonet.

Semuanya berbaur dalam kebersamaan. Serentak penuh semangat mereka menyanyikan lagu Indonesia Pusaka. Endah, 22, seorang talent, mengaku merinding saat take vokal dan mendengar aransemen musik lagu karya Ismail Marzuki itu. ”Aku langsung merinding, kebawa suasana mau 17-an,” ujar mahasiswi Universitas Budi Luhur itu.

Dimas membenarkan bahwa banyak orang mengaku cinta Indonesia, tapi awam dengan lagu-lagu bangsanya sendiri. Padahal, jika diresapi lirik-lirik lagu ciptaan para komposer era kemerdekaan itu sangat bagus dan menggugah nasionalisme. Saat syuting Dimas mengaku sempat kesal karena banyak talent yang belum hafal lirik Indonesia Pusaka.

”Indonesia Pusaka ini liriknya bagus. Intinya menceritakan bahwa kita lahir, hidup, dan mati di sini. Di Indonesia,” tuturnya. Sementara itu, ratusan pengunjung Kota Tua yang saat itu tengah menikmati suasana ikut tergugah mendengar kumandang Indonesia Pusaka, beberapa ada yang spontan bernyanyi. ”Biasanya kalau mendengar lagu nasional itu jiwa patriotisme kita bangkit,” ujar Eka Putra, 43, seorang pengunjung asal Depok.

Nasionalisme, Bukan Narsisme

Banyak orang mengaku nasionalis dan bangga terhadap Tanah Air yang indah dan kaya, tapi tidak mengimplementasikannya secara benar. Bahkan dengan dukungan media sosial (medsos) saat ini, nasionalisme acapkali diwarnai narsisme.

Kehadiran medsos memang memiliki andil besar terhadap meningkatnya budaya narsisme, yang tercermin dari fenomena selfie, wefie, ataupun tongkat narsis (narsis) yang membuat orang ingin selalu eksis memotret dirinya kapan dan di mana pun lalu mengunggahnya di medsos. Dimas mengkritisi orang-orang yang mengaku cinta Tanah Air dan senang berwisata di dalam negeri, tapi tujuannya hanya nampang atau ingin eksis.

”Jangan karena ngeceng atau biar eksis lalu loe pergi ke Sumba, ke Waingapu, ke mana-mana, tapi cuma karena mau selfie. Kalau loe bener cinta Indonesia, datanglah ke Sumba, ke Waingapu, dengan niat karena loe benar-benar pengen kenal orang sana. Ajak lah mereka ngobrol, enggak penting selfie -nya,” tutur pria kelahiran 1973 itu.

Clara Bunga, 18, mengaku lebih menyukai makanan Indonesia ketimbang asing. Menurutnya, kekhasan bumbubumbu masakan Indonesia tiada tandingannya. Gadis yang berdomisili di Bekasi itu juga lebih suka berbatik ketimbang pakaian lainnya.

Inda Susanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3225 seconds (0.1#10.140)