Belajar dari Kucing
A
A
A
Coba perhatikan kalau kucing makan. Ada bedanya antara kucing peliharaan yang makan dari boks makanan khusus untuk kucing kesayangan yang diletakkan di salah satu sudut dapur dengan kucing garong liar yang menyelinap mencuri makanan dari boks makanan si kucing kesayangan tersebut (atau juga bahkan ada kucing garong yang berani mencuri dari atas meja makan si empunya rumah).
Kucing kesayangan akan makan dengan nikmat dan santai tanpa peduli pada orang-orang yang lewat dan belum berhenti sebelum makanannya habis atau dia merasa kenyang. Sebaliknya kucing garong akan makan dengan penuh kecurigaan, posisi berdiri tegang, dan segera menghentikan makannya jika ada yang lewat, siap-siap kabur dan segera kabur benaran kalau yang datang itu si empunya rumah sambil membawa sapu untuk menggebuk si kucing garong.
Beberapa ustaz mengatakan bahwa kucing saja, yang hewan kesayangan Rasulullah, punya naluri untuk membedakan mana perilaku yang jujur. Juga yang baik, yang diridai Allah dan mana perilaku mencuri, yang jahat, yang bukan saja penuh dosa, tetapi juga melanggar etika. Tapi manusia kok tidak seperti itu? Manusia yang mencuri kok tenang-tenang saja, malah yang jujur justru stres? Cobalah lihat bagaimana sulitnya orang melakukan hal yang baik dan betapa mudahnya orang melakukan hal yang tidak baik. Koruptor tenang-tenang saja berkorupsi.
Walaupun KPK sudah bekerja selama 13 tahun (sejak UU KPK tahun 2002), sampai hari ini masih saja KPK menangkapi orangorang yang korup. Lihat juga bagaimana santainya orang merampok minimarket atau membongkar ATM, bahkan menculik anak yang sedang bermain sendirian di mal, padahal CCTV menyala dan rekamannya masuk TV, tidak ada sedikit pun rasa takut seperti yang ada di kucing garong.
Juga di sektor lalu lintas, pemotor yang menyerobot melawan arus tidak sedikit pun merasa bersalah. Bahkan kalau dicegat polisi dan bisa kabur, bangganya bukan main. Kalau tertangkap, dia justru marah kepada polisi, mengapa dia ditangkap, padahal setiap hari dia lewat di situ tidak pernah diapa-apakan?
*** Namun dari kacamata psikologi, pendapat pak ustaz itu tidak sepenuhnya benar. Dalam teori belajar yang amat terkenal dari Albert Bandura (1997), kepribadian adalah perilaku (karena kepribadian diamati atau disimpulkan melalui perilaku). Padahal setiap perilaku dipelajari. Hampir tidak ada (dalam teori beliau) perilaku yang bawaan sejak lahir (termasuk naluri) kecuali perilaku-perilaku yang sangat primitif (seperti naluri mengisap susu pada bayi).
Bahkan naluri cinta ibu kepada anak sekarang sudah tergerus ketika ibu-ibu mulai tega membuang, menjual, bahkan membunuh bayinya dengan berbagai alasan sosial dan/atau ekonomi. Jadi mengapa si kucing kesayangan berlaku baik dan percaya diri ketika makan dari boks makanan yang sudah disediakan majikannya? Karena majikannya menyayangi si kucing. Boro-boro dipukul pakai sapu, si kucing kesayangan justru sering dipangku, dielus-elus, diciumi, malah dimandikan dan dibedaki oleh majikan.
Sementara kucing garong hitam-jelek dan matanya melotot tidak pernah disayang oleh siapa pun, hanya pernah kena gebuk sapu si empunya boks makanan ketika dia meleng dan tidak siaga. Kesimpulannya, kalau menurut teori Bandura, kucing baik dan kucing garong berperilaku berbeda karena perlakuan yang diterimanya juga berbeda. Kucing baik karena diperlakukan baik, kucing garong karena diperlakukan tidak baik. Sekarang, bagaimana dengan manusia?
Pemotor melanggar rambu lalu lintas, naik ke kaki-lima (tempat pejalan kaki), melawan arus, karena selama ini dibiarkan oleh polisi sehingga menganggap kebiasaannya yang salah itu sebagai kebenaran. Sebaliknya orang yang membiasakan yang benar justru disalahkan. Dia bisa mengantre lama sekali bersama kemacetan lalu lintas, tidak sampai- sampai ke rumah, sementara si penyerobot jalan sudah menyelesaikan tugasnya dan sekarang sedang santai menikmati kopi di rumah sambil nonton TV.
Begitu juga yang melakukan korupsi. Uang hasil korupsi bukan hanya bisa digunakannya untuk menikmati gaya hidup mewah, tetapi juga bisa untuk melicinkan karier, naik pangkat, menang pilkada, terpilih jadi anggota DPR, dsb. Sementara yang jujur dan memilih jalan lurus malah hidup berkesusahan dan seakan- akan terhenti kariernya.
Jadi, kesimpulannya, orang menjadi jahat padahal seharusnya baik adalah karena yang jahat (garong, begal, melanggar lalu lintas, dan korupsi) justru mendapat reward, sedangkan yang berkelakuan baik malahan mendapat dampak negatif yang bisa dirasakan sebagai hukuman.
*** Karena itu, kalau kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang baik, yang berprestasi, beramar makruf nahi mungkar, memang diperlukan revolusi mental, yaitu setiap orang didorong untuk lebih banyak berbuat yang maslahat daripada yang mudarat. Namun mengubah mentalitas masyarakat tidak cukup hanya dengan menanamkan iman dan takwa kepada Allah SWT dan mendoakan anak agar menjadi orang yang saleh dan salehah serta berbakti kepada orang tua.
Bangsa Indonesia rata-rata sudah beriman dan bertakwa, saleh dan salehah serta berbakti kepada orang tua, tetapi korupsi malah makin marak, maksiat jalan terus, menyerobot lalu lintas dengan melawan arus makin kenceng dan sebagainya. Revolusi mental harus dilaksanakan dengan pemerintah berikut aparatnya selalu hadir di mana-mana untuk menegakkan hukum yang benar! Sistem keuangan negara harus diatur sedemikian rupa sehingga bisa mencegah pegawai atau pejabat untuk korupsi.
Unjuk rasa yang anarkistis, pembegalan, pemotor yang ugal-ugalan, dan geng motor ditindak habis sehingga mereka jera. Penyelundup, pengedar narkoba, dan pelaku perdagangan manusia harus diberantas tuntas. Dan seterusnya. Jadi mulailah dari diri pemerintah dulu.
Masyarakat pasti mengikutinya kalau pemerintah sudah benar-benar melaksanakan secara operasional antikorupsi. Kalau pemerintah sendiri masih korup, tugas presidenlah untuk menertibkan pemerintahannya.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Kucing kesayangan akan makan dengan nikmat dan santai tanpa peduli pada orang-orang yang lewat dan belum berhenti sebelum makanannya habis atau dia merasa kenyang. Sebaliknya kucing garong akan makan dengan penuh kecurigaan, posisi berdiri tegang, dan segera menghentikan makannya jika ada yang lewat, siap-siap kabur dan segera kabur benaran kalau yang datang itu si empunya rumah sambil membawa sapu untuk menggebuk si kucing garong.
Beberapa ustaz mengatakan bahwa kucing saja, yang hewan kesayangan Rasulullah, punya naluri untuk membedakan mana perilaku yang jujur. Juga yang baik, yang diridai Allah dan mana perilaku mencuri, yang jahat, yang bukan saja penuh dosa, tetapi juga melanggar etika. Tapi manusia kok tidak seperti itu? Manusia yang mencuri kok tenang-tenang saja, malah yang jujur justru stres? Cobalah lihat bagaimana sulitnya orang melakukan hal yang baik dan betapa mudahnya orang melakukan hal yang tidak baik. Koruptor tenang-tenang saja berkorupsi.
Walaupun KPK sudah bekerja selama 13 tahun (sejak UU KPK tahun 2002), sampai hari ini masih saja KPK menangkapi orangorang yang korup. Lihat juga bagaimana santainya orang merampok minimarket atau membongkar ATM, bahkan menculik anak yang sedang bermain sendirian di mal, padahal CCTV menyala dan rekamannya masuk TV, tidak ada sedikit pun rasa takut seperti yang ada di kucing garong.
Juga di sektor lalu lintas, pemotor yang menyerobot melawan arus tidak sedikit pun merasa bersalah. Bahkan kalau dicegat polisi dan bisa kabur, bangganya bukan main. Kalau tertangkap, dia justru marah kepada polisi, mengapa dia ditangkap, padahal setiap hari dia lewat di situ tidak pernah diapa-apakan?
*** Namun dari kacamata psikologi, pendapat pak ustaz itu tidak sepenuhnya benar. Dalam teori belajar yang amat terkenal dari Albert Bandura (1997), kepribadian adalah perilaku (karena kepribadian diamati atau disimpulkan melalui perilaku). Padahal setiap perilaku dipelajari. Hampir tidak ada (dalam teori beliau) perilaku yang bawaan sejak lahir (termasuk naluri) kecuali perilaku-perilaku yang sangat primitif (seperti naluri mengisap susu pada bayi).
Bahkan naluri cinta ibu kepada anak sekarang sudah tergerus ketika ibu-ibu mulai tega membuang, menjual, bahkan membunuh bayinya dengan berbagai alasan sosial dan/atau ekonomi. Jadi mengapa si kucing kesayangan berlaku baik dan percaya diri ketika makan dari boks makanan yang sudah disediakan majikannya? Karena majikannya menyayangi si kucing. Boro-boro dipukul pakai sapu, si kucing kesayangan justru sering dipangku, dielus-elus, diciumi, malah dimandikan dan dibedaki oleh majikan.
Sementara kucing garong hitam-jelek dan matanya melotot tidak pernah disayang oleh siapa pun, hanya pernah kena gebuk sapu si empunya boks makanan ketika dia meleng dan tidak siaga. Kesimpulannya, kalau menurut teori Bandura, kucing baik dan kucing garong berperilaku berbeda karena perlakuan yang diterimanya juga berbeda. Kucing baik karena diperlakukan baik, kucing garong karena diperlakukan tidak baik. Sekarang, bagaimana dengan manusia?
Pemotor melanggar rambu lalu lintas, naik ke kaki-lima (tempat pejalan kaki), melawan arus, karena selama ini dibiarkan oleh polisi sehingga menganggap kebiasaannya yang salah itu sebagai kebenaran. Sebaliknya orang yang membiasakan yang benar justru disalahkan. Dia bisa mengantre lama sekali bersama kemacetan lalu lintas, tidak sampai- sampai ke rumah, sementara si penyerobot jalan sudah menyelesaikan tugasnya dan sekarang sedang santai menikmati kopi di rumah sambil nonton TV.
Begitu juga yang melakukan korupsi. Uang hasil korupsi bukan hanya bisa digunakannya untuk menikmati gaya hidup mewah, tetapi juga bisa untuk melicinkan karier, naik pangkat, menang pilkada, terpilih jadi anggota DPR, dsb. Sementara yang jujur dan memilih jalan lurus malah hidup berkesusahan dan seakan- akan terhenti kariernya.
Jadi, kesimpulannya, orang menjadi jahat padahal seharusnya baik adalah karena yang jahat (garong, begal, melanggar lalu lintas, dan korupsi) justru mendapat reward, sedangkan yang berkelakuan baik malahan mendapat dampak negatif yang bisa dirasakan sebagai hukuman.
*** Karena itu, kalau kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang baik, yang berprestasi, beramar makruf nahi mungkar, memang diperlukan revolusi mental, yaitu setiap orang didorong untuk lebih banyak berbuat yang maslahat daripada yang mudarat. Namun mengubah mentalitas masyarakat tidak cukup hanya dengan menanamkan iman dan takwa kepada Allah SWT dan mendoakan anak agar menjadi orang yang saleh dan salehah serta berbakti kepada orang tua.
Bangsa Indonesia rata-rata sudah beriman dan bertakwa, saleh dan salehah serta berbakti kepada orang tua, tetapi korupsi malah makin marak, maksiat jalan terus, menyerobot lalu lintas dengan melawan arus makin kenceng dan sebagainya. Revolusi mental harus dilaksanakan dengan pemerintah berikut aparatnya selalu hadir di mana-mana untuk menegakkan hukum yang benar! Sistem keuangan negara harus diatur sedemikian rupa sehingga bisa mencegah pegawai atau pejabat untuk korupsi.
Unjuk rasa yang anarkistis, pembegalan, pemotor yang ugal-ugalan, dan geng motor ditindak habis sehingga mereka jera. Penyelundup, pengedar narkoba, dan pelaku perdagangan manusia harus diberantas tuntas. Dan seterusnya. Jadi mulailah dari diri pemerintah dulu.
Masyarakat pasti mengikutinya kalau pemerintah sudah benar-benar melaksanakan secara operasional antikorupsi. Kalau pemerintah sendiri masih korup, tugas presidenlah untuk menertibkan pemerintahannya.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)